Larangan Mempersoalkan Takdir, Hikmah dari Syekh Afifuddin az-Zahid

Larangan Mempersoalkan Takdir, Hikmah dari Syekh Afifuddin az-Zahid

Nasib yang buruk terkadang membuat kita mempersoalkan takdir yang telah dikehendaki-Nya. Padahal itu dilarang.

Larangan Mempersoalkan Takdir, Hikmah dari Syekh Afifuddin az-Zahid

Runtuhnya kota Baghdad sebagai pusat peradaban Islam Dinasti Abbasiyah menyisahkan luka mendalam bagi umat Islam. Kejayaan Baghdad di masa Dinasti Abbasiyah yang berdiri megah selama lebih dari lima abad dipaksa hancur luluh lantah oleh pasukan Ilkhanate (Tartar) dari bangsa Mongol. Penghancuran Baghdad yang terjadi pada 1258 M dipimpin langsung oleh Hulagu Khan.

Kota Baghdad berada dalam keadaan hancur total pasca invansi pasukan Mongol. Diperkirakan penduduk Baghdad yang dibantai selama invansi Monggol yakni seratus ribu hingga satu juta jiwa. Bangunan-bangunan megah di kota ini dihancurkan dan rumah-rumah dibakar, tak luput perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan beragam khazanah ilmu pengetahuan pun dimusnahkan, termasuk Baitul Hikmah yang terkenal sebagai sebagai pusat intelektual dan keilmuan pada masa Zaman keemasan Islam.

Sungai Tigris berubah baunya menjadi anyir akibat darah korban kekejaman pasukan tartar, warna sungai pun yang semula jernih berubah menjadi keruh akibat tinta puluhan ribuan kitab yang ditenggelamkan di dalamnya, bahkan tumpukkan kitab-kitab tersebut dapat dijadikan jembatan untuk menyebrangi sungai.

Syekh Afifuddin Yusuf bin Al-Baqal Az-Zahid mengisahkan, ketika ia mendengar kehancuran kota Badgdad dan tentang pembunuhan orang-orang Islam oleh pasukan Tartar (Mongol), perbuatan mengalungkan mushaf-mushaf Al-Qur’an di leher-leher anjing mereka, dan membuang puluhan ribuan kitab ke dalam sungai hingga menjadi gundukan yang mereka gunakan untuk jembatan.

Syekh Afifuddin az-Zahid mengingkari kejadian itu dan terbesit dalam hatinya “Wahai Tuhanku, bagaimana hal ini dapat terjadi, sedangkan di antara kaum muslimin yang dibunuh itu terdapat anak-anak dan orang-orang yang tidak berdosa?”

Di malam harinya saat Syekh Afifuddin az-Zahid tertidur, ia bermimpi melihat seorang laki-laki yang membawa sebuah tulisan, lantas tulisan itu diambil oleh Syekh Afifuddin. Tulisan tersebut berbunyi:

دَعِ الإِعْتِرَاضَ فَمَا الأَمْرُ لَـكَ * وَلاَ الْحُكْمُ فِى حَرَكَاتِ الْفَلَكِ

وَلاَ تَسْـأَلِ اللهَ عَنْ فِعْلِــهِ * فَمَنْ خَـاضَ لُجَّةَ بَحْـرٍ هَلَكَ

Tinggalkanlah menentang ketentuan Allah, karena urusan itu bukanlah urusanmu; dan tiadalah hukum itu tergantung pada gerakan-gerakan bintang.

Janganlah engkau bertanya kepada Allah mengenai pekerjaan-Nya. Barang siapa yang mengarungi gelombang lautan niscaya dia akan binasa.

Kisah Syekh Afifuddin mengajarkan kepada kita, bahwa mempertanyakan takdir, bahkan mengingkarinya adalah perkara yang tercela yang dapat menjadi sebab murkan-Nya Allah. Kewajiban kita terhadap segala ketentuan Allah ialah mengimani dan rida terhadapnya semuannya. Kita harus meyakini bahwa Allah SWT adalah perancang takdir terbaik (Allah is the best planner).

Adapun mempertanyakan mengapa Allah melakukan sesuatu ini dan itu merupakan su’ul adab kepada-Nya, sebab tidaklah Allah melakukan kehendak-Nya, kecuali didalamnya terdapat ilmu dan hikmah-Nya. Kita tidak pantas bertanya pada Allah atas apa yang dikerjakan-Nya, karena pengetahuan makhluk terbatas, sedangkan pengetahuan Allah tak. Justru manusia yang akan dipertanyakan tentang apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka kerjakan.

Allah Swt. berfirman

لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُوْنَ

Artinya: Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya. (Al-Anbiya [21] :23)

Allah, tidak ditanya atau dievaluasi dan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dikerjakan-Nya terhadap makhluk, karena Allah Tuhan Yang Maha Berkuasa, yang kekuasaan-Nya mutlak. Tidak pernah salah atau keliru sedikit pun dalam semua perbuatan-Nya. Tetapi sebaliknya manusia, merekalah yang akan ditanya atau dievaluasi dan dimintai pertanggung jawaban tentang semua yang mereka kerjakan di dunia, baik karena kelemahan atau kebodohan maupun karena dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali.

Kewajiban kita sebagai hamba Allah yakni mengimani segala takdir yang datangnya dari Allah serta bersikap rida dan pasrah atas apa pun yang telah ditetapkan Allah kepada kita, serta kita juga dituntun oleh syariat untuk berikhtiar dan berusaha untuk selalu dalam kebaikan-kebaikan dalam kehidupan. (AN)

Wallahu a’lam.