Aman Abdurrahman Meyakini Pemerintah Haram Ditaati, Ini Kekeliruannya Memahami Ulil Amri dalam Surat Al-Nisa Ayat 59

Aman Abdurrahman Meyakini Pemerintah Haram Ditaati, Ini Kekeliruannya Memahami Ulil Amri dalam Surat Al-Nisa Ayat 59

Menurut Aman Abdurrahman, pemerintah Indonesia tidak termasuk dalam kategori ulil amri yang disebutkan dalam surat al-Nisa ayat 59, sehingga tidak perlu ditaati, apakah ini benar?

Aman Abdurrahman Meyakini Pemerintah Haram Ditaati, Ini Kekeliruannya Memahami Ulil Amri dalam Surat Al-Nisa Ayat 59
Pendiri JAD, Aman Abdurrahman divonis mat atas tindakan terornya selama inii. Apakah ia tergolong mati syahid?

Abu Sulaiman Aman Abdurrahman atau dikenal Aman Abdurrahman memang benar-benar ngawur dan berpikiran kacau. Lewat bukunya yang berjudul Seri Materi Tauhid for the Greatest Happiness: Tauhid dan Jihad, (1427 H/2006 M), Aman hendak menyalahkan semua penafsiran kata “ulil amri” (pemerintah) yang berbeda dari penafsirannya.

Aman mencoba meyakinkan orang lain melalui penafsirannya. Menurutnya, banyak orang tidak utuh dalam memahami kata “ulil amri.” Kata “al-ladzīna āmanū” (orang-orang yang beriman) di awal Surat al-Nisa ayat 59 sering kali dipisahkan dari kata “ulil amri.” (Aman, 1427 H/2006 M: 106).

Pemimpin yang harus ditaati adalah pemimpin Muslim. Dari sini kemudian, interpretasi pribadi Aman masuk. Menurutnya, tidak semua pemimpin yang beragama Islam harus ditaati, tetapi harus pemimpin Muslim dengan syarat beriman kepada Allah dan mengingkari thagut.

Dengan mengutip Surat Al-Baqarah ayat 178 dan 256, Ali Imran ayat 64, At-Taubah ayat 5 dan 11, Al-Hujurat ayat 10, beberapa hadis, pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab, Hamd bin Athiq, Abdurrahman bin Hasan, dan Sulaiman Ibnu Abdillah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, Aman Abdurrahman mengafirkan pemerintah NKRI.

Menurut Aman, pemerintah NKRI bukan ulil amri dalam Al-Quran yang wajib ditaati karena (1) pemerintah RI adalah thaghut (An-Nisa ayat 60), yang membuat undang-undang sendiri. (Aman, 1427 H/2006 M: 111); (2) Pemerintah RI–meski secara individu beragama Islam–bukan ulil amri yang dimaksud dalam Al-Quran karena menuhankan para alim ulama dan pendeta sebagaimana umat nasrani di zamannya (At-Taubah ayat 31). Sedangkan para alim ulama dan pendeta di NKRI menuhankan diri sendiri (Aman, 1427 H/2006 M: 112); dan (3) Pemerintah RI membuat hukum sendiri yang tidak berasal dari-Nya sebagai wahyu setan. Mereka yang membuat regulasi dan peraturan disebut wali setan. Pendukungnya disebut musyrikin seperti Surat Al-An’am ayat 161. (Aman, 1427 H/2006 M: 113).

Wahhasil, Pemerintah RI adalah pemerintah kafir yang haram untuk ditaati karena antara lain menganut sistem demokrasi dan berpijak pada Pancasila yang dilarang sebagaimana Surat Yusuf ayat 40. (Aman, 1427 H/2006 M: 116).

“Jadi pemutus hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah adalah bukan sekedar thaghut, akan tetapi termasuk pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah tidak sah kecuali dengan kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin Pemerintah NKRI ini dikatakan sebagai pemerintah muslim mu’min, sedangkan mereka bukan sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut… maka mereka bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir.” (Aman, 1427 H/2006 M: 116)

Bagaimana mulanya?

Aman ingin membatasi makna siapa ulil amri dalam Al-Quran yang wajib ditaati. Aman juga dengan penafsirannya yang ugal-ugalan, sulit dipahami, jauh dari rujukan ulama salaf, hendak mengeksklusi semua pandangan ahli tafsir termasuk ahli tafsir dari kalangan sahabat terkemuka seperti Ibnu Abbas RA, Abu Hurairah RA, dan deratan sahabat lainnya.

Panjang-panjang, kutip Al-Quran sana sini untuk membenarkan penafsirannya, plus berputar-putar, Aman ingin bilang bahwa Pemerintah NKRI adalah pemerintah thagut, pemerintah batil yang haram untuk ditaati. Pemerintah NKRI dan pemerintah negara lain yang serupa–yang mengubah hukum Allah–adalah wali-wali setan yang membuat aturan lewat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. (Aman, 1427 H/2006 M: 113) Aman dengan kutip sana-sini mengembangkan narasi kebencian atas NKRI. Aman hendak merontokkan legitimasi NKRI.

Jika ingin dibedah, Aman hamper sama sekali tidak mengutip pandangan ulama tafsir terkemuka yang begitu kaya. Aman hanya mengutip Al-Quran sana sini dan pendiri ajaran Wahabi (Muhammad bin Abdul Wahhab) dan pengikutinya. Padahal penafsiran atas Al-Quran tidak dapat melewati begitu saja pandangan ulama tafsir terdahulu, salaf. Dengan mengikuti emosi dan kekacauan nalar, Aman bisa jadi termasuk dari mereka yang disebut nabi dengan man tafassaral qur’an bi ra’yih atau orang yang menafsirkan Al-Quran dengan nafsu pribadinya. Aman sendiri terjebak untuk memutlakkan pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab dan beberapa orang yang dikutipnya (yang entah apa kepakarannya yang dikenal dalam dunia Islam).

