Ibnu Sina dalam sejarah keilmuan Islam bak selebritis, begitu terkenal. Sosok ini, digambarkan sebagai pribadi yang menguasai beragam bidang ilmu dan dibanggakan sebagai bagian kejayaan peradaban umat muslim. Dalam bidang kedokteran dan filsafat, Ibnu Sina adalah legenda. Dengan keilmuan yang luas dan nyegoro seperti itu, bagaimana proses ia belajar?
Paparan panjang di bawah ini disarikan dari karya Ibnu Abi Usaibiah berjudul ‘Uyunul Anba’ fi Thabaqatil Athibba’ – mengutip keterangan Abu Ubaid al Juzjani, rekan kerja Ibnu Sina yang mencatat otobiografi dan riwayat hidupnya.
Ibnu Sina – di Eropa dikenal sebagai Avicenna, lahir 375 H/984 M di daerah bernama Afshana, tidak jauh dari daerah Bukhara – tempat kelahiran Imam al Bukhari. Konon, ayahnya yang bernama Abdullah bin Al Hasan, pernah diangkat menjadi pegawai pemerintahan di sana. Kiranya jabatan tersebut memberi privilese tersendiri untuk proses belajar Ibnu Sina. Ayahnya mendatangkan guru Al Quran dan bahasa setiap harinya. Pada usia sepuluh tahun, Ibnu Sina – sebagaimana diakuinya sendiri – sudah hapal Al Quran dan jago gramatikal Arab.
Nuh bin Mansur, penguasa di mana ayah Ibnu Sina bekerja padanya, adalah penguasa Dinasti Samaniyah. Pemerintahan dinasti kecil ini menginduk pada Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Konon, pemerintahannya menganut haluan Islam Sunni. Kendati demikian, pada abad 10 sampai 11 aliran Syiah sedang eksis di masyarakat. Ayah Ibnu Sina adalah pengikut sekte Syiah Ismailiah.
Terkait persoalan sekte itu, ayah Ibnu Sina dan juga kakaknya, sering memperkenalkan bagaimana Syiah Ismailiah ini dianut dan diamalkan. Ibnu Sina, dalam usia yang cukup belia memiliki beberapa ketidaksepakatan tentang ajaran Ismailiah. Selain soal aliran Islam yang mereka anut, ayah dan kakaknya juga memperkenalkan filsafat, geometri, dan matematika pada Ibnu Sina.
Sang Ayah meletakkan harapan agar Ibnu Sina mahir matematika, yang dulu disebut “aritmatika India” itu. Seorang pedagang sayur yang jago dalam matematika dipanggilnya untuk mengajari Ibnu Sina.
Pada suatu waktu, seorang filsuf bernama Abu Abdullah an Natili datang ke Bukhara. Ayah Ibnu Sina mengundangnya ke rumah agar dapat mengajari anak-anaknya, tak terkecuali Ibnu SIna. Di samping mulai belajar filsafat kepada An Natili, Ibnu Sina juga rutin mempelajari fikih dan ilmu-ilmu ushuluddin. Belajar fikih, sebagaimana disebutkan Ibnu Sina, membuatnya familiar dengan metode berpikir dan sikap kritis, berikut cara-cara memecahkan persoalan.
An Natili terkesan akan kemahiran Ibnu Sina menerima pembelajaran filsafat. Salah satu buku yang didiskusikan Ibnu Sina dengan An Natili adalah Isagoge karya Porpirius. Ibnu Sina sering beda pendapat dengan gurunya tentang isi buku tersebut, bahkan tak segan melakukan kritik dan verifikasi ulang atas pemahaman An Natili. Saking kagumnya, An Natili pun meminta kepada ayah Ibnu Sina agar membuat sang anak ini menyibukkan diri dengan ilmu di masa mudanya.
Pembelajaran filsafat Ibnu Sina maju pesat dan kritis dalam bimbingan An Natili. Bahkan ia mampu menjelaskan persoalan-persoalan filsafat yang rumit secara lebih gamblang dibanding gurunya. Ia mempelajari filsafat secara garis besar dari An Natili, kemudian secara otodidak diperdalamnya dengan kitab-kitab syarah.
Seperti ketika membaca Almagest, An Natili berkata,
“Coba pelajari dan selesaikan sendiri kasus dan pahami kesimpulan di dalamnya. Laporkan kepadaku apa yang kamu temukan, nanti akan kuarahkan”.
