
Pada awal tahun 2025 hingga Februari, harga emas terus melonjak drastis mencapai angka tidak tersentuh sebelumnya. Berdasarkan data PT. Antam, harga emas batangan per 10 Februari mencapai Rp 1.667.000 per gram, melonjak naik sejak awal Januari sebanyak Rp. 136.000 per gram. Kenaikan harga tersebut dipicu dari faktor kondisi ekonomi global, dan juga pengaruh mata uang dolar. Menurut prediksinya, harga emas akan terus meningkat naik dan mungkin saja mencapai rekor tertentu yang belum pernah tersentuh sebelumnya.
Naiknya harga emas tersebut, berdampak kepada sebagian tatanan masyarakat yang menjadikan emas sebagai salah investasi dan bahkan sebagai kebutuhan adat. Di samping ekonomi masyarakat Indonesia yang masih menjadi salah satu negara dengan pendapatan per kapita yang masih tergolong rendah. Dampak selanjutnya juga pada sulitnya masyarakat Indonesia yang mencoba berinvestasi dan pemenuhan kebutuhan yang menggunakan transaksi emas. Sehingga hal tersebut mendorong masyarakat dalam jurang kemiskinan yang diciptakan oleh tren emas yang kian melonjak.
Salah satu dampak dari melonjaknya harga emas adalah pada persoalan adat pernikahan di Aceh, khususnya terkait mahar emas (Mayam). Mayam sebagai satuan takaran emas murni yang berlaku di Aceh, dan dihitung per mayam sama dengan 3.33 gram emas murni. Jika dirupiahkan per 10 Februari adalah sekitar Rp 4.860.000, belum termasuk ongkos percetakan. Umumnya masyarakat Aceh yang ingin menikah, menggunakan satuan mayam sebagai mahar untuk menikahi perempuan, dan ketentuan jumlah biasanya diatur oleh kedua belah pihak perempuan laki laki.
Ketentuan jumlah mayam yang harus dimiliki oleh lelaki sebagai calon pengantin berbeda beda, tergantung daerah atau kabupaten tertentu di Aceh. Jumlahnya variatif, mulai 3 hingga 30 mayam, dan itu belum lagi dengan uang tunai dan hadiah lainnya yang cenderung menjadi kewajiban. Ketentuan mahar dalam prespektof Islam disebutkan sebagai hadiah yang seharusnya tidak memberatkan kedua belah pihak. Lalu, bagaimana dengan tren saat ini, dengan persoalan ketidakstabilan ekonomi seperti pengangguran dan kemiskinan. Mampukah Aceh mengkaji kembali adat terkait pernikahan yang cenderung memberatkan dalam tatanan sosial dan masyarakat?
Jika dilihat dari data BPS, tren pemuda yang menikah dari rentang umur 25 hingga 30 tahun menurun. Terhitung sejak 2015-2024, pemuda yang belum menikah mencapai 69.75 persen dari 60 juta pemuda. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor eksternal, salah satunya masalah ekonomi. Masalah ekonomi di provinsi Aceh semakin meningkat, jika dilihat dari GDP per kapita, Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Dan jika diukur dari skala pulau Sumatera, Aceh menduduki peringkat pertama sebagai provinsi termiskin. GDP per kapita hanya Rp 41.424.370. Di samping itu, UMP Aceh yang meningkat 6,5 persen tahun 2025 dengan total Rp 3.685.616. Namun bahkan upah minimum provinsi Aceh pun tidak mampu menyaingi satu mayam emas sebagai mahar pernikahan di Aceh.
Jika negara tidak mampu memberikan kebutuhan terhadap warga negara, apakah adat juga bisa mengalami defisit layaknya defisit anggaran? Mahar yang begitu mahal sepertinya bisa menjadi pertimbangan di tengah angka kemiskinan semakin lumrah. Apalagi, jumlah penghasilan pekerja yang minim, ditambah banyaknya pengangguran. Dengan adanya problem tersebut, kini pemuda di Aceh mengalami dua masalah: Financial freedom dan tantangan untuk melanjutkan jenjang kehidupan yang selanjutnya, yaitu berkeluarga.
Jika pun adat tidak bisa dihilangkan begitu saja, maka dirasa perlu untuk menentukan berapa minimal mahar untuk bisa menikah. Seperti Malaysia yang menjadikan ketentuan mahar dalam pernikahan, bahkan salah seorang anak Gubernur Aceh terpilih yang menikah dengan warga Malaysia hanya memberi mahar 300 ringgit. Kemudian negara seperti Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain yang juga menentukan mahar agar tidak menyulitkan masyarakat.
Memang, Indonesia memiliki ketentuan dan hukum tersendiri dalam menanggapi persoalan Mahar. Menurut Kompilasi Hukum Indonesia (KHI), menyebutkan bahwa ukuran mahar didefinisikan dengan mudah dan sederhana, tanpa menyebutkan nominal minimal dan maksimalnya. Dalam konteks Aceh, Jeulamee diartikan sebagai mahar adalah sesuatu yang harus dipenuhi oleh pihak lelaki melalui kerja kerasnya. Majelis Adat Aceh (MAA) tidak menyebutkan bagaimana ketentuan jumlah mahar, dan hanya menentukan status sosial seberapa layak perempuan harus menerima mahar (mayam emas).
Status sosial yang menjadi tolak ukur dalam meminang perempuan, memberikan kesulitan tersendiri bagi pihak lelaki. Sehingga, mahar tidak lagi menjadi sebuah hadiah sesuai kemampuan, melainkan tuntutan yang berat dan harus terpenuhi sebagai seorang lelaki. Membatasi mahar dengan mempertimbangkan adat dalam pernikahan tentu saja tidak menyalahi aturan, namun jangan sampai memberatkan. Selain itu, pemerintah seharusnya bisa menjadikan masalah ini agar bisa lebih teratur dan serius, seperti mengaturnya dalam Qanun Aceh. Pengusaha juga perlu mempertimbangkan upah bagi pekerja agar lebih Sejahtera. Dengan berbagai upaya ini, harapannya agar masyarakat, khususnya yang belum dan akan menikah mampu mengatasi kesenjangan yang terjadi di masyarakat. (AN)