PKS dan Ikhwanul Muslimin, Apakah di Indonesia Bisa Berbeda?

PKS dan Ikhwanul Muslimin, Apakah di Indonesia Bisa Berbeda?

PKS dalam sejarahnya menyerupai Ikhwanul Muslimin, lalu apa bedanya di Indonesia? Yuk simak analisisnya

PKS dan Ikhwanul Muslimin, Apakah di Indonesia Bisa Berbeda?

Syaikh Yusuf Qardhawi (2001) menegaskan bahwa Partai Keadilan (sebelum berganti menjadi Partai Keadilan Sejahtera) merupakan kepanjangan tangan dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Indonesia. Pernyataan ini terlontar sebagai bentuk catatan reflektif Qardhawi atas perkembangan politik Indonesia di awal abad 21. Bagi Qardhawi, PK (atau sekarang PKS) merupakan garda depan cita Pan-Islamisme di Indonesia.

Penegasan Qardhawi itu memberikan fakta bahwa bahwa PKS adalah copy-paste dari IM yang lahir atas realitas politik di Mesir dan Timur-Tengah. Artinya, PKS berpijak di atas Islamisme ala Mesir atau Timur-Tengah. PKS tidak tumbuh dari taman sari Islam Indonesia.

Namun, beberapa elit PKS membantah klaim Qardhawi itu. Anis Matta (Rathomy, 2007:54) menjelaskan bahwa PKS bukan kepanjangan IM tetapi Anis Matta membenarkan bahwa salah satu gerakan yang paling dekat dengan pemikiran Ikhwan adalah PKS.

Hal senada juga dikatakan Hidayat Nurwahid (Rathomy, 2007:54), Nurwahid menjelaskan bahwa substansi pemikiran lebih penting daripada nama besar Ikhwanul Muslimin.. Artinya, meski ada bantahan bahwa PKS adalah kepanjangan tangan dari IM, namun ada pengakuan bahwa pemikiran IM merupakan rujukan penting dan utama PKS.

Di tataran akar rumput, pemikiran IM itu dimaterialkan melalui kaderisasi berbentuk ushroh-ushroh atau liqo’, semacam kelompok-kelompok kecil, yang dimentori oleh seorang murobbi. Kelompok-kelompok kecil ini, yang sebagian besar dari kalangan mahasiswa dan pelajar, rutin mengkaji nilai-nilai pemikiran dan perjuangan IM. Pemikiran Hasan Al-Banna, Yusuf Al Qardhawi, Sayyid Qutub, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghany dan tokoh-tokoh IM lainnya rutin dikaji dan ditelaah dalam liqo’-liqo’ itu. Gagasan besarnya adalah Islam yang kaffah dan terpadu.

Artinya, PKS melekatkan gagasan Islamisme pada para Mujtahid Mesir. Jangan bayangkan pemikiran Mujtahid Indonesia seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Tan Malaka, Natsir, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, HAMKA, atau Agus Salim dikaji serius dalam liqo’-liqo’ itu.

Secara organisasi, PKS memang tidak terkait-paut dengan IM, namun ideologi dan kultur gerakan PKS identik dengan IM. Satu catatan penting, kekuatan utama PKS (dan juga IM) adalah kemampuannya melakukan kaderisasi secara berjenjang dari liqo’-liqo’, keluarga, sampai mendirikan sekolah-sekolah dengan label “Islam Terpadu”. Pendidikan (Tarbiyah) merupakan kunci penting bagi gerakan ini.
Oleh karena itu, sebelum menjelma menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia, para aktivis ini, di kampus-kampus, sering disebut dengan Jamaah Tarbiyah, yang dalam titik tertentu bermetamorfosis menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Meskipun antara KAMMI dan PKS tidak ada hubungan organisatoris namun hubungan ideologi, kultur, dan kesejarahan sangat kuat di antara keduanya.

Menilik realitas di atas, untuk masa depan PKS yang lebih cerah, partai ini setahap demi setahap mempunyai tanggung-jawab untuk “mengindonesiakan” diri.

Hal ini penting untuk mendekatkan PKS dengan nilai-nilai keindonesiaan. Gagasan-gagasan Islamisme para Mujtahid Mesir perlu didialogkan dengan pemikiran Mujtahid Indonesia. Bagaimanapun, budaya dan sejarah Mesir dalam menerima Islam berbeda dengan Indonesia.

Karakter kebudayaan Mesir juga berbeda dengan Indonesia. Memaksakan diri menjadi partai yang “berwajah” Islam-Mesir menjadikan relasi antara PKS dengan keindonesiaan ahistoris dan asosiologis.

Tentu saja hal itu akan indah, jika terjadi dialog gagasan yang intens antara Hasan Al-Bannaisme dengan Soekarnoisme, atau gagasan Tjokroaminoto dengan Al-Afghany, atau mendialogkan metode tarbiyah-terpadu dengan metode pendidikan ala Ki Hajar Dewantara. PKS akan tumbuh menjadi partai yang mempunyai pijakan dengan narasi pemikiran keindonesiaan.

Lebih jauh, PKS perlu juga membangun silaturahmi yang lebih intim dan ramah dengan NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. PKS akan menumbuh-menguat jika kader-kadernya berdialog dan membuka hubungan secata bermartabat dengan kyai-kyai dan santri-santri NU dan Muhammadiyah; bukan malah mengambil jarak dan berprilaku konfrontatif.

Gagasan Islamisme dan (mungkin) juga Pan-Islamisme tidak akan menemukan relevansinya dengan konteks kekinian dan kedisinian jika tidak dipribumikan. Memperjuangkan Islam dengan mengabaikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat hanya akan membuat Islam dijauhi. Bukankah nabi pernah bersabda: “Berdakwah-lah dengan bahasa kaum.”

Tapi, sekali lagi, kita patut bertanya, bisakah PKS menjadi Indonesia seutuhnya, dengan tidak membangun sekat antar umat beragama dan mewujudkan persaudaraan antar umat, tidak hanya umat islam semata laiknya cita-cita negeri ini.