Syahdan, di malam hari yang sunyi Ibrahim AS tiba-tiba mendapatkan tugas yang super berat. Beliau diperintahkan Tuhannya untuk menyembelih puteranya sendiri. Dalam sebuah mimpi di malam hari tanggal 8 Dzulhijjah Ibrahim didatangi sosok di dalam mimpi untuk menyampaikan “ilham” tersebut.
Keesokan harinya, Ibrahim AS mengalami keadaan yang serba sulit. Di satu sisi perintah berkurban tersebut wajib dilaksanakan. Di sisi yang lain Ia harus merelakan buah hatinya yang tidak berdosa untuk dijadikan kurban. Di hari ini Ibrahim AS merasa masih sangat perlu mempertimbangkan dengan matang untuk menentukan sikap yang harus ia ambil. Selanjutnya, dalam sejarah Islam, 8 Dzulhijjah disebut dengan hari tarwiyyah (mempertimbangkan dengan seksama), hari di mana Nabi Ibrahim masih dalam masa pertimbangan untuk menentukan langkah yang terbaik berkaitan dengan ilham yang beliau terima pada malam harinya.
Malam hari tanggal 9 Dzulhijjah Ibrahim kembali mengalami mimpi serupa. Sosok yang datang pada malam hari sebelumnya kembali mendatangi beliau untuk menyampaikan hal serupa, perintah mengurbankan puteranya. Ibrahim AS semakin yakin dan mantap ilham tersebut benar-benar perintah dari Allah. Berpijak dari hal tersebut, 9 Dzulhijjah disebut dengan hari Arafah yang berarti yakin / mengetahui. Hari di mana Ibrahim AS semakin yakin tentang perintah menyembelih anaknya.Sosok yang mendatangi Ibrahim AS pada dua malam sebelumnya, pada malam 10 Dzulhijjah kembali datang dengan menyampaikan pesan yang sama. Mimpi yang semakin memantapkan langkah beliau merelakan nyawa anaknya.
Di Pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah, Ibrahim AS dengan langkah yang mantap segera melaksanakan tugas mulia yang dibebankan kepada beliau. Ibrahim AS merencanakan prosesi eksekusi puteranya dilakukan di tempat yang jauh dari jangkauan keluarga. Menurut riwayat Sa’id bin Jubair, tempat penyembelihan putera Ibrahim As berada dalam radius jarak yang membutuhkan waktu selama satu bulan untuk bisa ditempuh, namun pada hari itu Allah melipatkan bumi untuk mempercepat laju perjalanan lbrahim AS dan puteranya, hingga dapat ditempuh dalam beberapa jam saja.
“Anaku, mari ikut Ayah mencari kayu di sebuah bukit. Bawalah pisau besar dan tali tampar ini”, ajak Ibrahim AS kepada puteranya seakan menyembunyikan maksud sebenarnya agar puteranya tidak kaget. Berjalanlah Ibrahim AS dan puteranya menuju tempat yang dituju. Sesampainya di tempat tujuan, Ibrahim AS akhirnya berterus terang kepada puteranya mengenai maksud tujuan sebenarnya membawa puteranya ke tempat tersebut.
“Duhai anakku yang manis. Ayah sudah tiga kali bermimpi dimana dalam mimpi itu Allah memerintahkanku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu nak ? “, ujar Ibrahim AS dengan sangat lembut. “Ayahku yang terhormat, lakukanlah perintah Allah itu. Insya Allah aku bisa sabar menjalaninya”, jawab putera Ibrahim dengan penuh keyakinan.
Sebelum Ibrahim menggoreskan pisau di leher puteranya, sang anak mengajukan beberapa permintaan terakhir. “Ayah. Aku memohon kepadamu agar mengangkat tinggi-tinggi baju ayah. Hindarkan dari darah yang menetes dari leherku. Karena bila darahku mengenai baju ayah, pahalaku bisa berkurang dan Ibunda pasti sangat sedih melihatnya. Ayahku. Aku mohon pisaunya lebih dipertajam lagi, agar dapat memudahkanku menemui ajalku.Ayah…sampaikan salam hormatku kepada Ibunda. Ayahku…bila engkau berkenan, silahkan bawa baju gamisku ini. Berikan kepada Ibunda. Barangkali ini bisa menjadi pelipur lara atas kepergianku”, terang putera Ibrahim mengajukan permintaan terakhirnya.Ibrahim As bersedia mengkabulkan seluruh permohonan buah hatinya. “Ayah akan kabulkan semua permintaanmu ‘nak’. Sungguh kamu telah banyak membantu tugas ayahmu ini”, ujar Ibrahim as kepada puteranya.
Prosesi penyembelihan segera dilakukan. Diikatlah putera Ibrahim As dengan tampar, dalam posisi tidur miring di atas bebatuan. Isak tangis mengharukan Bapak dan sang buah hati yang saling berhadapan tidak dapat terbendung lagi. Bismillah, dengan tekad menjalankan perintah Tuhan, dihujamkanlah pisau besar nan tajam ke arah leher putera Ibrahim di bagian depan.
