Keluarga Rasulullah, seringkali disebut sebagai Banu Hasyim. Dinisbatkan pada kaket buyut beliau, Hasyim bin Abdi Manaf. Hasyim bernama asli Amrun, dinamakan Hasyim karena beliau mempunyai kebiasaan melumatkan (hasyama) roti keras atau gandum menjadi bubur guna memberi makan keluarga besarnya.
Hasyim mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam kaum dan masyarakatnya. Karena kelemahlembutan, kedermawanan dan kedudukannya sebagai pejabat siqoyah dan rifadah. Pejabat yang bertugas menyiapkan minuman dan makanan bagi para haji. Hasyim pula yang memulai budaya perdagangan pada dua musim, musim dingin dan musim panas.
Suatu saat ketika hendak berdagang ke daerah Syam, beliau singgah di Madinah dan bersua dengan Salma. Seorang janda Banu ‘Adiy bin Najjar. Beliau adalah janda dari Uhaihah bin al Jallah dari suku Aus. Kedudukan Salma yang tinggi, menjadikan ia menceraikan suami terdahulu. Ketika Hasyim tertarik dan hendak menikahinya, Salma tahu kedudukan, kemuliaan dan nasab Hasyim. Sang pemimpin suku Quraisy.
Hasyim meneruskan perjalanan ke Syam, sedangkan Salma mengandung. Malang tak dapat ditolak, Hasyim meninggal di daerah Gaza, Palestina. Sedangkan setelah melahirkan, Salma memberi nama anaknya Syaibah.
Kedudukan sebagai pejabat Quraisy, diwasiatkan kepada saudaranya, Muthalib. Setelah beberapa tahun, Muthalib mencari keponakannya di Madinah. Menjumpai Salma, Muthalib mengutarakan maksud agar kiranya Syaibah dapat turut serta ke Mekkah. Mengingat ialah, pewaris Hasyim sebenarnya.
Salma sebelumnya keberatan, tapi beliau menyadari sepenuhnya bahwa takdir Syaibah adalah menjadi pemimpin bagi kaumnya. Sesampai di Mekkah, kaum Quraisy menyangka Syaibah adalah budak yang dibeli oleh Muthalib. Maka, ia dipanggil Abdul Muthalib (budak Muthalib), walaupun Muthalib marah dan menolak, namun nama itu telanjur kondang.
Abdul Muthalib adalah sosok yang mulia, dermawan dan lemah lembut. Dialah orang yang sering memberi makan burung-burung di kawasan Mekkah. Di antara riwayat yang menyatakan kemuliaan beliau adalah, sebagaimana cerita Imran Husain, ketika Husain sebelum masuk Islam yang menyatakan kepada Rasulullah, “Ya Muhammad, Abdul Muthalib lebih baik bagi kaumnya dibanding engkau, dia memberi kaumnya makan.”
Kejadian terpenting dalam kehidupan dan kepemimpinan Abdul Muthalib di Mekkah adalah peristiwa penyerangan Mekkah oleh Abrahah dan penggalian kembali sumur Zamzam.
Seperti diriwayatkan oleh Baihaqiy dalam Dalail al–Nubuwwah, dari Ali bin Abi Thalib. Bahwa Abdul Muthalib berkali-kali bermimpi ditemui oleh sosok yang memerintahkannya menggali sumur. Setelah beberapa saat dan nampaklah seakan mimpi itu benar dengan petunjuk jelas akan letaknya, maka Abdul Muthalib segera menggali di tempat yang ditentukan. Abdul Muthalib menggali bersama anak satu-satunya ketika itu, Al Harits. Ketika menjumpai sumber air, Abdul Muthalib bertakbir. Segeralah kaum Quraisy tahu bahwa Abdul Muthalib yang sebelumnya mereka acuhkan, telah mendapat sumber air.
Kaum Quraisy yang berkerumun kemudian ngotot agar mereka bisa ikut memiliki kepemilikan sumur tua tersebut. Perdebatan terjadi sengit, sementara kaum Quraisy bersikukuh hendak ikut memiliki. Sedangkan Abdul Muthalib berniat, agar sumur bisa digunakan untuk kepentingan umum, seperti penyediaan air minum bagi para haji.
Ketika musyawarah buntu, mereka pun bersepakat untuk membawa sengketa itu ke seorang dukun bijak dari Bani Sa’d, Hudzaim. Tempatnya yang berada di timur Syam. Abdul Muthalib ditemani 20 orang dari Banu Abdi Manaf, sedangkan kaum Quraisy juga membawa 20 orang dari perwakilan beberapa kabilah.
Ketika mendekati Syam, dalam gurun yang tandus. Perbekalan air rombongan Abdul Muthalib telah tandas. Mereka kehabisan perbekalan air. Maka, mereka pun meminta bantuan dari rombongan kaum Quraisy. “Sesungguhnya kami beruntung, dan kami takkan memberi kalian air, karena akan mengalami kejadian seperti kalian (kehabisan air jika kami berikan air kami).”
Abdul Muthalib bertanya pada kaumnya, “Apa pendapat kalian, apa yang harus kita perbuat?.” “Kami mengikuti apapun perintahmu, maka perintahkanlah kami apa yang anda kehendaki,” jawab kaumnya pasrah. Ada usulan, agar selama mereka mempunya kekuatan, maka mereka harus menggali lubang untuk kuburnya.
Maka jika seseorang telah meninggal, maka saudara lain yang masih hidup agar meletakkan jasad saudaranya yang telah meninggal ke lubang yang telah digalinya. Begitu seterusnya, hingga tersisa seorang saja dari mereka. Ini lebih baik, menurut mereka, daripada jasad mereka harus tergeletak tak terurus semua. Mereka pun duduk sambil menunggu maut.
Abdul Muthalib bangkit, “Wallah, sesungguhnya kita takkan menyerah pada maut. Kita harus terus berjuang dan berusaha, kita pasti mampu. Semoga Allah memberi kita air di tempat lain. Ayolah kita bergerak.”
Maka Abdul Muthalib bergerak menuju tunggangannya dan menaikinya. Ketika hendak berangkat, tetiba air menyembur dari sisi bawahnya. Bertakbirlah Abdul Muthalib, disusul oleh segenap rombongannya.
Mereka pun minum beramai-ramai. Abdul Muthalib pun mengundang kabilah Quraisy yang telah acuh kepada mereka, kiranya rombongan itu mengisi air mereka agar tidak kehabisan perbekalan air minum. “Kami telah diberi minum oleh Allah,” ujar Abdul Muthalib.
Mereka pun mengakui keutamaan Abdul Muthalib, sehingga memutuskan untuk menyerahkan urusan Zam-zam kepada Abdul Muthalib. “Wahai Abdul Muthalib, Tuhan yang telah memberi engkau air di tengah padang pasir inilah yang telah memberimu Zam-zam.” Mereka pun kembali ke Mekkah dengan tenang.
Inilah keutamaan kakek buyut Rasulullah. Bukankah kita belajar, bahwa hanya dari bibit yang unggul-lah, akan tumbuh tumbuhan yang unggul. Begitu juga dengan sebaliknya.