Ramadan memunculkan banyak dai, baik di masjid atau di televisi. Kultum setelah tarawih, ceramah sebelum berbuka, kuliah subuh adalah mimbar bagi mereka, sesuatu yang tentu tak didapati di bulan lain. Di televisi, mereka muncul di banyak acara. Bisa di acara talkshow berbalut komedi, sesaat sebelum azan magrib, tontonan pengantar makan sahur dan program-program lain. Sebagian dari mereka sudah cukup kondang, sebagian lain wajah baru.
Belakangan ini, muncul semacam keresahan di masyarkat. Beberapa di antara mereka mengalami kebingunan dalam memilih dai panutan. Umumnya mereka kaget manakala dai yang tausiyah-nya biasa mereka dengar berubah menjadi kerap memaki ketika ceramah, menyulut permusuhan, sering menyudutkan kelompok atau etnis tertentu dan kasar kata-katanya. Mereka juga kadang bertemu dengan dai yang secara keilmuan belum memadai tapi sudah “percaya diri” naik mimbar. Alhasil, isi ceramahnya terdengar dangkal dan bahkan ngawur.
Mereka yang kebingungan ini sering kali putus asa dan kemudian berujung pada antipati terhadap ceramah atau kajian keagamaan. Mencapai titik puncak manakala ceramah yang disampaikan seorang dai tak lagi bisa dibedakan dengan kampanye politik. Itu terjadi saat musim pilkada dan sebagian dai merasa benar melakukannya. Pada akhirnya umat yang menjadi korban. Berharap mendapat sesuatu yang jernih dari ceramah agama, mereka justru mendapatkan hal sebaliknya.
Pada dasarnya, tidak semua dai sama “levelnya”. Prof. Moh. Ali Aziz (Guru Basar Ilmu Dakwah UIN Sunan Ampel, Surabaya) membagi pendakwah (dai) ke dalam tiga kelompok. Pertama, pendakwah mujtahid, artinya pendakwah yang mampu menggali pemahaman langsung dari Alquran dan hadis. Pendakwah tipe ini tidak hanya mahir Bahasa Arab, tapi juga menguasai Ilmu Hadis, Ilmu Tafsir, Ushul Fiqih dan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya. Idealnya, pendakwah yang jadi panutan adalah tipe ini, meskipun saat ini jumlahnya sedikit sekali.
Adapun yang kedua adalah pendakwah muttabi’. Mereka yang masuk dalam kelompok pendakwah muttabi’ hanya mampu menyampaikan atau mengutip pemikiran kelompok mujtahid. Mereka menyerap pesan dakwah dari hasil penafsiran para ulama dengan memahami dalil-dalil yang mendasarinya. Kiranya, yang banyak dijumpai hari ini adalah pendakwah jenis muttabi’. Berbekal pengetahuan Islam yang tidak begitu mendalam (tidak seperti kelompok mujtahid) mereka berdakwah dari mimbar ke mimbar.
Sedangkan pendakwah muqallid adalah pendakwah yang mempunyai sedikit pengetahuan Islam tapi memiliki kemauan untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan. Contohnya adalah seorang satpam yang tidak memiliki pengetahuan agama memadai namun mengajak tetangga-tetangganya untuk salat berjamaah di masjid. Satpam itu tidak tahu teks-teks agamayang menunjukkan kebaikan salat berjamaah. Hanya saja ia berbekal keyakinan bahwa salat berjamaah di masjid itu baik dan ia pun mengajak tetangganya.
Mengenai hukum berdakwah, kelompok pendakwah mujtahid dan muttabi’ terbebani hukum fardlu ain. Sementara untuk kelompok pendakwah muqallid terkena kewajiban fardlu kifayah, mengingat terbatasnya ilmu.
Kelompok pendakwah muqallid yang terbatas ilmunya itu tentu tidak masalah jika hanya mengajak pada kebaikan di wilayah informal dan menyadari kapasitasnya. Menjadi bermasalah jika pendakwah muqallid sudah merasa selevel dengan pendakwah muttabi’ atau bahkan mujtahid dan lantas memaksakan diri tampil di forum-forum dakwah. Jika yang mereka sampaikan hanya sebatas ajaran agama normatif dan berhati-hati dalam penyampaiannya barangkali belum jadi persoalan, namun jika sudah diiringi dengan semangat mengkafirkan pihak lain, memantik kebencian dan bahkan menyesatkan tentu akan menimbulkan kerasahan dan pertikaian.
Mencermati klasifikasi pendakwah/dai di atas, masyarakat mestinya bisa lebih kritis dan cerdas dalam menilai dai. Masyarakat layak mendapat dai dengan pengetahuan agama yang mendalam untuk dijadikan panutan. Tentunya disertai dengan teladan dari dai tersebut, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sebab hari ini kita jumpai dai dengan ilmu memadai dan menyandang sejumlah gelar namun gagal menjadi teladan.