Melacak Genealogi Teologi Kebencian Kaum Takfiri

Melacak Genealogi Teologi Kebencian Kaum Takfiri

Kenapa teroris benci terhadap pemerintah? Tulisan ini berupaya untuk melacak genealogi teologi kebencian kaum takfiri.

Melacak Genealogi Teologi Kebencian Kaum Takfiri
Pendiri JAD, Aman Abdurrahman divonis mat atas tindakan terornya selama inii. Apakah ia tergolong mati syahid?

Beberapa wawancara yang saya lakukan terhadap sejumlah orang yang terlibat kasus terorisme membuat saya berkesimpulan, pada umumnya, para narasumber saya itu memiliki tingkat kebencian tertentu terhadap pemerintah. Narasi kebencian tersebut agaknya merupakan akumulasi dari sejumlah pengalaman yang saya kira cukup kompleks. Para ekstremis hari ini pada umumnya memiliki riwayat hubungan dengan ideologi gerakan Darul Islam (DI). Mereka merasa kekalahan DI merupakan pengalaman pahit. Mereka merasa harus menerima rasa pahit itu. Bisa saja mereka tidak punya hubungan darah dengan para pendukung DI. Tetapi ikatan emosional karena proses internalisasi ideologi DI oleh para aktivisnya membuat mereka merasa punya hubungan sejarah di masa lalu. Ketika DI mengalami kekalahan menyakitkan, mereka akhirnya turut merasakan rasa sakitnya. Ketika DI memusuhi Negara yang berdasar Pancasila, mereka merasa juga harus melakukan hal yang sama.

Sebagai contoh, Aman Abdurrahman –tokoh yang dikenal sangat berpengaruh di kalangan ekstremis dalam lima tahun terakhir, merupakan mantan pengikut NII (istilah lain untuk DI), sebelum kemudian berpindah haluan menjadi aktivis Partai Keadilan (PK) dan bertransformasi menjadi ideolog Salafi-Jihadi. Sejak 2015, aksi terorisme dilakukan oleh para pendukung Aman Abdurrahman yang dikenal dengan sebutan Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Sebagai ideolog, Aman Abdurrahman meramu berbagai pemikiran politik keagamaan ala DI, PK, dan Salafi-Jihadi. Tetapi, karya-karyanya pada akhirnya lebih mencerminkan pemikiran politik keagamaan Salafi-Jihadi; dalam varian yang menurutnya paling ‘murni’ dan ‘konsekuen’. Salafi-Jihadisme yang berlandasarkan pemikiran langsung pendiri Wahhabisme.

Generasi baru pendukung ideologi Negara Islam mendapatkan energi baru dengan masuknya beragam ideologi islamisme dari kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan sejak tahun 80-an. Puncaknya tentu setelah terbukanya kran reformasi pada tahun 1999, mereka dapat menyebarluaskan gagasannya secara lebih leluasa. Bentuk Islamisme dari Timur Tengah tidak tunggal. Sekalipun pada umumnya didominasi oleh pemikiran politik Ikhwanul Muslimin, yang terkadang dikolaborasikan dengan pemikiran Wahhabisme, tetapi belakangan para pendukung Wahhabisme mulai mencari rujukan otentik di kalangan mereka sendiri untuk mendukung gerakan yang lebih berdampak.

Hal ini sebagaimana dilakukan oleh seorang ‘intelektual jihadis’ bernama Abu Muhammad Al-Maqdisi. Dia mengelaborasi berbagai karya para pendiri Wahhabisme yang berorientasi pengkafiran.  Dengan merujuk kepada karya-karya tokoh Wahhabisme generasi pertama, dia bahkan mengkafirkan para penguasa Kerajaan Arab Saudi. Negara yang dikenal sebagai tempat bernaung ajaran Wahhabisme. Sebagian anak muda penggemar kajian politik Islam yang radikal sangat meminati bukunya yang berjudul Al-Kawasyif Al-Jaliyyah Fi Kufri Al-Daulah Al-Sa’udiyyah (Membongkar Kekafiran Negara Arab Saudi). Tentu saja buku ini membuat pihak berwenang Arab Saudi tidak senang. Beberapa intelektual Saudi mengeluarkan kritik dan bantahan terhadap buku tersebut. Tetapi gaya berfikir Al-Maqdisi yang rajin mengorek-ngorek karya para pemuka Wahhabi generasi pertama telah mendapat perhatian serius dari pengikutnya.

Narasi Al-Maqdisi punya gaya tersendiri.  Dia mengajak para pengikut Wahhabi di seluruh dunia untuk kembali mempelajari karya-karya otentik pendiri aliran tersebut. Dia sangat mengagumi Juhaiman Al-Utaibi, aktivis gerakan Salafiyah Muhtasibah yang pernah menyabotase Masjidil Haram pada tahun 1979. Kekaguman itu tidak lain karena, menurut Al-Maqdisi, Juhaiman sangat ingin menerapkan Wahhabisme secara murni dan konsekuen. Hal ini kemudian menjadi prinsip tersendiri bagi Al-Maqdisi. Merujuk karya-karya otentik pendiri Wahhabisme dan menerapkannya secara harfiyah untuk menentukan sikap dalam dunia politik kontemporer.