Sayangnya pada satu titik, setelah sekian diskusi dengan gurunya, Ibnu Sina merasa gurunya ini tidak cukup jago memahami buku Almagest, dan ketika ada hal sulit disodorkan , makin tampak bahwa gurunya kurang menguasai persoalan.
Selepas berguru dengan An Natili, Ibnu Sina kian haus dengan ilmu. Ia mulai mempelajari ilmu alam dan metafisika, membaca beragam kanon dan syarahnya. Ia berkata, “(Setelah membaca buku-buku itu) luasnya ilmu filsafat seakan terbuka untukku.”
Didorong bacaan melimpah dan menariknya ilmu alam, Ibnu Sina berminat pada ilmu kedokteran dan membaca ragam buku terkait bidang tersebut. Dalam bidang kedokteran tercatat bahwa gurunya bernama Abu Mansur al Hasan bin Nuh al Qumri dan Abu Sahl Isa bin Yahya al Masihi, dua dokter di sekitar daerah Bukhara. Ditunjang dengan kemampuan belajarnya yang luar biasa, Ibnu Sina bahkan berkata tentang belajar ilmu kedokteran,
“Kedokteran bukan ilmu yang terlalu sulit bagiku.”
Ia mengaku bisa cepat memahami konsep dan detail ilmu kedokteran, bahkan mampu melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran maupun praktikal. Pada usia belia, diakuinya saat berusia 16 tahun, Ibnu Sina mulai mengobati pasien, lantas banyak mendapatkan pengalaman klinis serta ilmu pengobatan yang belum pernah ia baca sebelumnya.
Kapasitas ilmu dan cara belajar Ibnu Sina mungkin bisa kita anggap “gila-gilaan”. Ia mengaku jarang tidur di malam hari, dan siang harinya digunakan fokus untuk untuk belajar dan melayani orang sakit. Terlepas dari ia mulai berprofesi sebagai dokter, ia tetap terus membaca karya-karya filsafat dengan tekun.
Ia mengaku membuat tips seperti ini, “Ketika bertemu pernyataan yang susah dipahami, maka saya coba membuat rumusan ulang di kertas lainnya. Harapannya, masalah akan lebih rapi, dan barangkali ada solusi setelah suatu permasalahan dicatat dan dirumuskan ulang.” Hematnya, metode ini penting untuk memahami ilmu logika serta rumitnya filsafat.
Tiap malam Ibnu Sina sibuk menulis dan membaca. Ketika suntuk dan ngantuk, ia minum secawan minuman hingga mampu cespleng kembali untuk membaca. Beberapa penerjemah menyebutkan minuman penghilang kantuk itu adalah anggur atau wine. Kalau memang sudah mentok mengantuk, bacaan dan konsep yang tak ia pahami itu bisa sampai terbawa mimpi.
Luasnya keilmuan Ibnu Sina juga tak lepas dari kedekatannya dengan penguasa. Suatu ketika, gubernur Nuh bin Mansur, penguasa Samaniyah, sedang sakit. Para dokter kelimpungan untuk mengobatinya. Ibnu Sina yang terkenal sebagai orang yang menguasai banyak bidang ilmu, dipanggil untuk turut menangani penyakit sang raja sampai diangkat juga menjadi dokter penguasa. Dari kedekatan dengan penguasa inilah ia bisa mengakses perpustakaan kerajaan, dan menelaah banyak sekali berbagai ragam bidang ilmu, merentang dari hukum, sastra, sampai ilmu alam, termasuk buku-buku kuno dan asing yang belum pernah diketahuinya.
Ibnu Sina tidak hanya berkutat dalam buku diktat dan kanon belaka. Ia rajin mendokumentasikan pengamatan dan risetnya. Praktek dan pengalamannya dalam bidang kedokteran banyak dicatatkan dalam buku Al Qanun fit-Thib. Sebagai contoh, bagaimana ia mendiagnosis penyakit ginjal pasiennya berdasarkan warna urin, atau parahnya gangguan perncernaan dari wujud tinja. Ia juga mendokumentasikan ragam terapi yang sudah ia lakukan pada pasien-pasiennya.
Maka pantaslah diakui, capaian Ibnu Sina, terutama dalam bidang medis dan filsafat memang tak lepas dari mudahnya akses sumber ilmu, “kecanduan” belajar, serta ketekunannya untuk menguraikan dan mencatat temuan-temuan – terlepas ia dikaruniai kecerdasan berlebih. Semoga dari proses belajar Ibnu Sina yang luar biasa itu ada yang bisa menginspirasi kita.