Perkembangan Islam yang demikian pesat memunculkan kekhawatiran penguasa-penguasa Eropa, khususnya Paus dan keajaan-kerajaan Eropa, yang merasa tersaingi dan terancam oleh ekspansi Islam. Akibatnya, pergerakan Islam mulai mendapat reaksi besar dari para figur Kristen Eropa. Mereka melakukan konsolidasi untuk melawan agenda Islam dengan menggunakan sentimen keagamaan yang puncaknya adalah meletusnya ‘Perang Salib’ yang berlangsung selama sekitar dua abad, 11 M/ 5 H sampai 13 M/ 7 H.
Secara politik, Islam berhasil meruntuhkan kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) yang memiliki hubungan erat dengan Romawi Barat. Keruntuhan Bizantium ini juga merupakan pukulan bagi Romawi Barat. Secara agama, penduduk di wilayah-wilayah kekuasaan Bizantium seperti Suriah, Palestina, Yordania, dan Mesir yang sebelumnya merupakan penganut agama Kristen yang kemudian konversi menjadi pemeluk Islam. Lebih dari itu, tempat tempat suci umat Kristen di Palestina berada dalam wilayah kekuasaan Islam. Kondisi ini menyebabkan kehilangan yang berat bagi Barat.
Perang Salib (The Crusades) merupakan serangkaian peperangan yang berlangsung selama sekitar dua abad dan berkecamuk secara bergelombang, yang dilancarkan Kristen-Eropa terhadap wilayah-wilayah kekuasaan umat Islam. Penyebab terjadinya Perang Salib itu sangat kompleks. meliputi motif agama, sosial, politik, maupun ekonomi yang semuanya berjalin-kelindan. Faktor agama memang diaktifkan untuk membangkitkan semangat yang menyeluruh dan kesediaan berkorban. Namun, agama bukanlah satu-satunya faktor penyulut perang salib.
Perlu diingat bahwa Yerusalem merupakan salah satu tempat yang sangat disucikan tidak hanya oleh umat Islam dan Yahudi, tetapi juga oleh orang Kristen. Para peziarah, terutama umat Kristiani dan Yahudi berdatangan dari segala penjuru dunia. Sewaktu daerah suci Yerusalem dan Palestina berada di bawah naungan kekuasaan Islam berabad-abad lamanya keterbukaan ini masih terus berlanjut.
Kompleksitas faktor pemicu perang salib, misalnya, terlihat pada abad ke-10 dan 11 M tepatnya ketika terjadi perpecahan politik yang menimpa dinasti Abbasiyah yang hebat di Baghdad. Hal itu diiringi dengan kabar reputasi buruk seorang penguasa Islam, Khalifah keenam Dinasti Fatimiyah, Al-Hakim, yang terdengar hingga ke Paus dan kerajaan-kerajaan di Eropa. Misalnya, penyiksaan terhadap umat Kristen yang tinggal di wilayah dinasti yang membentang hingga Syria dan Palestina dan penghancuran Gereja Makam Suci di Yerusalem pada tahun 1009-1010 M.
Tindakan-tindakan Al-Hakim inilah yang dianggap sebagai salah satu trigger meningkatnya keinginan kaum Kristen Eropa untuk melancarkan Perang Salib Pertama dan menyelamatkan apa yang mereka anggap sebagai tempat-tempat suci umat Kristen yang berada dalam ancaman.
Sentimen agama pemicu hadirnya para tentara salib pertama kali dikobarkan oleh Paus Urbanus II melalui khotbahnya tanggal 17 Nopember 1095 di Council of Clermont yang dihadiri oleh orang-orang gereja dan raja-raja Eropa. Dalam khotbahnya itu, Paus menyerukan umat Kristen agar berangkat membebaskan kota suci Yerusalem dari penindasan umat Islam. Paus menjanjikan penebusan dosa bagi mereka yang gugur dalam perang suci tersebut atau bagi mereka yang berhasil menguasai kota suci Yerusalem.
