Kontekstualisasi Pemimpin Quraisy

Kontekstualisasi Pemimpin Quraisy

Bagaimana menempatkan Rasulullah sebagai pemimpin Quraisy

Kontekstualisasi Pemimpin Quraisy

Masyarakat Indonesia sedang terjebak kekeruhan dalam menanggapi berbagai isu, terlebih embel-embel agama dan mudah dipolitisir. Salah satu polemik yang muncul adalah masih adanya pemahaman teks-teks agama secara kaku, apalagi jika berkaitan dengan isu-isu yang sensitif di masyarakat.

Ketika ayat-ayat yang bertemakan pemerintahan atau kepemimpinan dipolitisir, maka salah satu konsekuensinya adalah muncul pemahaman bahwa Islam membatasi perkembangan masyarakat yang semakin majemuk untuk menjalankan pemerintahan yang demokratis. Hal demikian justru mencederai semangat Islam itu sendiri.

Selain terkait kekakuan pemahaman hingga pemaksaan tafsir atas satu ayat, lantas muncul ketersinggungan sebagian umat Islam terkait kitab sucinya, satu bahasan kepemimpinan yang pada masa lalu sempat menjadi diskursus adalah polemik bahwa “pemimpin (imam) harus dari Bani Quraisy”.

Beberapa kitab hadis, seperti Syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa pemimpin umat harus berasal dari kaum Quraisy. Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Manusia itu mengikuti Quraisy dalam kebaikan dan keburukan.”

Kutipan hadis yang dicantumkan di atas menegaskan bahwa urusan pemerintahan dan masyarakat, harus diambil oleh orang Quraisy yang ditunjukkan dengan kalimat “Manusia itu mengikuti Quraisy”.

Pemahaman dan penerapan hadis di atas secara tekstual dipertahankan sampai sekian ratus tahun, mulai Dinasti Umayyah hingga Abbasiyah yang konon masih berasal dari kaum Quraisy. Persebaran Islam ke pelbagai benua di dunia dan persinggungannya dengan beragam bangsa, menjadikan dinasti-dinasti yang masih melegitimasi tahtanya dengan dalil-dalil kepemimpinan ini dilawan balik dengan penafsiran ulang yang lebih kontekstual, dan mengikuti semangat zamannya. Terlebih pemerintahan yang ada, meskipun berdalih dengan ketaatan kepada teks agama, dianggap tidak mampu menstabilkan keadaan masyarakat. Toh, tahta memang selalu menggiurkan untuk senantiasa dipertahankan, dengan segala konsekuensi yang terjadi di wilayah masyarakat.

Seorang cendekiawan, yaitu Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya menyerukan bahwa aturan fikih tentang kepemimpinan umat harus berasal dari kaum Quraisy itu perlu ditinjau ulang. Terkait ini Ibnu Khaldun tidak menyebutkan bahwa teks yang menjadi dasar hukum tersebut sudah tidak relevan, namun ia berusaha menelaah kembali dan mengambil spirit serta mengupayakan kontekstualisasi hadis tersebut sehingga pemahaman Islam tidak mandek apalagi dipolitisir.

Menurut keterangan Syarh Shahih Muslim karya Imam an Nawawi, teks hadis di atas menyatakan bahwa kaum Quraisy adalah kaum yang terpandang, menjadi panutan juga standar masyarakat dalam kebaikan maupun keburukan. Kaum Quraisy, sejak masa Jahiliyah hingga masa peradaban Islam awal adalah salah satu pembesar suku-suku di Arab.

Seiring waktu, peran Quraisy dalam pengaruhnya di dataran Arab menurun, dan menjadikannya bukan sebagai kaum pembesar. Hal ini diakibatkan oleh konflik politik maupun perpecahan pasca wafatnya Nabi. Akhirnya sekian ulama, seperti Ibnu Khaldun, meniadakan syarat tentang keharusan kaum Quraisy sebagai pemimpin melihat keadaan pemerintahan yang ada. Jika terus mempertahankan bahwa legitimasi kepemimpinan hanya diatur oleh kaum tertentu, maka kesempatan untuk menyetarakan masyarakat yang heterogen menjadi nihil.

