Tersiarlah kabar bahwa Sang Nabi menikahi Khadijah seakan Sang Nabi menginginkannya. Sehingga dari kabar tersiar itu, ditetapkanlah “sebuah kesunnahan” bahwa jika ingin mengikuti Nabi, kawinilah janda bukan perawan seperti banyak dilakukan orang.
Umat Islam yang jarang atau tidak pernah membaca secara cermat sirah (perjalanan hidup) Sang Nabi, tentu akan mudah percaya begitu saja siaran itu. Demikianlah masyarakat yang rendah angka literasinya. Begitu mudah mereka dibutakan sebuah pernyataan tanpa melakukan konfirmasi terhadap catatan sejarah yang telah ada.
Lalu benarkah Nabi memang ingin mengawini Khadijah radhiyallahu anha? Siapakah yang sebenarnya lebih dahulu menyampaikan keinginan?
Beberapa catatan–di antaranya di dalam Fiqhus Sirah karya Syaikh Muhammad al-Ghazali–disebutkan bahwa setelah mengetahui kredibilitas Sang Nabi di dalam menjalankan usaha serta cara beliau berinteraksi dengan banyak orang, terbersitlah keinginan di dalam hati Khadijah untuk menjadikan Muhammad Sang Nabi sebagai suami.
Khadijah telah berpengalaman menikah. Namun ajal memisahkannya dari suami terdahulu. Bagi masyarakat Makkah, Khadijah bintu Khuwailid bin Al-Asad, bukanlah wanita biasa. Pengaruhnya di masyarakat Makkah sangatlah kuat. Di samping terkenal sebagai pengusaha wanita sukses, keluarga besar Khadijah merupakan keluarga terpandang. Banyak tokoh Makkah yang melamarnya namun Khadijah menolak.
Justru setelah mengetahui akhlak Muhammad bin Abdullah sholawatullohi ‘alayhi, Khadijah malah menginginkan laki-laki yang tidak pernah menyampaikan lamaran kepadanya itu. Diutuslah seorang pembantu, untuk menemui Muhammad. Lalu, pembantu menyampaikan keperluan majikannya kepada Muhammad.
Muhammad kaget bukan kepalang. Bagi dirinya yang miskin dan berasal dari keluarga tak berpunya, menikahi Khadijah adalah sebuah kemustahilan. Muhammad yang lugu, tidak pernah memikirkan dengan siapa dirinya akan menikah. Bimbingan Allah yang telah berlangsung sejak dadanya dibelah semasa kecil, telah membuat dirinya khusyuk menghayati alam malakut dan jabarut. Bagi Sang Nabi, menyebut nama Allah menghadirkan ekstase tersendiri yang lebih dahsyat daripada kenikmatan seksual.
Dengan kerendahan hati, Muhammad menjawab pesan itu, ” tidak ada sedikitpun harta di genggaman tanganku untuk menikahinya”. Namun, jawaban pesimis Muhammad itu dibalas Khadijah dengan mengirim pamannya Amru bin al-Asad untuk menjumpai Abu Thalib, pamanda sang Nabi.
Khadijah tidak menuntut besaran mas kawin yang harus diberikan. Baginya kesediaan Muhammad untuk menikahinya lebih dari nilai mas kawin yang paling mahal. Mungkin karena itu Muhammad Sholla Allahu ‘alayhi wa sallam sangat mencintainya.
Kisah pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah Radhiyallahu anha ini janganlah dijadikan sebagai bahan olok-olok untuk memojokkan sekelompok orang yang tidak kita suka. Dari perkawinan Rasulullah dan Sayyidah Khadijah lahirlah Sayyidah Fathimah. Dan dari Sayyidah Fathimah lahirlah Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, yang keturunannya hingga hari ini menjadi pengikat hubungan batin Rasulullah dengan umatnya.
Jangan dibuat olok-olok, jangan dijadikan senjata untuk memojokkan.