Pada masa sebelum Islam, terjadi Wabah Tha’un yang menyerang Bani Israil. Tepatnya terjadi di kota Dawardan atau Mawardan. Adanya wabah tersebut, membuat Bani Israil yang menempati daerah itu ketakutan dan melarikan diri dengan tujuan menghindari paparan wabah.
Mereka berbondong-bondong pergi meninggalkan daerahnya supaya bisa memperpanjang kehidupannya. Kurang lebih jumlah mereka antara 4000 sampai dengan 70.000 orang, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain Surah al-Baqarah ayat 243. Mereka berpindah dari daerahnya ke daerah lain yang tidak ada kematian akibat Wabah Tha’un. Dengan membawa harta benda yang mereka miliki, mulai dari hewan dan lain sebagainya.
Ketika sampai di daerah yang dituju, mereka kemudian menetap di lembah yang luas yang mana daerah tersebut tidak terserang wabah. Mereka memenuhi lembah-lembah tersebut dari ujung sampai ke ujung. Akan tetapi setelah mereka sampai tujuan, yang terjadi justru berbanding terbalik dengan yang diharapkan. Atas segala kuasa dan kehendak Allah Swt, Alih-alih terhindar dari kematian, dalam waktu yang cepat mereka semua justru tertular wabah dan mati. Malaikat yang diutus oleh Allah Swt menjadikan mereka semua mayat tidak bernyawa beserta hewan-hewan yang dibawanya.
Hingga suatu masa selepas kematian mereka, datanglah seorang Nabi dari kalangan Bani Israil yang bernama Hizqil Alaihissalam. Hizqil As adalah Nabi bagi Bani Israil yang diutus oleh Allah Swt setelah kematian Nabi Musa As. Beliau hidup kira-kira pada tahun 591 SM atau setelah Nabi Musa As dan sebelum Nabi Daud As. Walaupun namanya tidak ada dalam Al-Qur’an dan tidak populer, serta adanya berbagai silang pendapat siapakah Hizqil As dalam Islam, kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an yaitu dalam Surah al-Baqarah ayat 243.
Al-Tabari dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk juga menjelaskan, bahwasanya Hizqil As adalah salah satu Nabi yang diutus oleh Allah Swt untuk Bani Israil. Beliau adalah satu diantara para Nabi yang bertanggung jawab atas Bani Israil. Beliau juga merupakan Nabi yang diberi mukjizat bisa menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati, selain Nabi Isa As. Dalam kitabnya, al-Tabari juga menjelaskan bahwa Nabi Hizqil As bukanlah Nabi Zulkifli As.
Ketika Nabi Hizqil As melewati tempat-tempat di mana Bani Israil dimatikan oleh Allah Swt. Beliau kemudian berdo’a dan memohon kepada Allah Swt, supaya menghidupkan mereka kembali.
Allah Swt kemudian berfirman; “wahai Hizqil, apakah engkau ingin Aku menunjukkan kepadamu. Bagaimana Aku menghidupkan mereka?” Nabi Hizqil menjawab; “Iya, Ya Tuhanku”. Hal tersebut dikarenakan Nabi Hizqil juga ingin tahu kekusaan dan kebesaran yang dimiliki Tuhannya. Dan bagaimana Allah Swt ketika membangkitkan hamba-hamba-Nya suatu saat nanti.
Allah Swt kemudian berfirman; “bangkitlah dan kabarkan kepada mereka! Sebab tulang belulang mereka kini sudah berserakan, burung-burung dan hewan pemangsa telah mencerai beraikannya.”
Atas perintah dan kehendak Allah Swt, Nabi Hizqil As kemudian menyeru mereka untuk pertama kalinya; “wahai tulang belulang dari masing-masing orang, Allah Swt memerintahkanmu untuk menyatu kembali. Menyatulah!” Tulang belulang yang asalnya tercerai berai, seketika kembali menjadi satu dan saling melekat.
Setelah itu, Nabi Hizqil As kembali menyeru; “wahai tulang belulang. Allah Swt memerintahkanmu semua untuk dibalut daging!” Tulang belulang tersebut kemudian tertutupi dengan daging, setelahnya terbalut kulit kemudian menjadi tubuh.
Dan untuk ketiga kalinya, Nabi Hizqil As kembali menyeru; “wahai engkau para arwah. Allah Swt memerintahkanmu untuk kembali ke tubuhmu!” Atas izin Allah Swt, para arwah tersebut kembali ke tubuhnya masing-masing. Merekapun berdiri sempurna sebagaimana manusia, dan mereka benar-benar telah hidup kembali. Mereka semua kemudian memuji Allah Swt, “Maha Suci Engkau, Tiada Tuhan Selain Engkau.”
Keadaan yang menimpa Bani Israil karena melarikan diri akibat adanya wabah, merupakan salah satu bukti bahwa menghindar dari takdir Allah Swt sama sekali tidak ada gunanya. Karena tidak ada tempat berlindung dari ketentuan Allah Swt, kecuali kepada-Nya. Justru hal tersebut bisa menimbulkan murka Allah Swt. Karena adanya cobaan adalah supaya manusia ridha atas ketentuan-ketentuan dari Allah Swt. Bukan malah menghindarinya. Dan setiap tidak akan dapat menghindari kematian, begitu juga setiap orang tidak dapat mendahulukannya.
Sebab, sesungguhnya Allah Swt mempunyai karunia dan memberikan banyak nikmat dari berbagai hal yang terdapat dalam kehidupan umat manusia. Tetapi kebanyakan manusia lupa bersyukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah Swt.
Wallahu a’lam bissawab.