Moderasi beragama merupakan gagasan tentang praktik keagamaan moderat di Indonesia. Namun, sejak gencar dipromosikan oleh Kementerian Agama pada 2019, gagasan ini terus diuji. Selain mendapat respon positif, ide moderasi beragama juga kerap mendapat kritikan. Salah satunya mengatakan bahwa moderasi beragama justru menjadi poros ekstrem baru yang tidak ada bedanya dengan kedua ujung poros yang lain. Moderasi beragama dianggap ikut campur dalam aspek keimanan manusia.
Jum’at malam, (14/10) di Gedung Muzdalifah, Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Lukman Hakim Syaifuddin membahas kritikan-kritikan semacam itu. Dalam acara Temu Nasional 2022 Jaringan Gusdurian, Lukman Hakim Syaifuddin menjelaskan tentang konsepsi moderasi beragama yang sering disalahpahami.
“Orang banyak mengatakan bahwa moderasi beragam cenderung mengintervensi keyakinan seseorang bahkan memiliki tendensi untuk menurunkan kadar keimanan seseorang,” tutur Menteri Agama dalam Kabinet Kerja 2014 itu.
Ia menegaskan bahwa moderasi beragama diaktifkan untuk menanggulangi fanatisme terhadap agama. Dalam konteks ini, Lukman Hakim membedakan antara yang furu’ dan yang ushul.
“Dalam memahami moderasi beragama, membedakan antara yang furu’ dan yang ushul adalah keharusan. Dan yang lebih penting lagi, kita jangan mencampuradukkan keduanya, apalagi yang furu’ “di-ushul-kan”, atau yang ushul “di-furu’-kan.”
Pertanyaan yang saya bawa ketika memasuki aula diskusi adalah mengapa moderasi beragama harus bergerak aktif “menengahkan” mereka yang berada di masing-masing kutub. Mengapa kita perlu membawa mereka ke tengah? Mengapa tidak kita biarkan saja mereka dalam posisi masing-masing sembari menghormatinya atas dasar toleransi. Toh, toleransi juga salah satu manifestasi nilai moderasi beragama.
“Melalui moderasi beragama, kita berusaha menciptakan masyarakat Islam yang inklusif, bukan eksklusif. Kita membawa mereka ke tengah untuk menanamkan praktik beragama yang ramah dan tidak mengkafir-kafirkan, bukan hendak mengganggu kualitas keimanan mereka”
“Moderasi beragama bergerak dalam aspek furu’iyah, artinya bagaimana kita melakukan praktik beragama semoderat mungkin. Perbedaan adalah keniscayaan, namun segala perbedaan itu harusnya tersinkronisasi dengan baik” Lanjutnya.
Saya membayangkan alternatif pemikiran lain berdasarkan penjelasan terakhir pak Lukman Hakim itu, yaitu moderasi beragama memberikan ekosistem yang sehat bagi perbedaan itu. Ragam cara pandang dan tafsir terhadap kitab suci akan sebanyak jumlah manusia yang hidup di dunia sampai akhir zaman. Sebanyak itulah perbedaan perspektif keagamaan yang ada di hadapan kita, kapanpun dan di manapun.
Moderasi beragama tidak hendak mengubah cara pandang agama kemudian menyamakannya dalam satu perspektif. Namun, merangkul keberagaman itu untuk saling terintergrasi dan terkoneksi, tidak saling berkonflik, serta tetap berada dalam kerangka kemanusiaan.
“Kita juga perlu memahami apa itu forum internum dan forum eksternum dalam beragama. Internum adalah keyakinan kita yang transenden, yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain. Eksternum adalah manifestasi dari keyakinan kita dalam bentuk praktik-praktik keagamaan,” terang Lukman Hakim.
“Moderasi beragama tidak mengintervensi forum internum, melainkan dalam forum eksternum-nya. Bagaimana kita mengaktualisasikan ajaran agama kita secara inklusif dan toleran,” lanjutnya.
Bagi saya, kajian moderasi beragama cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan saya terkait se-inklusif apa gagasan moderasi ini. Sebelumnya, saya khawatir bahwa moderasi beragama justru akan menjadi ekstrem baru dengan gerak yang sama dengan kelompok lainnya, mengajak yang tidak sepaham untuk masuk dalam “chamber”-nya.
Pak Lukman Hakim dengan cukup tegas menyebut bahwa Allah SWT sendiri meniscayakan adanya perbedaan, sementara tugas manusia adalah mengelola perbedaan itu supaya tidak menjadi sumber konflik sosial.
“Sesuai dengan nilai-nilai Gus Dur, Jaringan Gusdurian harus tegas bersikap moderat. Kita mengamini perbedaan ini, namun juga mensiasati bagaimana agar kita tetap harmoni dalam keberagaman,” pungkasnya.