Belajar Makna Puasa dari Puisi-Puisi Rumi

Belajar Makna Puasa dari Puisi-Puisi Rumi

Melalui puisi-puisinya, Rumi mengajarkan kita bagaimana cara mengamalkan puasa yang semestinya.

Belajar Makna Puasa dari Puisi-Puisi Rumi
Sumber: http://www.hannaharendtcenter.org/

Siapa yang tak mengenal Jalaluddin Rumi, sufi dan pujangga besar yang tidak hanya digandrungi umat muslim tetapi juga masyarakat dunia. Annemarie Schimmel mencatat, tidak ada mistikus Muslim dan penyair dari dunia Islam yang dikenal di Barat sebaik Rumi. Karyanya telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dari Timur hingga ke Barat, seperti Indonesia, Mesir, Turki, India sampai Inggris, Jerman, Italia, dan Swedia .

Puisi-Puisi Rumi membawa pesan cinta universal dan penuh makna. Karya-karyanya itu diungkapkannya dalam beragam ekspresi, serta mengandung nasihat yang dapat mendamaikan hati bagi para pembacanya. Dalam suasana Ramadhan ini kita dapat memetik mutiara puasa dari Rumi, sebagai bekal untuk lebih semangat menjalani ibadah khusus yang hanya diperuntukkan untuk Ilahi Robbi.

Puasa; Melahirkan Cahaya Hikmah

Ada yang terasa manis

tersembunyi di balik laparnya lambung.

 

Insan itu tak ubahnya sebatang seruling.

Ketika penuh isi lambung seruling,

tak ada desah: rendah atau tinggi yang dihembuskannya. (Diwan Syams, Gazal 1739)

Dua potong bait puisi di atas, Rumi ingin memberi tahu kita bahwa puasa akan menghadirkan nikmat yang menyenangkan, tetapi itu khusus bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam puasanya serta mengharap keridhaanNya.

Rumi memakai simbol seruling untuk menggambarkan bahwa sesuatu itu bisa berbunyi mendendangkan suara indah ketika di bagian tengahnya kosong. Namun jika seruling telah terisi, ia tidak dapat bersuara, dengan nada tinggi ataupun rendah. Itu sebagaimana jika perut kita kenyang, malah menyebabkan rasa berat untuk beribadah kepada Allah.

Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa atau perutnya dalam keadaan kosong meskipun jasmaninya terpenjara, namun secara ruhani sebenarnya ia telah bahagia karena sayap-sayap jiwanya menembus cakrawala.

Puasa;  Menyingkap Tabir menuju Ilahi

Jika lambung dan kepalamu terasa terbakar karena berpuasa,

apinya akan menghembuskan rintihan dari dadamu.

 

Melalui api itu akan terbakar seribu hijab dalam sekejap,

kau akan melesat naik seribu derajat dalam jalan dan cita-citamu.

Bagi Rumi rasa (dzauq) puasa ini bagaikan api yang dapat membersihkan jiwa seseorang. Ketika seseorang berpuasa, ia melakukan upaya-upaya untuk melepaskan diri dari dominasi syahwat dan hawa nafsu, serta keinginan diri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sejatinya adalah upaya meniadakan diri, seperti menahan lapar dan haus, mengendalikan diri dari tingkah laku yang tidak terpuji.

Hal itu sebagaimana kata Imam al-Ghazali bahwa makan dan minum adalah bahan bakar untuk menggerakkan mobil hawa nafsu seseorang, dan perut kenyang itu dapat menggerakkan dua syahwat yang berbahaya yaitu syahwat farji dan dan syahwat lisan. Sebaliknya ketika puasa orang dapat mematikan keinginan-keinginan nafsu ammarah (diri yang memerintahkan keburukan).

Mengutip Syeikh ‘Abdul Qadir Jailani, sikap berlebihan dalam urusan makan dapat mematikan hati, memadamkan api rindu kepada Allah, dan meredupkan cinta yang hakiki kepadaNya. (Tafsir al-Jailani, Juz I, hlm. 158)

Dengan demikian menurut Rumi rasa lapar menjadi kendaraan yang mengantarkan tersingkapnya segala hijab yang telah menghalangi masuknya cahaya Ilahi. Hilangnya hijab itu menandakan tak ada yang menghalanginya lagi. Karena ia sudah terlepas dari kendali hawa nafsu dan syahwat, akan mudah bagi seorang ‘abid melakukan perjalanan menuju Allah.

Inilah yang dimaksudkan Rumi, puasa adalah jalan untuk menjadi orang yang bertaqwa (QS. al-Baqarah [2]: 183), dengan kata lain hamba yang taqwa adalah hamba yang telah ‘kosong’ dari selain Allah.

Menjadi Hamba yang Bertaqwa

Al-Quran menyebutkan bahwa misi akhir puasa adalah supaya seorang hamba bertaqwa. Rumi telah menggambarkan bagaimana hakikat puasa yang merupakan salah satu bentuk pengosongan diri dapat mentransformasi jiwa seseorang yang hasilnya akan akan mewujud dalam dimensi spiritual transendental juga dimensi sosial.

Pengertian al-Muttaqin (hamba yang takwa) di tataran batin adalah ia yang mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam laku hidupnya, hamba yang sepenuhnya sesuai dengan kehendak Allah, dan telah sepenuhnya Allah jaga agar senantiasa ada di atas petunjukNya. Maka takwa merupakan puncak ketinggian rohani mereka. (QS. al-Anfal [8]: 29)

Pada ayat yang lain Allah berfirman, ”Barangsipa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. (QS. At-Thalaq [65]: 2-3).

Jika demikian Allah menjamin kehidupan dan masa depan orang bertakwa, lantas alasan apa lagi yang membuat kita tidak bergegas untuk menempuh jalan taqwa, yang tidak lain adalah sungguh-sungguh dalam berpuasa— berupaya mengosongkan diri, menafikan kehendak-kehendak nafsu dan syahwat. Wallahu a’lam. [AN]