Duka dan puisi merupakan khazanah kebudayaan yang tak bisa dipisahkan dari ajaran Islam. Suatu kali, Imam Syafi’i, seorang ahli fikih termahsyur dari mazhab Sunni, mengalami perasaan yang bergejolak saat menggali hikayat Imam Husein, cucu kesayangan nabi yang syahid di Karbala. Ia berduka. Kesedihan muncul dan deras sekali menyentuh hatinya. Imam Syafi’i lalu menumpahkan perasaannya ke dalam sebuah puisi sebagai upaya untuk mengabarkan kepada orang yang kelak membacanya, bahwa duka terhadap Imam Husein merupakan bagian dari keimanannya pada Yang Maha Ada.
Di dalam Kitab Diiwan al-Imam assyafii ra, at-Thab’ah Daarul-Kitaab al-’Arobiyyi, Syair ke 15, halaman: 48, Imam Syafi’i, yang mungkin saat itu tak kuasa menahan jatuhnya air mata, menulis:
Hatiku mengeluh, karena hati manusia sedang merana…
Kantuk tak lagi datang, susah tidur membuatku pusing….
Wahai siapa yang akan menyampaikan pesanku kepada Al-Husain,…
Yang dibantai,meski tak berdosa,..
Bajunya seakan-akan dicelup basah dan memerah….
Kini meski pedang pun meratap, dan tombak menjerit…
Dan kuda yang kemarin meringkik, kini meratap…
Bumi bergetar karena keluarga Muhammad…
Demi mereka, gunung-gunung yang kukuh niscaya akan meleleh…
Benda-benda langit rontok, bintang-bintang gemetar,…
Wahai cadur-cadur dirobek, demikian juga hatiku!…
Manusia bershalawat untukNya yang diutus dari kalangan Bani Hasyim,…
Dia juga memerangi anak-anaknya….
Duhai alangkah anehnya!….
Jika aku dianggap berdosa karena kecintaan kepada keluarga Muhammad,..
Maka aku tidak akan pernah bertaubat dari dosaku itu…
Imam Syafi’i, yang menurut beberapa sejarawan lahir di daerah Palestina pada tahun 150 H, sebenarnya bisa saja menyimpan rapat kekalutan hatinya tanpa harus memberitahu orang lain. Akan tetapi, ia yang pernah sangat tekun mempelajari sastra Arab klasik dan piawai dalam menulis syair, merasa perlu membuat puisi untuk mengenang betapa pedihnya membayangkan Imam Husein bin Ali yang tak berdosa dibantai, hingga tanah di sekitarnya memerah karena kucuran darah. Dengan menulis puisi, Imam Syafi’I ingin sejarah syahidnya Husein dijadikan suluh oleh banyak orang dalam mencari kebenaran dan melawan kedzaliman.
Semangat al-Husein ternyata juga memengaruhi Imam Syafi’i tatkala menulis fatwa yang kemudian dicap provokatif oleh kerajaan. “Kebaikan dunia dan akhirat terdapat dalam lima perkara; jiwa yang merasa cukup, tidak meyakiti orang, mencari rizki yang halal, selalu bertakwa dan selalu percaya dan bergantung kepada Allah dalam semua hal.” Fatwa tersebut tampak begitu kontras dengan kehidupan raja Harun ar-Rasyid, khalifah kelima dinasti Abbasiyah, yang dikisahkan Thabari dalam kitab-kitab tarikh sebagai penguasa yang kejam dan gemar mabuk.
Akibat beberapa karyanya itu, Imam Syafi’i yang enggan dekat dengan dunia politik dan kekuasaan, diburu oleh penguasa. Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengutus anak buahnya Hammad al-Barbari untuk mencari dan menangkap Imam Syafi’i karena dituduh bertindak subversif dan mendukung kelompok Syiah. Pada masa itu kelompok Syiah dianggap ajaran berbahaya bagi kerajaan. Lewat puisi dan fatwanya tersebut, Imam Syafi’i dianggap mengagitasi masyarakat untuk melakukan perlawanan. Padahal ia hanya mengekspresikan duka dan kecintaanya pada Husein cucu Nabi, cucu sang teladan abadi, yang merupakan kakeknya sendiri.