Apakah teks hadis tersebut lantas mati dan tidak digunakan? Tentu tidak. Lagipula, hadis tersebut telah dinilai sahih oleh para ulama hadis, sehingga semestinya bisa menjadi satu landasan hukum dalam Islam. Jika naskah tersebut diabaikan, apalagi tidak dipakai, tentu mencari hadis-hadis lain yang menggambarkan kriteria kepemimpinan khas Islam menjadi sulit, dan dialektika hadis Nabi melalui teks tersebut berkurang. Di sisi lain, dengan pembacaan yang kaku dan tidak ada usaha kontekstualisasi, fanatisme golongan dalam politik bisa dengan mudah memicu kerusuhan masyarakat.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan alasan mengapa dalam ketetapan fikih, kepemimpinan Quraisy menjadi syarat suatu pemerintahan. Ibnu Khaldun sendiri awalnya menyebutkan bahwa syarat pemimpin ada empat: kecakapan intelektual, kebijaksanaan, kecukupan materiil, serta tidak adanya kecacatan yang memengaruhi seorang pemimpin dalam mengambil keputusan.

Satu syarat lagi adalah keterpilihan dari kaum Quraisy, yang masih diperdebatkan ulama. Illat hukum yang diambil adalah tentang kedudukan kaum Quraisy waktu itu yang dipandang memiliki kekuatan, kemuliaan dan pengaruh bagi kabilah lainnya di masa itu. Konon, ketika merujuk suku Quraisy, maka perpecahan di antara kaum Arab bisa mereda. Pengaruh diplomatis dan politis Quraisy waktu itu amat disegani, selain kuatnya kesukuan dari dalam diri mereka sendiri. Dan juga, keadaan ini sesuai dengan pernyataan Nabi bahwa kaum yang terbaik menurut beliau adalah yang sezaman, terlebih yang hidup dekat bersama beliau.

Ibnu Khaldun berkomentar, jika ada golongan memiliki kekuatan, pengaruh, serta posisi politis yang kuat seperti kaum Quraisy pada masa Nabi hidup, maka ia pun lebih layak menjadi pemimpin di masa sekarang. Secara sharih memang dinyatakan bahwa pemimpin itu dari kaum Quraisy, namun setelah dikontekstualisasikan dan dianalisa ulang, yang layak menjadi pemimpin adalah “kaum yang memiliki kapasitas seperti kaum Quraisy saat disampaikan hadis tersebut”.

Ibnu Khaldun tentu cukup berani menyatakan hal tersebut. Konsekuensinya adalah, sistem monarki yang kerap kali akan berujung pada otoritarianisme dan keberpihakan golongan pun ditolak. Ibnu Khaldun semacam membuka keran demokratisasi bagi bangsa Arab untuk menanggalkan fanatisme kesukuan dan merangkai persatuan. Selain itu, Ibnu Khaldun yang disebut sebagai “Bapak Sosiologi Modern” mencoba membaca arah zaman, bahwa pada kenyataannya, tidak ada kaum yang benar-benar akan tetap teguh berkuasa, dan akhirnya zaman akan menjelaskan bahwa kekuasaan suatu golongan tidak akan abadi.

Persoalan yang terjadi dewasa ini adalah, ternyata ada orang-orang yang berusaha menghalangi usaha demokratisasi yang menjunjung tinggi kesetaraan dengan dalih ayat Al-Quran, hadis, maupun komentar ulama yang kaku, dan tidak membaca semangat zaman – jika kita tak menyebutnya sebagai politisasi. Semangat zaman yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan antar golongan, serta kondisi masyarakat yang kian beragam dan bahkan saat ini telah menembus sekat-sekat kesukuan, ras, bahkan agama, maka pembacaan kembali teks-teks agama guna mewujudkan pemahaman yang moderat dan kondisi yang kondusif menjadi lebih penting.

Dari beberapa argumen di atas, kita dapat mengatakan bahwa teks-teks agama, baik ayat Al-Quran maupun Hadis Nabi, memiliki kemungkinan untuk dibaca secara kontekstual dan memenuhi semangat zaman yang lebih baik tanpa mengabaikan etika publik. Membicarakan relevansi suatu teks agama yang dikatakan tidak sesuai dengan kondisi saat ini kiranya terlalu terburu-buru.

Sikap yang perlu diambil adalah meyakini bahwa teks agama itu terjaga secara suci dan selalu mengajarkan kebaikan, dan menyadari bahwa pemahaman manusia sering belum mampu menangkap semangat teks tersebut lebih jauh. Ayat dan hadis akan tetap lestari, namun pemahaman seorang pembelajar tetap rendah hati dan pantang berhenti, dan beriktikad untuk mewujudkan kedamaian bersama.

Apakah bangsa ini mau dirongrong keadaan orang-orang yang mengabaikan demokrasi, hanya karena merasa agamanya dipecundangi?

Iqbal Syauqi, mahasiswa jurusan Pendidikan Dokter UIN Jakarta dan mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Ciputat.