Salah satu kegiatan saya sehari-hari adalah setiap sore mengajar ngaji (baca: Al-Qur’an) anak-anak di sekitar tempat tinggal saya. Suatu siang, ketika sedang di masjid, salah satu murid ngaji saya usianya masih kelas dua SD mendatangi saya.
Dengan sangat bergelora, ia melaporkan bahwa ada dua anak muda sekiranya usia SMA yang sedang pacaran di ayunan dekat masjid. Saya yang sedianya menanggapi dengan santai, ternyata diprotes oleh si murid.
“Terus ngapain?,” tanya saya.
“Anu, Ustaz itu kan ustaz. Mereka harus diingatkan, dong,” kata dia menyarankan saya.
Bahkan tidak hanya itu, dia juga memberi dan mengajari contoh kalimat yang harusnya saya katakan kepada dua sejoli itu.
“Hai kalian, jangan pacaran di sini!. Pergi sana!,” begitu kira-kira yang murid saya katakan, saat itu.
Di belahan bumi lain, pernah satu waktu di sebuah perkuliahan kampus, dosen saya (sebut saja Pak Ahmad) bercerita bahwa anaknya sering menonton tayangan di televisi, tentang adegan seorang ustaz yang bisa terbang dan memiliki kehebatan-kehebatan supranatural lainnya.
Suatu ketika, Pak Ahmad sedang pergi bersama anaknya itu. Di jalan, seorang temannya menyapa Pak Ahmad dengan panggilan ustaz. Anaknya lumayan kaget.
Sambil menoleh kepada ayahnya, si anak bertanya, “Ayah ustaz?”
Masih menurut Pak Ahmad, si anak lalu melanjutkan: “kok ayah nggak bisa terbang? kok ayah nggak bisa mengeluarkan api dari tangan? kok ayah nggak bisa melawan banyak penjahat seorang diri seperti di televisi itu?”
Dua siluet fakta di atas memberikan gambaran bahwa betapa media (dalam hal ini televisi) cukup signifikan mempengaruhi atau malah meracuni) pola pikir anak-anak kita dalam hal agama.
Bahwa kemudian media memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam mendidik keberagamaan anak-anak kita itu memang benar adanya. Namun, media ternyata juga turut andil dalam “membodohi” pola pikir anak-anak kita—dan terkadang malah kita sendiri— juga tidak bisa dipungkiri.
Pada cerita pertama, peristiwa yang saya alami sendiri itu, saya memahami bahwa si anak sepertinya memang benar-benar menjadi korban didikan media.
Dipikir bahwa seorang ustaz yang ideal harusnya adalah yang sama dengan yang mereka lihat di sejumlah media, yakni berani menegur orang yang berbuat salah secara langsung d/a melawan kemungkaran yang ada dengan cepat dan seketika itu juga.
Mereka tidak paham bahwa dakwah kan tidak sesederhana itu juga, Bambang!! Tapi ya tak mengapa. Namanya juga anak-anak.
Terus terang, saya sendiri kelewat awam tentang tayangan macam apa saja yang dilihat anak seusia itu ketika di rumah.
Namun di sisi lain, setidaknya untuk ukuran zaman ini, ide dari manakah yang anak-anak kita dapat sehingga mereka bisa begitu banal memvonis bahwa seorang ustaz itu harusnya berani mengingatkan suatu kemungkaran secara langsung, cepat, dan tanggap, kalau bukan dari media?
Kembali pada cerita pertama. Saya lalu bergegas mengecek langusng ke TKP untuk memastikan kebenarannya. Dan, ternyata memang benar apa yang anak itu katakan.
Ya, saya melihat langsung suatu tindakan yang memang tak pantas dilakukan oleh dua orang, pemuda dan pemudi yang belum menikah—bahkan saat itu keduanya masih berseragam sekolah!!!
Malahan, penuturan murid saya itu melebihi fakta yang saya lihat. Murid saya, katanya, melihat “adegan” yang lebih dari apa yang saya lihat.
Ringkasnya, saya memang tak menegurnya. Terang saja murid saya itu protes dengan ke-tidak-tegasan saya dalam melihat kemungkaran itu. Saya lalu menjelaskan kepadanya dengan hitung-hitungan plus-minus jika saya melakukan apa yang dia sarankan untuk menegur dua sejoli itu.
Bagi saya, inti dari ketidaktegasan itu adalah saya tidak memiliki cukup otoritas dan apalagi saya bukan warga asli. Sederhananya, saya tidak ingin membuat huru-hara di kampung orang.
Adapun cerita kedua yang dialami dan dituturkan dosen saya itu, pada intinya juga sama: bahwa betapa media, dalam hal ini televisi, memiliki otoritas untuk mendikte, menrenggut, dan membentuk pola pikir anak-anak kita.
Dari cerita di atas terpahat jelas bahwa ustaz ideal dalam pandangan anaknya adalah mereka yang memiliki kekuatan seperti “ultraman” atau super hero lainnya: terbang, mengeluarkan api dari tangan, menghilang, dan segudang kekuatan ajaib lain.
Adanya ustaz yang berani secara langsung untuk menegur kemungkaran dan memiliki kekuatan supranatural memang sebuah kenyataan. Namun, jelas itu tidak semua.
Standar keulamaan atau keustazan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari seberapa ia berani secara terang benderang menegur suatu kemungkaran secara langsung, sweeping tempat maksiat misalnya, atau dari kekuatan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan) yang ia miliki. Dan ini sepertinya yang alpa dari pantauan media.
Bagi saya, mereka yang selalu taat beribadah dan mendidik umat secara iklas meski tak pernah terekspos media adalah juga ulama.
https://www.instagram.com/tv/B8p9qhfgq84/?utm_source=ig_web_copy_link
Sayangnya yang kerap ditampilkan dan diglorifikasi oleh sebagian media dan lalu ditonton anak-anak adalah yang pertama: sosok ustaz yang itu gagah dan punya kesaktian.
Filter dan kontrol pemerintah terhadap tayangan media (terutama terkait agama) sepertinya harus semakin ditingkatkan. Di lain pihak, orang tua semestinya juga selektif terhadap tayangan televisi yang sekiranya anak-anaknya tonton. Harapannya, agar tidak terjadi lagi “pembodohan” di tengah masyarakat.
Jika tidak, salah-salah suatu hari nanti akan ada anak yang berkata kepada saya, “Anda ustaz? Kok, istrinya cuma satu?” Ambyaarrr boskuh…