Lebaran Syawal dan Ketupat

Lebaran Syawal dan Ketupat

Lebaran Syawal dan Ketupat

Tradisi Syawalan atau lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lebaran ketupat (Bakdo Kupat), sebuah tradisi yang digelar tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri pada setiap tahunnya ini, merupakan salah satu tradisi yang masih bertahan dan berlangsung semarak di berbagai kota di Indonesia. Istilah syawalan umumnya merujuk pada sebuah tradisi silaturahmi antar masyarakat Islam sebagai kelanjutan dari lebaran idul fitri. Bila silaturahmi di hari idul fitri hanya terbatas di lingkungan keluarga masing-masing, maka silaturahmi di lebaran syawalan (atau lebaran ketupat) bisa sampai antar daerah.

Dalam tradisi Syawalan ini hubungan antara agama dan budaya sangat tampak jelas. Syawalan yang pada mulanya ditujukan sebagai media silaturahmi ini pada gilirannya memiliki cakupan lebih luas yang di antaranya adalah mewujudkan kerukunan umat manusia. Tradisi ini terjadi di berbagai daerah di Nusantara dengan sebutan bermacam-macam; Syawalan, Kupatan, Bakda Ketupat, dan lain sebagainya. Di mana semuanya memiliki kesamaan yaitu sebuah perayaan umat Islam di hari ketujuh setelah idul fitri dengan berbagai macam bentuknya.

Di Cirebon misalnya, tradisi syawalan ini juga merupakan bagian dari kegiatan yang dilakukan oleh keraton yang melibatkan masyarakat dalam perayaannya. Tradisi Syawalan di Cirebon dilaksanakan pada hari kedelapan di bulan Syawwal dengan mengunjungi astana gunung jati (Makam Sunan Gunung Jati) untuk melakukan ziarah. Pada hari Syawalan ini, makam Sunan Gunung Jati dibuka untuk memberi jalan bagi tiga Sultan dari Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan beserta keluarganya untuk melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Ziarah ini dilakukan setelah menghadiri upacara di masing-masing keraton. Mereka tiba di sana masih dengan pakaian resmi keraton. Sekembali dari berziarah, kerumunan orang berusaha menjabat tangan mereka. Sultan Kanoman dan keluarganya, khususnya, mengadakan slametan yang dihadiri oleh penjaga Astana. Kegiatan tahunan ini biasanya dihadiri sekitar 150.000 orang yang datang dan pergi ked an dari pemakaman, alun-alun, masjid, Makam Gunung Jati, ataupun di jalan. Mayoritas masyarakat yang mengikuti acara Syawalan ini, selain melakukan ziarah dan berdoa, mereka lebih menyukai untuk memanfaatkannya dengan berekreasi menikmati kebersamaan dan melihat panorama yang indah ke arah pantai dari puncak Gunung Jati. Kehadiran Sultan di acara Syawalan memang menarik perhatian masyarakat untuk turut mengikuti acara ini. Akan tetapi yang lebih penting adalah dua lawang pungkur (pintu belakang) di sayap kiri dan kanan yang menuju komplek makam Kia tau Nyi Gede. Kedua lawang ini ini dibuka, sehingga masyarakat bisa naik dan turun di sekitar komplek pemakaman di Gunung Sembung dari satu lawang pungkur di sayap timur ke pintu lainnya di sebelah barat. Oleh karena itu, masyarakat yang datang ke Astana Gunung Jati di hari raya Syawalan ini juga bertujuan untuk melakukan ziarah di tiga makam: makam Sunan Gunung Jati, Ki/Nyi Gede di Gunung Sembuung, dan kemudian menyeberang ke jalan utama yang mendaki ke pegunungan Jati, menuju makam Syaikh Datuk Kahfi, guru Sunan Gunung Jati yang dikenal sebagai juru dakwah Islam pertama di Cirebon. (Muhaimin AG, 2001)

Selain Syawalan, nama lain dari tradisi ini adalah lebaran ketupat. Dinamakan dengan lebaran ketupat, sebab di hari raya Syawalan ini sejumlah masyarakat di daerah merayakannya dengan mebuat ketupat.

Ketupat berasal dari bahasa Jawa, kupat. Kupat atau ketupat adalah makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan menggunakan daun kelapa muda dan dibentuk seperti prisma segi empat. Lalu ditanak sampai masak seperti halnya memasak lontong. Tradisi kupatan dipercaya oleh masyarakat sebagai tradisi warisan wali songo, penyebar ajaran Islam di Tanah Jawa yang terkenal dengan dakwah kulturalnya.

Beberapa orang memberikan makna-makna filosofis terhadap tradisi kupatan. Di antaranya adalah bahwa kupat dikaitkan denganĀ  makna simbolik yang diambil dari bahasa Arab; kafa-kufat yang bermakna cukup. Ketupat juga kadang dimaknai dengan simbol dari bahasa Jawa, ngaku lepat, yang berarti mengaku salah atau mengakui pernah berbuat salah. Karena saling mengaku salah maka harus saling memaafkan.

Sedangkan dalam cara perayaannya, lebaran kupat memiliki perbedaan di setiap daerah. Sebagian daerah merayakan lebaran kupat dengan berkumpul di masjid dengan membawa ketupatnya kemudian berdoa bersama. Di tempat lain, kupatan dirayakan dengan cara membagi ketupat yang dibikinnya kepada saudara dan tetangga-tetangganya sebagai bentuk dari sedekah dan berbagi kepada sesamanya.