Kekuasaan yang despotik lantas memenjarakan Imam Syafi’I dan sebagian muridnya. Alih-alih memilih mengubah atau merevisi bait puisi dan fatwa yang dipandang sebagai ancaman, ia tetap teguh dengan kecintaanya pada Al-Husein. Cinta memang energi terkuat yang memberikan pecinta keberanian hakiki. Keberanian yang sama sekali berbeda dari keberanian nirmakna dan hina dari orang-orang yang mengepung dan membantai Husein dan keluarganya. Imam Syafi’i tak ingin mundur dari jalan yang sudah dipilihnya. Jalan yang ia tahu jauh dari makna tenang maupun kenyang. Derita dalam penjara hanya secuil dan tak akan pernah sebanding dengan perjuangan yang telah diletakkan Imam Husein dalam sejarah Islam di tanah karbala.
Intertekstualitas Puisi dan Fatwa Imam Syafi’i
Setiap teks tak pernah lahir dari ruang hampa. Begitu teori yang dikatakan oleh Julia Kristeva. Hal itu berlaku pada puisi dan fatwa. Intertekstualitas puisi dan fatwa Imam Syafi’i berhipogram ke kehidupan ahlulbait Nabi. Pada puisinya, Imam Syafi’i terang-terangan mengambil pengisahan hidup tokoh Husein bin Ali sebagai acuan. Sedangkan pada fatwanya yang dikutip di atas, hipogram dikreasi secara eksplisit atau tersembunyi.
Imam Syafi’I menyarikan nilai dari akhlak ahlul bait, lalu mentransformasikannya ke dalam sebuah petuah yang aktualitasnya berpijak pada kesederhanaan para manusia suci, tanpa perlu menyebutkan siapa nama tokohnya. Fatwa Imam Syafi’i bukan jargon kosong yang sekadar khayalan dan tak memiliki pijakan.
Hal tersebut, sebagaimana fungsi interktekstualitas, tak lain tak bukan bertujuan agar para pembaca menelusuri apa yang menjadi hipogram dari sebuah karya. Imam Syafi’i yang abadi lewat karyanya, barangkali ingin generasi yang membaca tulisan-tulisanya tahu bahwa ia berdiri tegak di sisi Husein bin Ali. Ia berdiri sebagai seorang cucu yang menginginkan kisah kesyahidan kakeknya dikenang sepanjang masa.
Duka Imam Husein juga merupakan dukanya Imam Syafi’i. Siapa yang tak tergetar hatinya saat mengetahui tragedi yang menimpa Husein di Karbala, maka patut dipertanyakan keimanannya pada Yang Maha Esa. Di titik ini, kita bisa tahu mengapa hingga sekarang penganut mazhab Syafi’i di Indonesia, turut memperingati syahidnya Imam Husein secara kultural-religius di hari Asyura, setiap tanggal 10 Muharram.
Syahdan, hikmah dari sikap sederhana ahlulbait nabi, ternyata menyimpan semangat perlawanan. Perlawanan yang tak perlu muluk-muluk memakai bedil dan harta, mengangkat pedang dan senjata. Hidup sederhana dengan senantiasa merasa cukup merupakan siasat terbaik melawan kedzaliman. Hidup sederhana pun akhirnya jadi sesuatu yang politis.
Makna itulah yang hari ini bisa kita serap dari kisah di balik puisi dan fatwa Imam Syafi’i. Imam fikih mazhab Sunni yang amat berduka ketika mendengar hikayat kehilangan Husein cucu Sang Nabi. (AN)
Mario Hikmat, penulis buku Jalan Panjang Tanpa Nama (2017).