Aman Abdurrahman Menyebut Pemerintah Musyrik, Ini Kesalahannya Memahami Surat Al-Baqarah Ayat 191

Aman Abdurrahman Menyebut Pemerintah Musyrik, Ini Kesalahannya Memahami Surat Al-Baqarah Ayat 191

Aman Abdurahman menyamakan pemerintah Indonesia dengan orang-orang musyrik sehingga boleh diperangi. Pandangan ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 191. Apakah pemahaman Aman ini benar?

Aman Abdurrahman Menyebut Pemerintah Musyrik, Ini Kesalahannya Memahami Surat Al-Baqarah Ayat 191
Pendiri JAD, Aman Abdurrahman divonis mat atas tindakan terornya selama inii. Apakah ia tergolong mati syahid?

Ramadhan, sarung dan perang bisa jadi merupakan bagian kenangan menyenangkan bagi masyarakat Muslim Nusantara. Bermain perang sarung sedikit sakitnya banyak lucunya. Paling parah korban perang sarung akan menangis sejenak untuk kemudian ikut bermain kembali. Ketika kata perang dipadu dengan kata sarung hasilnya adalah keriangan, kebersamaan serta kerukunan dalam bingkai permainan masa kecil. Tidak akan begitu hasilnya jika kata perang dipadu dengan kata dunia, agama, salib, dan jihad.

Perang dengan embel-embel salah satu kata di atas melahirkan frasa yang ultra serius. Dalam keadaan perang seperti itu tidak akan ada orang yang bisa menyempatkan diri melucu. Tidak ada humor yang bisa dibangun di atas puing-puing kehancuran dan mayat-mayat bergelimpangan. Menjadi konyol jika dalam situasi damai ada pihak yang menginisiasi perang dengan alasan yang sangat lemah.

Aman Abdurrahman misalnya menyatakan bahwa ayat 191 surat al-Baqarah adalah dasar untuk memerangi serta mengusir pemerintah NKRI yang menurutnya musyrik. Ia terangkan bahwa tidak perlu mencari orang-orang kafir yang jauh, perang dengan pemerintah sudah termasuk menjalankan muatan ayat tersebut.

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ

Artinya:

“Dan perangilah mereka di mana pun kalian temui dan usirlah mereka dari mana pun mereka mengusir kalian. Adapun fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Dan jangan kalian perangi mereka di dalam Masjidil Haram hingga mereka memerangi kalian di dalamnya. Jika mereka memerangi kalian maka perangilah mereka. Demikianlah balasan orang-orang kafir.” (QS: Al-Baqarah ayat 191)

Sementara al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur’an menegaskan bahwa konteks ayat ini berkenaan dengan jatuh temponya perjanjian Hudaibiyah. Di mana umat Muslim sudah seharusnya diizinkan untuk berihram seperti yang tertera dalam perjanjian tersebut. Meski begitu terdapat informasi bahwa kaum Quraisy hendak melakukan serangan jika umat Muslim berziarah ke Masjidil Haram. Sementara kaum Muslim tidak enak hati untuk menjalankan perang di bulan haram, lebih-lebih di dalam Masjidil Haram.

Kita dapat membaca bahwa ayat ini mengonfirmasi diizinkannya perang dalam situasi darurat. Jika melihat pada konteks yang diterangkan al-Qurthubi dan fath Makkah yang kemudian menjadi hasil akhir maka sebab khusus ini mengantarkan pada pembatasan situasi dan daerah. Situasinya adalah ketika terancam, sementara daerahnya pada waktu itu adalah di mana pun berada di dalam area Mekah. Oleh karenanya pada pertengahan ayat disebutkan spesifik perihal boleh tidaknya berperang di dalam Masjidil Haram.

Di titik lain masalah kaum Quraisy yakni mereka khawatir masuknya umat Muslim ke Mekah berimbas pada posisi politik yang tidak menguntungkan. Masuknya kubu lawan ke dalam pusat ritus keagamaan utama, yang mereka klaim secara sepihak, akan menjadi tanda bahwa mereka telah lemah. Meski begitu mereka akan dianggap tidak bijak jika menolak kaum Muslim karena adanya tradisi pemelihara Ka’bah wajib menjamin kemanan bahkan akomodasi setiap peziarah.

Adanya informasi jika kaum Quraisy hendak menyerang kaum Muslim setelah Hudaibiyah jatuh tempo menandakan bahwa mereka tidak mengindahkan pakta perjanjian. Sementara memenuhi janji dan kesepakatan merupakan etika yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Penentangan terhadap nilai ideal ini adalah bentuk kesewenangan demi kepentingan gerombolan kecil atau pribadi. Sengaja memilih jalan untuk keuntungan privat dengan cara menghancurkan kemaslahatan komunal merupakan wujud dari destruksi nilai kemanusiaan. Telah menjadi tugas Rasulullah SAW untuk memberangus kezaliman macam itu dan mengukuhkan asas keadilan serta kesetaraan. Pada konteks masa tersebut jalan satu-satunya adalah perang.

Dari titik ini terlihat bahwa pernyataan pak Aman bukan hanya bertentangan dengan konteks ayat ini, lebih dari itu pemikirannya sebanding dengan tendensi kaum Quraisy yang tidak menerima risalah dari Nabi SAW. Pak Aman seakan tidak lagi mau mengindahkan pakta damai yang dijalin oleh para pendiri bangsa demi berlangsungnya kehidupan yang manusiawi dan setara satu sama lain.

Kegelisahan pak Aman tidak lain karena menurutnya orang-orang Muslim yang menegakkan Tauhid disengsarakan dan ditangkapi oleh aparat. Menurutnya perang terhadap pemerintah adalah satu-satunya jalan.

Jika pernyataan pak Aman itu betul perihal Muslim yang bertauhid ditangkapi aparat, maka seharusnya pemerintah telah membangun rutan seluas Sabang sampai Merauke. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dan setiap Muslim wajib memegang tauhid. Mengatakan hanya Muslim yang ditangkapi yang bertauhid dan berada pada jalan yang lurus adalah bentuk justifikasi tanpa dasar. Sebaliknya Muslim dengan tauhid yang baik adalah mereka yang memegang teguh syariat dan menghormati kesepakatan demi kemaslahatan komunal. Catatannya selagi kesepakatan tersebut tidak menyalahi syari’at Islam.

Umat Muslim di Nusantara ini telah hidup damai dan sangat bebas melaksanakan setiap kegiatan keagamaan. Hukum positif dalam bingkai kesepakatan antar umat beragama pun tidak melemahkan jalannya syari’at, keduanya berjalan pada rel yang sama yakni menuju kehidupan yang adil dan beradab. Seorang Muslim dilarang keras mengingkari syariat Islam. Sementara tidak mengindahkan kesepakatan demi tercapainya kemaslahatan umum dengan dalih menegakkan syariat adalah bentuk paling murni dari pelanggaran syariat itu sendiri.

Lebih-lebih menginisiasi perang di daerah damai melawan pemimpinnya yang juga Muslim, maka hal ini telah jauh sekali dari syariat Islam. Mereka yang memiliki keyakinan macam ini menggunakan dalil-dalil agama hanya sebagai alat provokasi dan mobilisasi, bukan sebagai petunjuk untuk kemaslahatan bersama. Pernyataan perang di jalan Allah tidak sebercanda itu. Semestinya orang-orang yang menggunakan dalil agama tanpa keilmuan yang jelas tidak perlu membahas perkara serius apalagi perang. Jika belum punya sarung untuk bermain, boleh pinjam yang lain, jangan nakal beralih memainkan dalil agama.