Konsep Mizan dalam Etika Ekologi Beragama Umat Manusia

Konsep Mizan dalam Etika Ekologi Beragama Umat Manusia

Konsep Mizan dalam Etika Ekologi Beragama Umat Manusia
Menjaga Lingkungan bagian dari Syariat Islam.

Mizan menurut istilah berarti neraca atau timbangan. Dalam terminologi Al-Qur’an, kata mizan dihubungkan dengan konteks penimbang keadilan.

Mari kita Simak ayat berikut:

Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan mizan (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Selain itu, istilah timbangan selalu berhubungan dengan persoalan kadar, takaran, atau ukuran sesuatu.

Dari kadar (qadr) inilah kemudian kita bisa menilai, mengukur atau merasakan keadilan, atau perlakuan yang adil atau tidak, secara lebih konkret. Perilaku adil terhadap orang lain; adil kepada diri sendiri, atau adil kepada makhluk (ciptaan) lain selain manusia, termasuk alam lingkungan kita.

Ada baiknya kita renungkan firman Allah:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu sesuai dengan ukuran (qadar).” [Al-Qamar 54: 49].

Menurut Wahbah az-Zuhayli dalam At-Tafsir Al-Wajiz, ayat tersebut menerangkan bahwa apa yang terjadi pada semua makhluk sudah ditetapkan oleh Allah (qadar), yaitu suatu sistem dan ketentuan yang telah ditetapkan. Quraish Shihab menafsirkan istilah qadar dengan “ukuran yang sesuai dengan hikmah”.

Umat Islam percaya bahwa alam semesta telah diciptakan dengan ukuran dan keseimbangan (mizan). Al-Qur’an menyebutkan di banyak ayat bahwa manusia harus memperhatikan keteraturan dalam Penciptaan dan tidak menyebabkan kerusakan (fasad) di dalamnya setelah keteraturan ditetapkan oleh Tuhan.

Untuk menjaga keteraturan dan keseimbangan dalam diri manusia atau ciptaan yang lain akibat adanya perubahan yang dialami, maka Tuhan memperlakukan adanya mekanisme homeostasis.

Proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan kondisi konstan agar tubuhnya dapat berfungsi dengan normal, meskipun terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh.

Dua hal di atas, prinsip keseimbangan dan homeostasis, merupakan nilai-nilai etika fundamental yang perlu dipegangi dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan hidup manusia dengan segala sumberdaya alam yang menopang kehidupannya.

Sekarang, mari kita renungkan fakta tentang manusia dan bumi serta kekayaan alamnya saat ini. Jumlah Penduduk bumi saat ini sebesar 8,1 M, dan diprediksikan akan terus meningkat hingga 9,7 miliar pada 2050. Populasi ini menggantungkan hidupnya pada sumber daya bumi yang terus menyusut karena eksploitasi yang dilakukan manusia.

Lahirnya revolusi industri membuat manusia melakukan produksi massal, baik bidang pertanian maupun manufaktur, mengeksploitasi sumberdaya alam yang massif dan intens.

Akibatnya, kekayaan alam mengalami over-eksploitasi, yang membawa dampak kerusakan dan kepunahan. Jumlah sampah yang dihasilkan semakin melangit. Pada tahun 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat 20 jenis biota laut terancam punah akibat over eksploitasi sumberdaya laut. Belum lagi kerusakan akibat pembabatan hutan dan pertambangan.

jika 50 tahun yang lalu masalah lingkungan mampu terkendalikan di tingkat lokal, sekarang ini sudah menyebar di tingkat regional dan global. Ekskalasi kuantitas pembakaran bahan bakar fosil, eksploitasi hutan dan laut jauh melebihi kemampuan sumber daya alam untuk pulih.

Dan jika dalam 50 tahun ke depan eskalasi pembakaran bahan bakar fosil tidak dapat diperlambat, maka potensi pemanasan global dan perubahan iklim akan menghambat kemampuan kita untuk memproduksi bahan pangan. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor akan terus meningkat, dan beberapa wilayah perkotaan tidak dapat dihuni lagi karena kekurangan pasokan sumberdaya air bersih, atau tenggelam karena kenaikan permukaan air laut.

