Zaman dahulu, tidak semua orang bisa mendapatkan akses buku. Harga buku masih sangat mahal. Isi dan kontennya pun hanya bisa diakses oleh orang-orang yang telah memperoleh pendidikan, minimal penah berguru pada seorang ulama. Tak heran jika dulu koleksi buku dan kitab jadi indikasi atas intelektualitas seseorang. Imam Zamakhsyari bahkan pernah mengeluarkan kaul menarik:
مَجْدُ التَّاجِرِ فِي كيسِه، وَمَجْدُ العَالِمِ فِي كَرَارِيسِه
“Kebanggan seorang pedagang adalah dengan ‘tebal’ dompetnya, sedangkan kebanggaan seorang alim adalah dengan koleksi bukunya”
Bagaimana jadinya jika koleksi buku yang selama ini menjadi ruh dan nyawa bagi orang alim pada akhirnya sia-sia. Bahkan juga dijual justru oleh orang terdekatnya.
Berikut beberapa kisah para ulama yang koleksi bukunya berakhir menjadi milik orang lain;
Syafi’ ibn Ali ibn Abbas al-Kannani (w. 730 H)
Ia merupakan salah satu penulis sejarah di Mesir. Ia juga dikenal sebagai kolektor buku ulung. Semasa hidupnya banyak yang menyaksikan ia mempunyai koleksi buku dan kitab yang sangat banyak. Menurut catatan al-Shafadi dalam Nakt al-Himyan, ia meninggalkan 18 lemari penuh dengan koleksi buku. Ia juga termasuk sosok ulama yang dalam fase akhir hidupnya mengalami kebutaan. Namun walaupun begitu, saking gematinya ia dengan buku, dengan menyentuh sampul buku koleksinya ia bisa menjelaskan kapan ia memperoleh buku itu serta dari mana ia memperoleh buku tersebut. Sungguh sebuah kemampuan mengingat yang hebat.
Akan tetapi sepeninggal dirinya, istrinya mempunyai itikad buruk dengan warisan koleksi bukunya. Sang istri melihat ada potensi laba yang besar jika warisan kitab sang suami tersebut dijual. Benar saja tak lama setelah sang suami meninggal sang istri menjual hampir keseluruhan koleksi kitabnya.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H)
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah merupakan murid kinasih dari Ibnu Taimiyyah. Ia juga merupakan salah satu murid yang mewarisi sebagian besar pemikiran gurunya itu. Sama seperti sang guru, ia mempunyai segudang koleksi kitab. Ibnu Qoyyim sendiri memiliki banyak sekali karangan, seperti Jala’ al-afham, I’lam al-Muwaqqi’in, Bada’i’ al-Fawaid dan lain sebagainya. Selain itu beliau juga mengumpulkan kitab karangan ulama-ulama lain. Tak terhitung jumlah koleksi kitab yang telah ia koleksi.
Namun sepeninggal dirinya semua kitab tersebut dijual oleh anak-anak beliau, kecuali beberapa kitab yang memang masih mereka butuhkan. Kisah ini ditulis oleh Ibnu Hajar dalam Ad-Durar al-Kaminah (hal. 137).
Ja’far bin Ahmad al-Maruzi
Menurut catatan Ibnu Nadim dalam kumpulan bibliografinya, Ja’far al-Maruzi merupakan salah satu salah satu pionir dalam menulis kitab di bidang geografi dan sejarah dinasti dalam Islam. Akan tetapi ia belum sempat menyelesaikannya. Ia juga dikenal sebagai kolektor buku ulung. Akan tetapi setelah wafat, kitab-kitab hasil perburuannya dijual.
ِAbu Zakariyya Yahya bin Ziyad al-Farra’
ِAbu Zakariyya Yahya bin Ziyad al-Farra’ atau yang lebih dikenal dengan Imam Farra’ adalah salah satu ulama rujukan dalam bidang nahwu. Khususnya dalam bidang gramatika Arab mazhab Kufah. Menurut sebagian besar ulama, beliau dikatakan sebagai seorang yang paling alim dalam bidang nahwu setelah Imam al-Kisa’i.
Imam Tsa’lab mengatakan:
لولا الفراء لما كانت عربية، لأنه خلصها وضبطها، ولولا الفراء لسقطت العربية لأنها كانت تتنازع ويدعيها كل من أراد ويتكلم الناس فيها على مقادير عقولهم وقرائحهم فتذهب
“Tanpa Imam al-Farra’ maka ilmu tata bahasa Arab tidak akan pernah ada. Ini semua berkat jasa pemurnian dan penyusunan kaidah-kaidahnya. Tanpa Imam al-Farra’ maka bahasa Arab akan hilang, karena banyak sekali perdebatan orang yang berbicara dengan bahasa Arab sesuai kemampuannya sendiri”
Beliau juga dikenal mempunyai banyak koleksi buku dan karangan. Yang paling terkenal dan fenomenal tentu adalah Kitab Ma’ani al-Qur’an yang menjadi pionir kitab tafsir dengan pendekatan bahasa.
Namun sangat disayangkan, belakangan kitab-kitabnya diketahui banyak yang dijual. Hal tersebut bisa kita lacak pada catatan al-Jahiz dalam Inba’ al-Ruwat . Ketika al-Jahiz baru tiba di kota Baghdad untuk mengunjungi Ibnu Zayyat. Ia melihat kerumunan orang setelah turun dari dermaga. Ia pun penasaran. Setelah didekati ternyata kerumunan tersebut berasal dari pasar lelang dan penjualan kitab-kitab koleksi Imam al-Farra’. Al-Jahiz sebenarnya agak kaget dengan hal tersebut, mengingat al-Farra’ adalah salah satu ulama besar. Lantas mengapa kitab-kitab koleksinya sekarang dijual?
Al-Jahiz pun tertarik untuk membeli salah satu kitab untuk dihadiahkan kepada Ibnu Zayyat yang hendak ia kunjungi di kota itu. Ternyata tidak satupun kitab al-Farra’ yang membuatnya terpikat.
Lama sekali al-Jahiz mencari kitab yang cocok sampai hampir semua kitab al-farra’ telah habis. Akan tetapi tak disangka di balik bantal penjual kitab tersebut al-Jahiz menemukan kitab Sibawaih tulisan tangan asli al-Farra’. Cocok. Akhirnya ia pun menghadiahkan kitab tersebut kepada Ibnu Zayyat (Inbah al-Ruwat fi ‘ala Anbah al-Nuhat, vol. 4 hal. 814)
Al-Jahiz sendiri adalah ulama yang hidup pada kurun waktu 159-255 H. Atau pernah hidup satu masa dengan al-Farra’ (144-207 H) selama separuh abad. Jadi besar kemungkinan ia ketika berkunjung di Baghdad setelah kewafatan al-Farra’. Jadi bisa jadi, setelah kewafatan al-Farra’ kitab-kitab koleksinya dijual oleh sebagian orang yang tidak berkepentingan. (AN)
Wallahu A’lam.
Baca juga kisah-kisah unik para ulama atau tulisan Yazid Fathoni yang lain.