Wajah pardi tampak muram, ia menatap kosong putra sulungnya yang tengah bermain dipelataran masjid. Lokasi masjid itu memang sangat dekat dengan blok perumahan yang ditempatinya sekarang.
Sejak sukses merintis usahanya di kota, Pardi memboyong keluarga kecilnya di komplek perumahan yang menawarkan nuansa Islami. Meskipun dibayar dengan mencicil, Pihak developer mengklaim bahwa perumahan tersebut adalah perumahan syariah di mana tidak ada riba di dalamnya. Hal ini kian memantabkan hati Pardi yang telah hijrah tiga tahun lalu untuk menghindari praktek riba.
Dua tahun berlalu, Hampir setiap pekan Pardi dan keluarganya tidak pernah absen mengikuti kajian Islami yang diselenggarakan Masjid itu. Hingga jum’at itu, ketika khatib menyampaikan khutbah jum’at hati Pardi benar-benar tergoncang.
Ia masih ingat bagaimana raut muka sang khatib yang merah membara dalam menyampaikan khutbah tadi, “Selama syariat Islam tidak dijalankan, maka negara ini akan tetap berantakan. Tidak ada solusi lain, selain tegaknya khilafah!!!”
Kurang lebih begitulah pesan yang ingin disampaikan khotib tadi.
Siang itu, Pardi termenung lama di pelataran masjid. Bukan karena menunggu anaknya yang tengah asyik bermain, melainkan pikirannya telah melayang jauh ke masa kecilnya. Masa ketika Pardi bisa mengaji di surau bambu Mbah Doel.
Ia masih ingat betul, bagaimana Ia dan kawan-kawanya bisa tenang mengaji meskipun di ujung kampungnya beberapa pemuda tengah asyik berjudi diwarung Mbok Ti. Ia sama sekali tidak merasa lebih suci dari mereka, karena Mbah Doel sendiri terkadang bercengkrama dengan mereka. Bukan untuk memberi petuah tapi sekedar untuk bercengkrama agar tak ada jarak di antara kita.
Mbah Doel juga tak pernah berucap bahwa orang-orang yang tak mengaji itu sesat dan kafir. Bahkan, sejak Mbah Doel sering bercengkrama dengan mereka satu persatu dari mereka yang gemar berjudi di warung Mbok Ti mulai menghilang. Entah karena sungkan atau malu yang jelas beberapa di antara mereka ada yang mulai datang ke surau bambu Mbah Doel untuk mengaji.
Hal ini jelas semata-semata karena hidayah Allah SWT. Tapi,satu hal yang membekas di hati Pardi adalah ingatan tentang sosok Mbah Doel yang sangat erat kaitannya dengan taubatnya para pemuda itu.
Di saat orang-orang tengah terlelap, Pardi dan kawan-kawannya yang ketiduran di altar surau mendengar rintihan orang berdoa diselingi sesenggukan tangis. Pardi bangkit dan mengintip di sela-sela bambu, Ia menemukan Sosok Mbah yang tengah bermujahada zikir malam sambil mendokaan satu-persatu nama-nama mereka yang gemar berjudi itu.
Bukan doa kemarahan dan meminta azab, tapi Mbah Doel tengah berupaya membuka pintu langit agar mereka yang tergelincir dijalan-NYA bisa kembali melangkah mantab kejalan-NYA.
Kini, di jantung Ibu Kota Pardi bimbang apakah “lingkungan islami” yang ia dambakan selama ini ada di sini?
Di lingkungan yang Islami ini, Pardi praktis tidak menjumpai praktek perjudian. Tapi, sepanjang pengalaman selama tingal di sini, Pardi jarang melihat wajah-wajah teduh seperti sosok Mbah Doel.
Yang sering Ia jumpai adalah sosok ustadz garang dan sering memekikkan takbir selama kajian berlangsung. Tidak jarang, Ia melihat bagaimana Sang Ustadz merendahkan dan mengejek praktek ajaran Agama lain, bahkan sesama muslim yang di luar golongannya pun tak lepas dari sasaran ejekannya.
Ia mulai melihat betapa mengerikannya, bila sejak kecil anak-anak kita tumbuh dengan kata-kata, “Kafir, Sesat, Bunuh, Halal darahnya.”
“Tidakkah ini semua adalah setan berwujud manusia,” gumam Pardi dalam hati.
Pardi masih ingat wejangan Mbah Doel bahwa awal mula setan “diusir” dari surga adalah ketika Setan menolak dengan angkuh perintah Tuhan untuk menyembah Adam AS. Karena, setan merasa dirinya lebih tinggi derajatnya dibandingkan Adam AS.
Pardi kembali bimbang, apakah ini hanya fatamorgana yang melintas di hatinya yang tengah gersang.
“Ah, sudahlah. Sebentar lagi aku mau bertemu dengan Hong Tji, seorang pemborong besar dari Gelodok,” gumam Pardi dalam hatinya
“Ayo nak, pulang!” Ajak Pardi kepada anaknya.
Jenggala, 2018