Sejak keberhasilan aksi 212, istilah populisme Islam mengemuka. Sebagai anti-tesis dari elitisme kaum sekuler, populisme Islam dianggap sebagai kekuatan politik yang paling diperhitungkan di abad ini. Dalam dirinya terhimpun sentimen kelas dan sekaligus identitas.
Namun ketika contohnya adalah demo 212, kita akan segera mengendus adanya bau sektarian yang sangat kuat. Sulit untuk membayangkan demo tersebut akan lahir tanpa dibumbui prasangka terhadap Kristen dan Cina yang telah menahun sekian lama. Ahok hanyalah momentum yang berhasil mengubah prasangka menjadi seolah niscaya.
Populisme Islam yang sektarian merusak tidak hanya tatanan kebangsaan, tetapi juga ukhuwah keislaman. Orang Islam yang tidak setuju demo 212 dipertanyakan apakah mereka masih Islam atau tidak. Akhirnya saling curiga di antara sesama merebak di mana-mana.
Akan tetapi, populisme Islamnya itu sendiri, menurut saya, adalah potensi yang harus diselamatkan. Di era menguatnya politik identitas seperti sekarang, sentimen keagamaan mempunyai daya ledak yang jauh lebih keras daripada sentimen kelas. Juga di tengah macetnya mesin birokrasi dan partai politik formal, singkatnya teknokratisme, populisme Islam adalah ideologi yang bisa menampung ekspresi kekecewaan massa terhadap sistem yang ada.
Dan alhamdulillah sejarah tidak selalu berwajah buram. Tidak perlu menunggu lama setelah demo 212, muncul aksi demo yang muncul dari kalangan Nahdlatul Ulama. Mereka memprotes sebuah kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan yang dinilai akan menyingkirkan madrasah diniyyah khususnya di pedesaan. Demo tolak full day school (FDS), demikian mereka menyebutnya, terselenggara di puluhan kota dengan partisipan yang bila dijumlah menembus angkat ratusan ribu orang.
Menurut saya demo tolak FDS tersebut adalah contoh lain dari populisme Islam. Tetapi berbeda dengan demo 212 yang sangat sektarian, demo tolak FDS berwajah non-sektarian. Tidak ada prasangka terhadap golongan lain, identitas yang lain, yang berlebihan. Tidak ada larangan shalat jenazah bagi mereka yang tidak mengikutinya. Meski sempat timbul insiden anti-Muhammadiyah, secara cepat hal itu teratasi karena hanya salah kaprah. Demo FDS mengarahkan aksinya murni pada kebijakan publik yang bermasalah.
Demo tolak FDS memperlihatkan kemampuan NU untuk mengorganisir massa bukan sekadar isapan jempol belaka. Jika perkaranya sudah menyentuh identitas atau ingatan yang dianggap bernilai oleh anggota komunitasnya, ormas Islam terbesar di dunia itu mampu menggeliat secara cepat. Hal ini tidak akan terjadi jika pemicunya hanya masalah ekonomi, misalnya.
Memang sayangnya media tidak meliputnya secara mendalam seperti demo 212, padahal demo tolak FDS memperlihatkan Islam moderat di Indonesia masih ada dan kuat. Mereka lebih sering diam, tetapi bukan berarti kalah. Mereka akan bergerak pada saatnya. Demokrasi Indonesia akan terus membutuhkannya.
Jakarta, 9 September 2017