Kalau mau menengok tafsir terdahulu, kita akan menemukan pandangan yang kaya dan beragam. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranil Azhimnya mengutip pendapat Ibnu Abbas RA–sebagaimana pandangan Atha, Mujahid, dan Hasan Al-Bashri–yang menyatakan ahli fiqih dan ahli agama untuk tafsir kata “ulil amri” pada Surat An-Nisa ayat 59. Sedangkan Abul Aliyah memahami kata “ulil amri” sebagai ulama.

Adapun Imam Al-Baghowi dalam tafsirnya Maalimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil menyebutkan perbedaan pandangan ulama tanpa memutlakkan salah satu penafsiran mereka. Kata “ulil amri” menurut shabata Ibnu Abbas RA dan sahabat Jabir RA adalah ahli fiqih dan ulama yang mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Pendapat ini diikuti oleh Al-Hasan Al-Bashri, Ad-Dhahhak, dan Mujahid. Pandangan ini didukung oleh Surat al-Nisa ayat 83. Sedangkan sahabat Abu Hurairah RA menafsirkan “ulil amri” adalah pemerintah dan pejabat otoritas setempat.

Menurut Ibnu Katsir, panjang lebar bagaimana pun soal tafsir Surat al-Nisa ayat 59, penafsiran kata “ulil amri” hanya berputar antara ulama dan pemerintah. Tidak lebih.

Lalu bagaimana dengan tuduhan Aman Abdurrahman terhadap Pemerintah RI yang tidak termasuk ke dalam kata “ulil amri” yang wajib ditaati? Untuk membuktikan itu, kita tidak perlu memahami ilmu tafsir dan ushul fiqih dengan mendakik-dakik.

Kita cukup menengok satu atau dua kitab tafsir bil ma’tsur yang diakui sebagai literatur tafsir Al-Quran dalam dunia keilmuan Islam (seperti tafsir At-Tabari, Al-Baghowi, Al-Qurthubi, atau Ibnu Katsir). Kita juga perlu menguji kekacauan premis (asumsi awal) yang diajukan Aman Abdurrahman sehingga melahirkan simpulan yang juga kacau menurut ukuran ilmu manthiq, yaitu Pemerintah NKRI yang thagut dan batil.

Apakah benar Pemerintah NKRI mengubah hukum syariat dengan membolak-balikkan yang halal menjadi haram dan sebaliknya?

Pemerintah RI sejak berdiri 1945 tidak pernah mencampuri halal dan haram agama Islam dan juga ketentuan dalam agama yang dinaungi dalam NKRI.

Apakah para ulama dan rahib di Indonesia memosisikan dirinya sebagai rabb/arbab (tuhan) yang membuat peraturan?

Ulama tidak pernah mengubah ketentuan syariah yang sudah qath’i halal dan haramnya (tasyri’). Ulama hanya menjelaskan petunjuk teknis (sebagai penjelasan turunan) yang menjadi ruang kosong tanpa penjelasan dari ketentuan syariah. Ruang kosong itu kemudian diisi oleh ulama dengan metode istinbathul ahkam sebagai ruang ijtihad para ulama.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah/umara dan ulama menjalankan tugas dengan proporsional sesuai kewenangan yang ada padanya. “Pemerintah RI” baik eksekutif, legislati, dan yudikatif membuat aturan hukum atau regulasi yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia di dunia sebagaimana hadits Rasulullah “antum a‘lamu bi umūri dunyākum” (kalian lebih mengerti dunia kalian [silakan atur urusan duniawi]).

Adapun ulama mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan terkait masalah baru yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia yang beragama Islam tanpa mengubah hal yang sudah tetap dalam agama Islam itu sendiri (maklum bid dharurah) untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.

Konsep pembagian kewenangan umara dan ulama ini dijelaskan dengan jelas berikut dalil, argumentasi, sisi historis umat Islam oleh Imam Syihabuddin Al-Qarafi dalam karyanya, Al-Ihkam fi Tamyizil Fatawa anil Ahkam wa Tasharrufatil Qadhi wal Imam.

Aman Abdurrahman perlu mempelajari bagaimana sejauh mana otoritas ulama melalui fatwa dan otoritas umara melalui produk hukum untuk menafsirkan kata “ulil amri” pada Surat al-Nisa ayat 59 dari kitab-kitab ulama terkemuka. Kecuali itu, Aman perlu mempelajari ilmu manthiq agar dapat menyusun pandangan pribadinya dengan premis-konklusi yang tertib. Terakhir, Aman juga perlu mempelajari pandangan ulama-ulama tafsir terkemuka dalam dunia Islam. Selama ini ia mengutip entah siapa yang sama sekali nggak kredibel di bidangnya. Tentu banyak lagi materi keislaman yang perlu dipelajari Aman seperti ushul fiqih, fiqih, ulumut tafsir, dan syarah hadits.

Selain Aman, mereka yang mengikuti pandangan Aman Abdurrahman juga perlu kritis dalam menerima pandangan gurunya. Mengapa demikian? Nyadar nggak sih kalau gurunya sering nggak konsisten secara logika.

Bagaimana bisa Aman menuduh ulama di Indonesia menuhankan dirinya dengan membuat produk-produk hukum Islam? Padahal Aman sendiri memutlakkan (juga menuhankan) pandangan Muhammad bin Abdul Wahhab dan entah siapa lagi nama-nama aneh yang dikutipnya.