Kisah Perempuan yang Istiqamah Baca Surat al-Ikhlas Setiap Hari Pada Bulan Rajab

Kisah Perempuan yang Istiqamah Baca Surat al-Ikhlas Setiap Hari Pada Bulan Rajab

Begini keistimewaan membaca surat al-ikhlas setiap hari pada bulan Rajab

Kisah Perempuan yang Istiqamah Baca Surat al-Ikhlas Setiap Hari Pada Bulan Rajab

Rajab adalah bulan harapan, bulan yang sering disebut sebagai syahrullah, bulan Allah. Di tengah keagungan bulan ini, di sebuah rumah sederhana di Baitul Maqdis, seorang perempuan menjalani hidupnya dengan penuh pengabdian kepada-Nya. Ia bukan seorang pemuka agama atau tokoh masyarakat. Ia hanyalah seorang perempuan sederhana, tetapi hatinya penuh dengan cinta kepada Allah.

Pada bulan Rajab, perempuan ini memiliki kebiasaan yang jarang dilakukan oleh orang lain. Setiap hari, ia melantunkan Surah al-Ikhlas sebanyak dua belas ribu kali. Surat pendek ini, yang menjadi inti tauhid, seolah menjadi penghubung jiwanya dengan Sang Pencipta. Bukan hanya sekadar lisan yang bergerak, tetapi juga hati yang tenggelam dalam makna setiap kalimatnya.

Bukan tanpa sebab ia memilih Surah al-Ikhlas. Dalam surat itu, Allah menegaskan keesaan-Nya: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.” Bacaan ini mengokohkan keimanannya dan membuat hatinya merasa dekat dengan Allah.

Setiap bulan Rajab, perempuan ini juga mengenakan pakaian yang terbuat dari wol kasar. Bagi banyak orang, kain wol mungkin terasa panas dan tidak nyaman, tetapi baginya, pakaian itu adalah simbol kerendahan hati. Ia memilih hidup sederhana, jauh dari gemerlap dunia. Baginya, pakaian itu bukan sekadar pelindung tubuh, tetapi juga lambang penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.

Namun, waktu yang berlalu tidak bisa ditolak. Pada suatu hari, perempuan itu jatuh sakit. Menyadari ajalnya semakin dekat, ia memanggil putranya dan memberinya pesan terakhir. “Anakku,” katanya, “kuburkan aku bersama pakaian wol ini. Jangan biarkan aku meninggalkan dunia tanpa membawa pakaian yang menemani ibadahku.”

Sang anak menyanggupi permintaan tersebut. Namun, setelah ibunya wafat, ia merasa ragu. Dalam benaknya, memberikan pakaian wol sebagai kain kafan terasa tidak layak. Ia berpikir bahwa ibunya pantas mendapatkan yang lebih baik. Akhirnya, ia memilih mengkafani ibunya dengan kain yang lebih halus dan mewah.

Malam harinya, sang anak bermimpi. Dalam mimpi itu, ibunya muncul dengan raut wajah penuh kecewa. “Aku tidak ridha padamu,” ujar sang ibu, “karena engkau tidak memenuhi wasiatku.”

Kata-kata itu menusuk hati sang anak. Ia terbangun dengan keringat dingin dan rasa bersalah yang mendalam. Ia segera mengambil pakaian wol ibunya dan pergi ke makam. Dengan penuh penyesalan, ia membuka kembali kubur ibunya untuk menguburkan pakaian itu sesuai wasiat. Namun, saat makam terbuka, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan—jasad ibunya tidak lagi ada di sana.

Hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan. Namun, di tengah keheningan itu, sebuah suara dari langit menggema dengan penuh keagungan:

أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ مَنْ أَطَاعَنَا فِيْ رَجَبٍ لَا نَتْرُكُهُ فَرْدًا وَحِيْدًا

“Tidakkah engkau tahu? Barang siapa taat kepada Kami di bulan Rajab, tidak akan Kami biarkan ia sendiri dan terlantar.”

Suara itu membawa kedamaian dan keinsafan. Ia menyadari bahwa ibunya telah diangkat ke tempat yang lebih mulia oleh Allah, sebagai balasan atas ibadah dan keikhlasannya.

Kisah ini dicatat oleh Imam al-Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub, sebagai pengingat akan keistimewaan bulan Rajab. Bagi siapa pun yang mengabdikan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan ketulusan, tidak akan dibiarkan Allah dalam keterasingan, bahkan setelah ajal menjemput.

Seperti perempuan itu, kita diajak untuk menjadikan bulan Rajab sebagai waktu refleksi dan pengabdian. Sebab, keikhlasan dalam beribadah bukan hanya akan membawa ketenangan di dunia, tetapi juga jaminan kemuliaan di akhirat.

Wallahu a’lam.