Para sarjana Muslim yang menulis tentang krisis ekologi menganggap segala bentuk berlebihan, baik dalam konsumsi sumber daya alam yang tak terkendali maupun dalam produksi limbah, sebagai pelanggaran terhadap keseimbangan ini.

Tidak hanya Islam, agama-agama atau kepercayaan yang lain pun menolak hedonisme, yaitu pandangan dan perilaku bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup manusia.

Hedonisme di era modern saat ini disandingkan dengan makna kemewahan, gaya hidup berlebihan, dan cenderung kepada perilaku konsumtif.

Ketika homeostasis bumi terganggu oleh beban eksternalitas akibat kerakusan manusia yang hedonis, maka akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga keseimbangan alam akan goyah.

Sekarang ini juga mulai muncul gejala ketamakan yang diidap sebagian manusia terhadap sumberdaya alam yang merupakan tergolong kekayaan bersama (common property) seperti laut atau hutan, dengan cara pandang sebagaimana ungkapan; “Jika saya tidak memanfaatkan sumber daya alam ini sekarang, maka akan dikuras oleh orang lain.” Sehingga terjadilah tragedi kompetisi eksploitasi yang berlebihan.

Kembali pada konsep keseimbangan (mizan), kebanyakan penulis ekologi Islam ‘menafsirkan’ penghancuran lingkungan sebagai gangguan terhadap keseimbangan ini yang akan dipertanggungjawabkan oleh umat manusia.

Poin utama yang dapat diambil dari konsep mizan ini adalah bahwa ukuran di mana dunia diciptakan ditetapkan oleh Sang Pencipta, dan tidak boleh dilanggar pada ranah apapun, baik dalam harmoni alam maupun dalam ranah keadilan manusia, moralitas atau mu’amalah sehari-hari.

Poin kedua yang dapat dipetik dari mizan, bahwa Penciptaan adalah sistem yang saling terkait di mana semua hal memiliki tujuan menjadikan “dunia sebagai satu sistem yang teratur”.

Penciptaan, selain menyediakan sarana subsistensi bagi manusia, juga memainkan peran dalam memenuhi kebutuhan makhluk lain, dengan cara yang diciptakan oleh Allah. Setiap makhluk individu ada sebagai tanda dari Tuhan yang telah memberikan bentuk, sifat, dan petunjuk serta telah menetapkan peran khusus bagi mereka.

Proporsi dan saling ketergantungan dunia alam diungkapkan berulang kali dalam Al-Qur’an, menunjukkan keterkaitan antara semua hal. Simak ayat berikut:

Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan) agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu. Bumi telah Dia bentangkan untuk makhluk-(Nya). [Ar-Rahman 55: 7-10]

Aspek terakhir dari mizan berkaitan dengan implikasinya untuk pemanfaatan secara bijak sumber daya bumi.

Kami telah menghamparkan bumi, memancangkan padanya gunung-gunung, dan menumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran(-nya). [ Al-Hijr 15: 19].

Yusuf Ali, dalam komentarnya tentang ayat ini mengatakan bahwa “setiap jenis hal diproduksi di bumi dalam keseimbangan dan ukuran yang tepat, menjadi sebuah mata rantai yang bersambung dan saling ketergantungan. Penggunaan yang seimbang atas karunia bumi, dan perlunya tindakan yang masuk akal untuk menjaga keseimbangan ini harus menjadi faktor penuntun dalam memanfaatkan sumber daya alam bumi.

Akhirul kalam, keadilan dan keseimbangan bersifat universal yang diciptakan oleh Tuhan, sehingga manusia harus berusaha untuk memahami keseimbangan universal ini dan mengikutinya dalam kehidupan sosial mereka, serta dalam interaksi mereka dengan lingkungan.