[:id]
“Ke-indonesia-an adalah ketika agama-agama atau keyakinan yang hidup di Indonesia sejajar dan memiliki kontribusi yang sama terhadap negeri,” KH. Abdurrahman Wahid.
Dalam momentum hari toleransi 16 November 2016 sebagai manusia harus lebih bijak dalam bersikap. Hari toleransi kali ini banyak kendala yang seharusnya bisa diusahakan damai akan tetapi banyak oknum yang meciderai kedaulatan persatuan. Kasus Bom contohnya, teror bom banyak terjadi dimana mana- yang membuat suasana gaduh.
Entahlah itu hanya bualan isu politik atau memang gerakan radikal dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Terutama yang mengaku Islam akan tetapi tidak berjalan seperti nilai islam – khususnya islam di Indonesia. Islam yang sebenarnya mengayomi dan memelihara bukan semena-mena dengan asas pandangan berfikir fundamentalis.
Kemajuan teknologi bukan di buat bersilaturahmi, akan tetapi di buat untuk mendobrak dan mencari legalitas di masyarakat saja. Dampaknya dari golongan satu dengan yang lainnya saling mencari kekurangan dan saling mencaci maki. Ada yang bersikap bijak akan posisi golongan dengan bertameng saja, ada yang cenderung menjatuhkan golongan lain. Perbedaan sesungguhnya sudah tercipta untuk kita lebih cerdas berfikir bukan untuk saling berpecah belah. Yang tidak setuju akan khasnya bangsa Indonesia yang berlandaskan pancasila- silahkan saja keluar dari NKRI.
Bagaimanapun Pancasila adalah bentuk kunci bagi ke-indonesia-an bangsa ini. Dengan pancasila dan berpedoman ke bhinekaan kita dapat bersatu padu di republik ini. Maka dari itu kesehatan dalam berfikir harus lebih bijak dan tidak mudah terprovokasi. Yang menjadi korban adalah kaum awam yang tidak tahu isi dan nilai antar golongan satu dan golongan lainnya.
gambaran kasar di dalam kemajuan sosial media sekarang ini banyak membuat gaduh bagi keberagaman dalam beragama terutama dapat melemahkan nilai kebangsaan ini. Bagaimana kita beragama di Indonesia dan bagaimana kita menyikapi perbedaan untuk bersifat toleransi. Si A mewakili golongan fundamentalis garis keras. Semua fundamentalis itu setidaknya punya kesamaan yaitu literalis dalam membaca kitab suci. Itu terlihat dari cara Si A membaca Alkitab. Dia lupa kalau Alkitab itu lahir dari sebuah sejarah panjang dan cara membacanya pun lahir dari berbagai sejarah panjang pula.
Kedua, semua fundamentalis agama selalu berposisi bahwa hanya dialah yang benar dan di luar dia adalah salah. Sering sekali fundamentalis agama-agama seperti ini akan berani mati demi membela kebenaran yang dia yakini benar, karena dia yakin bahwa Tuhan berpihak padanya. Semakin kuat dia teriak membela kebenarannya, maka semakin besar rekomendasi dari Tuhan kalau dia adalah yang paling benar. Ironis.
Cara beragama seperti ini adalah pemberhala konsep. Tuhan disempitkan dalam konsep-konsep, memuja setinggi langit silogisme yang dicap lurus dan konsisten tanpa pernah menyadari silogisme pun punya masalahnya sendiri. Tuhan dipadatkan dengan konsep abstraksi dan dirawat laksana menara gading.
Konsep itu dipuja sedemikian rupa, sampai dia lupa bahwa dia sedang menciptakan Tuhan. Sehingga, ketika dia sedang membela Tuhan, tak sadar kalau dia sedang membela dirinya sendiri. Dia terjebak dalam fatamorgana kepalsuan yang dia ciptakan sendiri. wallahu’allam
Ilmi Najib, Koordinator Gusdurian Malang.
NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INFID