Selain faktor agama, Perang Salib juga dipicu oleh faktor politik. Sebagai figur krusial yang pemimpin semua aliran Kristen, baik di Barat maupun di Timur, Paus berambisi untuk menyatukan semua gereja. Pada waktu itu gereja terpecah menjadi gereja Barat dan gereja Timur. Polarisasi itu terjadi setelah Konferensi Rum pada tahun 869 M dan Konferensi Konstantinopel pada tahun 879 M. Kedua gereja berbeda paham tentang konsep roh kudus. Paus berusaha menundukkan gereja ortodoks Timur, namun pertentangan paham antara gereja Barat dengan Gereja Timur di bawah kekaisaran Bizantium menghambat niat Paus ini.
Kemudian, peluang emas itu datang bagi Paus ketika ada permintaan bantuan dari Bizantium untuk menghadapi tekanan Turki Saljuk. Peluang emas ini dimanfaatkan untuk mencitrakan Paus sebagai pemimpin tunggal untuk semua rakyat Kristen dalam berjuang melawan kaum Muslim. Kekuasaan Bizantium di Syria (Syam) dan Asia Kecil waktu itu semakin terdesak oleh ekspansi Dinasti Turki Saljuk. Puncaknya, pada tahun 1071 M. Dinasti Turki Saljuk berhasil mengalahkan pasukan Bizantium dalam pertempuran yang sangat menentukan di Manzikert.
Ketika itu, kekaisaran Bizantium memohon bantuan militer pada Eropa Barat, termasuk dari Paus yang kekuasaannya cukup besar. Pada 1090 M, Kaisar Bizantium, Alexius Commenus, sekali lagi memohon kepada Eropa setelah ia mendengar tekanan Saljuk terhadap kaum Kristen Timur Dekat bersamaan dengan kekerasan yang dilakukan penguasa Dinasti Fatimiyah. Dengan dalih menyelamatkan Bizantium dan mengambil alih tanah suci di Palestina dari Islam, ia sekaligus ingin merealisasikan ambisinya untuk menyatukan gereja Timur dan gereja Barat.
Faktor ekonomi juga berperan dalam mendorong terjadinya Perang Salib. Ketika Eropa melancarkan propaganda perang Salib, negara-negara di Eropa sedang menghadapi krisis ekonomi. Bukti-bukti kemunduran ekonomi pada masa itu antara lain, pertama, peredaran mata uang emas. Kedua, menurunnya kegiatan para saudagar secara drastic. Ketiga, terhentinya peredaran komoditas dari Timur seperti rempah-rempah dan sutera. Keempat, peredaran mata uang dikurangi sampai tingkat yang paling minimum. Kelima, kedudukan kota-kota yang merosot tajam dan berubah menjadi semacam kubu-kubu. Dengan demikian, kemenangan dalam Perang Salib diharapkan bisa memulihkan kembali perekonomian di Eropa dengan cara menguasai jalur-jalur perdagangan strategis di Timur, terutama di laut Mediterania yang saat itu dikuasai Islam.
Pemaparan di atas merupakan sekilas latar belakang dan faktor-faktor pemicu perang salib. Bisa dilihat bagaimana pola interaksi Islam dan Kristen yang berubah ketika berkembang ke wilayah yang lebih luas. Hal ini karena meluasnya ekspansi wilayah berbanding lurus dengan perlawanan dari masyarakat yang ditaklukan. Rasa ‘disaingi’ ditambah perlakuan khalifah al-Hakim terhadap kelompok Kristen di wilayah Timur, membentuk citra Islam sebagai ancaman yang berarti. Motif-motif ekonomi dan sosial juga turut menjadi pemicu efektif, atau justru berkelindan dengan motif keagamaan itu. Namun tetap saja, sejarah mempunyai dinamikannya tersendiri. Tugas kita adalah mengambil pelajaran sebanyak mungkin dari kisah-kisah masa lampau itu.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT