Musim panas, tahun 711 masehi, pasukan Bani Umayyah yang dipimpin Jenderal Tariq bin Ziyad atau dalam legenda Spanyol dikenal dengan nama Taric el-Tuerto berhasil menguasai Andalusia, yang dalam Geopolitik modern meliputi Spanyol, Portugal, Andorra, Gibraltar, dan sekitarnya.
Sebelumnya, ketika mendarat di Gibraltar, Jenderal Tariq memerintahkan anak buahnya untuk membakar semua kapal yang mereka gunakan berlayar dan berpidato :
“tidak ada jalan untuk melarikan diri. Laut di belakang kalian dan musuh di depan kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian lakukan sekarang kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan “.
Pidato dari Tariq itu menjadi motivasi kuat pasukannya untuk bertarung dan meraih kemenangan besar di Andalusia. Raja Roderick pun takluk.
Namun, tidak seperti tentara ISIS yang banyak membuat kerusakan, pembunuhan, dan kehancuran ; pasukan Tariq justru menjadikan Andalusia meninggi dan mulia peradabannya.
Pasukan Tariq tidak merusak tempat-tempat ibadah, tak ada. gereja dan sinagog yang dibakar serta tetap memberi kebebasan orang-orang Andalusia untuk memeluk agama mereka. Terjadi relasi harmonis antara Islam, Kristen, Yahudi dan Sabiin di Andalusia.
Di tangan kreatifitas Bani Umayyah, Andalusia bermetamorfosis menjadi oase peradaban yang tegak di atas hukum persamaan dan toleran.
Lebih jauh, Washington Irving dalam salah-satu karya monumentalnya “Tales of Alhambra ” menggambarkan Andalusia sebagai peradaban agung yang mencintai ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Irving (Ahmed, 1997 :188-189) bertutur :
“Kota-kota Spanyol Arab menjadi pemukiman seniman-seniman Kristen, mendorong mereka menghasilkan karya seni berguna. Universitas Toledo, Cordoba, Sevilla, dan Granada dibanjiri mahasiswa berwajah pucat (kulit putih) dari berbagai kawasan lain untuk mengenalkan diri mereka Arab dan harta karun masa lalu. ”
Andalusia kala itu, seperti penuturan Irving, menjadi surga ilmu pengetahuan, seni dan sastra bagi orang-orang dan mahasiswa dari penjuru dunia, termasuk Eropa.
Perpustakaan Universitas Cordoba memiliki koleksi 400. 000 volume buku, yang jauh lebih banyak dari koleksi perpustakaan di seluruh dunia, saat itu. Setelah, sebelumnya, perpustakaan Universitas Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol.
Di Andalusia, Ibn Rusyd, seorang dosen di Universitas Cordoba dan Toledo menjadi intelektual yang sangat terkemuka.
Kelak, murid-murid Ibn Rusyd yang dari Eropa menjadi inspirator sekaligus fasilitator gerakan renaisans di Eropa. Dalam lidah orang Eropa, Ibn Rusyd dilafalkan menjadi Aveross.
Di Andalusia pula, guru sufi terkemuka, Syaikh Al Akbar Ibn Araby menghasilkan karya-karya magnum opus.
Kisah tentang masa emas Andalusia mengingatkan kita pada mimpi Ayatullah Khomeini. Dalam sebuah kesempatan, Khomeini berpidato :
“saya sungguh-sungguh berharap bahwa manusia akan mencapai suatu tingkat kematangan sedemikian rupa, sehingga ia menjelmakan senapan-senapan mesin menjadi pena-pena. Karena pena dan ilmu pengetahuan telah melayani kemanusiaan, sedangkan senapan mesin tidak.
Artinya, peradaban menjadi anggun ketika goresan pena yang di dalamnya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra mendapatkan ruang paviliun.
Sementara itu, peradaban menjadi menjijikkan dan penuh penindasan ketika senapan mesin menjadi alat untuk meneguhkan kekuasaan.