Masya Allah, pisau yang sedemikian tajamnya, pada kesempatan pertama tidak melukai putera Ibrahim sedikitpun. Karena dirasa kurang tajam, Ibrahim AS kembali mengasahnya dua sampai tiga kali di bebatuan. Setelah diasah dan kembali dihujamkan ke leher puteranya, ternyata juga tidak kunjung membuahkan hasil.
Melihat ayahnya tak kunjung berhasil menghujamkan pisau, sang buah hati tampak sedikit curiga, jangan-jangan ayahnya tidak tega melukainya. Putera Ibrahim selanjutnya memberikan saran agar posisinya saat disembelih diubah, ditidurkan telungkup agar tak tampak wajahnya.
“Ayah…barang kali kita perlu merubah posisi penyembelihan ini. Bagaimana kalau posisiku ditidurkan telungkup. Dengan begitu ayah tidak lagi dapat melihat wajahku sehingga merasa iba terhadapku. Aku juga tidak lagi dapat menyaksikan pisau tajam itu sehingga aku merasa takut dan khawatir. Mungkin rasa iba dan khawatir itulah yang menghalangi kita untuk menjalankan perintah Allah“, terang putera Ibrahim. “Iya anaku…mari kita coba saranmu itu”, jawab Ibrahim menyetujui masukan anaknya.
Setelah mengubah posisi puteranya, bersiaplah Ibrahim As menghujamkan pisau tajam ke arah bagian belakang leher puteranya. Masya Allah, atas kebesaran-Nya pisau itu kembali tidak dapat mencederai Ishaq As sedikitpun. Dan tiba-tiba pisau itu berbalik arah. Bersamaan dengan terbaliknya pisau tajam itu, turunlah seruan dari arah tempat sekitar. “Cukup wahai Ibrahim. Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya kami membalas orang-orang yang telah berbuat kebajikan. Sesungguhnya perintah sembelihan ini merupakan ujian yang nyata. Dan kami telah menebusnya dengan kambing yang besar.“
Ibrahim As dan puteranya berhasil melewati ujian berat. Allah tidak berkehendak mengorbankan sang buah hati Ibrahim. Perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih puteranya sendiri, adalah untuk menguji ketaatan dan penghambaannya. Putera Ibrahim tidak jadi disembelih. Sebagai gantinya, Allah mendatangkan kambing besar dari surga untuk dikurbankan. Konon kambing tersebut merupakan kurban persembahan Sayyid Habil bin Adam AS yang diterima Allah Swt.
Selanjutnya dilakukanlah prosesi penyembelihan “kambing surga” oleh Ibrahim AS. Prosesi penyembelihan yang berlangsung dengan khidmat diiringi dengan bacaaan “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar“ oleh malaikat Jibril AS. Disusul dengan lantunan “La Ilaha Illahu Wallahu Akbar” oleh putera Ibrahim As. Dan ditutup dengan kalimat “Allahu Akbar Walillahi al-Hamdu” oleh Ibrahim AS. Tiga kombinasi dzikir inilah yang pada akhirnya menjadi sunah dalam syari’at Nabi Muhammad SAW.
Menurut sebagian pendapat, saat Ibrahim AS menghujamkan pisau ke leher puteranya, Allah melapisi leher dan bagian belakang kepala puteranya dengan tembaga sehingga tidak mempan dengan senjata tajam. Versi versi lain mengatakan tidak ada yang berubah dari bagian leher putera Ibrahim As. Lehernya tetap seperti leher manusia biasa, tanpa dilapisi benda apapun. Namun karena kuasa Allah,sehingga menjadikannya kebal dari senjata tajam. Pendapat ini dinilai lebih kuat, sebab lebih mendekatkan kepada dimensi akidah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah, bahwa setajam apapun pisau, jika Allah tidak berkehendak, maka sedikitpun tidak dapat melukai kulit. Yang menyebabkan luka adalah Allah, bukan pisau. Pisau dapat melukai hanya berdasarkan kebiasaan, tidak memastikan.Dalam perspektif ilmu Tauhid diistilahkan dengan “al-Hukm al-‘Adi”.
Sebagai catatan akhir, Putera Nabi Ibrahim AS yang dikisahkan di atas terdapat perbedaan di kalangan ulama’. Sebagian mengatakan Nabi Ishaq AS. Sebagian berpendapat Nabi Isma’il AS. Sebagian berpendapat mauquf (ditangguhkan). Dari ketiga pendapat ini, menurut Syaikh Ahmad al-Shawi pendapat yang lebih kuat secara dalil adalah pendapat yang mengatakan putera Nabi Ibrahim As yang dikurbankan adalah Nabi Ishaq As.
Sumber bacaan: Ahmad as-Shawi, Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, Vol. III (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, tt)