Salah satu karya yang paling sering dirujuk adalah Risalah Fi Ma’na Al-Thaghut (Catatan Tentang Pengertian Thaghut). Di Indonesia, karya ini diterjemahkan, diajarkan, disebarkan dengan penuh keimanan, salah satunya oleh Aman Abdurrahman. Aman Abdurrahman merupakan peminat karya-karya Al-Maqdisi. Tidak kurang dari tiga puluhan buku Al-Maqdisi telah diterjemahkan oleh Aman Abdurrahman ke dalam bahasa Indonesia. Pilihan terhadap buku ini tentu memiliki alasan tersendiri. Di antara poin yang paling kuat yang bisa ditangkap dari karya ini adalah konsepsi yang sederhana, jelas, tegas dan lengkap tentang musuh agama (thaghut) dan panduan memusuhinya. Aman Abdurrahman sangat senang  dengan gaya berfikir yang sederhana semacam itu.

Bisa dibilang, Aman Abdurrahman sangat sering melakukan pengutipan kitab Risalah Fi Ma’na Thaghut. Aman Abdurrahman memasukkannya ke dalam beberapa bagian dalam buku Seri Materi Tauhid.  Dalam buku ini, pada bab empat, Aman Abdurrahman menulis tentang “Siapakah Thaghut?” Menurut pengakuan Aman Abdurrahman, tulisan ini merupakan syarah atau penjelasan singkat Risalah fi Ma’na Thaghut karya Al-Imam Al-Mujaddid Syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah. Pihak yang disebut Thaghut setidaknya terdapat lima kelompok atau individu yang meliputi: (1) setan dari golongan jin dan manusia, (2) penguasa yang zalim, (3) orang yang memutuskan sebuah hukum dengan selain hukum Allah, (4) orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib, (5) orang yang diibadati selain Allah, sedangkan dia ridha. Kelimanya, bagaimana pun, digunakan sebagai titik pijak untuk mendukung klaim kekafiran pemerintah dan umat Islam tradisional.

Menurut Aman Abdurrahman, seorang mukmin sejati harus kafir terhadap para thaghut. Hal ini didasarkan kepada penafsiran terhadap sejumlah ayat Al-Quran dan hadis. Di antaranya hadis “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Aman Abdurrahman, sebagaimana Ibnu Abdil Wahhab yang diikutinya, memahami tidak cukup bersyahadat tanpa ada “kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah”. Sesuatu yang diibadati selain Allah adalah thaghut itu sendiri. Jadi, kafir terhadap yang diibadati selain Allah adalah kafir terhadap thaghut itu sendiri. Mengenai tata cara kufur terhadap thaghut, sekali lagi, Aman Abdurrahman juga mengutip apa adanya pernyataan Ibnu Abdil Wahhab. Aman Abdurrahman menulis, “Syaikh Muhammad rahimahullah berkata dalam Tata Cara Kufur Terhadap Thaghut, ‘Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya, engkau membencinya, engkau mengkafirkan para pelakunya, serta engkau memusuhi mereka.’”

Jadi, menurut Aman Abdurrahman –mengutip Ibnu Abdil Wahhab, cara kufur terhadap adalah dengan meyakini kebatilan, meninggalkan, membenci, mengkafirkan para pelakunya, dan memusuhi mereka. Di sini, Ibnu Abdil Wahhab merumuskan teologi kebenciannya secara detail. Sejak dari keyakinan, seseorang harus meyakini kesalahan apa yang disebut thaghut, lalu menjauhinya, membenci para thaghut, mengkafirkan pengikut thaghut, dan memusuhinya.

Saat menulis karya Risalah Fi Ma’na Thaghut, Ibnu Abdil Wahhab yang hidup pada abad ke-18, tentu saja tidak bermaksud membenci, memusuhi kerajaan Arab Saudi. Hal ini sangat sulit dibayangkan. Karena kenyataannya, Ibnu Abdil Wahhab sedang membela kerajaan tersebut. Negara yang sedang melawan imperium Kesultanan Turki Usmani. Berbeda dengan Abu Muhammad Al-Maqdisi yang justru menggunakan karya Ibnu Abdil Wahhab untuk membenci dan memusuhi Kerajaan Arab Saudi. Lebih berbeda lagi dengan Aman Abdurrahman yang menggunakannya untuk mengkafirkan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia.

Di sini, kita dapat memahami bahwa teks adalah benda mati. Yang membuatnya berbicara, berfungsi dan berguna secara sosial adalah orang-orang yang punya kepentingan. Teks karya Syekh Ibnu Abdil Wahhab yang pada mulanya digunakan untuk mendukung klaim teologis kerajaan Arab Saudi, oleh sebagian pengikutnya hari ini digunakan untuk menyerang kerajaan sang pendiri. Dalam konteks Indonesia, pengikutnya menggunakan karyanya untuk membenci, memusuhi dan mengkafirkan aparatur negaranya.

Abu Muhammad Al-Maqdisi merintis ideologi tauhid dan jihad berdasar spirit Wahhabisme generasi pertama. Abu Mus’ab Al-Zarqawi, murid Al-Maqdisi, mentransformasikannya dalam bentuk gerakan sehingga melahirkan kelompok Jamaah Tauhid Wal Jihad yang kemudian berubah menjadi ISIS di Timur Tengah. Kelompok yang dilabeli sebagai kaum Takfiri, bahkan oleh sesama kaum jihadis. Di Indonesia, Aman Abdurrahman telah menerjemahkan buku-buku Al-Maqdisi dan buku-buku Ibnu Abdil Wahhab yang mengandung unsur revolusioner. Beberapa faksi dan simpatisan jihadis di Indonesia sangat berterima kasih kepada Aman Abdurrahman yang telah menerjemahkannya. Menjadikannya sebagai penguat narasi kebencian ideologis, yang bukan aja berdimensi politis tetapi juga teologis.