Khaled Abou el-Fadl adalah seorang pakar hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles) yang lahir di Kuwait pada tahun 1963. Sejak usia 12 tahun, Khaled sudah hafal al-Quran. Pada tahun 1982, Khaled menuju Amerika untuk melanjutkan studi ilmu hukum di Yale University.
Tujuh tahun kemudian, Khaled menamatkan studi Magister Hukum di University of Pennsylvania. Baru pada tahun 1999, Khaled mendapat gelar Ph.D dalam bidang hukum Islam dan dipercaya sebagai profesor hukum Islam pada School of Law, UCLA.
Melalui bukunya yang berjudul Speking in God’s name: Islamic Law, Authority and Women (2001), Khaled berusaha menjelaskan secara akademis pendekatan hermeneutik dalam kajian teks. Poin utamanya adalah hubungan antara Teks (Text), Penulis (Author), dan Pembaca (Reader) dalam dinamika pemikiran hukum Islam dan pemikiran Islam secara umum.
Kegelisahan akademik Khaled bermula dari fatwa yang dikeluarkan al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhus al-‘Imiyyah wa al-Ifta’ atau Council for Scientific Research and Legal Opinion (CRLO), sebuah lembaga fatwa resmi di Saudi Arabia. Menurutnya, lembaga tersebut terjebak pada sikap otoritarianisme atas nama tuhan dengan fatwanya terkait hadis-hadis misoginis.
Larangan wanita untuk mengeraskan suara dalam berdo’a, mengunjungi makam suami, mengendarai mobil sendiri, dan kewajiban yang mutlak untuk tunduk pada suami adalah sebagian kecil produk lembaga fatwa tersebut, .
Khaled beranggapan bahwa umat Islam harus terhindar dari sikap otoriter dalam menafsirkan teks melalui reinterpretasi secara kritis terhadap produk tafsir hukum Islam. Khaled tidak sepakat dengan penafsiran atas hadis-hadis tersebut dan mengajak kita semua mengkritisinya.
Khaled menegaskan bahwa hanya Tuhan, Al-Quran, dan nabi yang menjadi pemegang otoritas dalam Islam. Selain ketiga pihak ini, mereka hanya para penafsir yang berusaha menjelaskan perintah Tuhan, Al-Quran, dan Nabi.
Bagi Khaled, Tuhan sebenarnya tidak ingin merendahkan derajat wanita, tetapi para pembaca (reader) itu sendiri yang menafsirkan firman Tuhan sehingga merendahkan perempuan.
Pembacaan semacam ini menunjukkan penafsiran keagamaan yang sangat bias gender atau terlalu memihak laki-laki. Proses penetapan makna merupakan hasil interaksi antara pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader) yang berarti bahwa penetapan makna harus melibatkan proses negosiasi dari ketiga aspek tersebut secara seimbang tanpa ada dominasi dari salah satu pihak.
Problem yang hendak dijelaskan oleh Khaled ini dilatarbelakangi munculnya otoritarianisme dalam proses penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Hal tersebut tampak dengan adanya sikap ulama yang memiliki otoritas dalam membentuk hukum Islam, tetapi sewenang-wenang dalam melakukan monopoli makna dan maksud atas teks.
Mereka juga melakukan klaim sebagai pemilik otoritas makna atau pelaksana perintah Tuhan, serta menggunakan kekuasaan Tuhan untuk berbicara, bertindak, dan bersikap atas nama Tuhan.
Khaled menjelaskan bahwa hadis yang memiliki konsekuensi moral sosial dan konsekuensi normatif yang besar membutuhkan ‘jeda ketelitian’. Jeda ketelitian adalah berhenti sejenak untuk merenungkan kedudukan dan dampak dari hadis-hadis tersebut, serta meneliti sejauh mana Nabi benar-benar memainkan perannya dalam proses kepengarangan yang melahirkan hadis tersebut.
Dalam meneliti hadis dan menghindarkan pada prinsip-prinsip otoriter, maka diharuskan untuk berpegang pada lima prinsip syarat keberwenangan yaitu kejujuran, pengendalian, kesungguhan, kemenyeluruhan dan rasionalitas.
Khaled kemudian mengkritik produk-produk hukum fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga fatwa resmi CRLO di Saudi Arabia. CLRO banyak menjadikan hadis-hadis misoginis sebagai dasar dalam menentukan hukum semisal hadis tentang sujud pada suami dan menjilati bisulnya (HR Ahmad 12153).
Dari hasil kajiannya, matan hadis tersebut strukturnya janggal karena sangat tidak mungkin Nabi membahas teologi Islam dengan cara yang tidak sistematis. Pertanyaan yang diajukan kepada Nabi adalah dalam konteks penghargaan yang ditujukan kepada beliau, tetapi jawabannya adalah penghormatan terhadap suami. Dari sini, tampak adanya asosiasi simbolis yang diciptakan di antara status Nabi dan status suami.
Hadis tersebut bertentangan dengan ayat Al-Qur’an mengenai kehidupan pernikahan dan bertentangan dengan riwayat-riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.
Dengan mengkaji sistem masyarakat patriakhi Arab saat itu, sangat mungkin hadis yang konteksnya adalah larangan Rasulullah untuk bersujud kepadanya, mengalami penambahan keharusan istri untuk bersujud kepada suami, bahkan muncul tambahan tentang bisul, punggung onta dan sebagainya.
Selanjutnya, Khalid juga mengkritik hadis tentang membuat suami dan Tuhan tetap gembira dan membawa kita masuk surga (HR Ahmad 21085), yang dijadikan dalil ketundukan istri secara absolut pada suami agar mendapat ridhanya.
Hal ini, bagi Khalid, bertentangan dengan semangat al-Qur’an tentang cinta, kasih sayang, persahabatan, dan perempuan saleh yang taat pada Allah, bukan pada suami sepenuhnya (QS Al-Ahzab 35). Konsep pernikahan juga tidak menghendaki adanya pengabdian membabi buta terhadap suami, akan tetapi kasih sayang dan kemitraan.
Dari penelusuran lebih lanjut terhadap hadis-hadis terkait, terdapat salah seorang perawi bernama Ibnu Luhay’ah yang dianggap tidak terpercaya. Selain itu, hadis tersebut tergolong hadis ahad, termasuk hadis-hadis terkait sebagai hadis penguat. Maka, hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau prinsip dasar.
Secara keseluruhan, Nabi Muhammad tidak mungkin mengeluarkan riwayat yang menurunkan derajat perempuan. Hal ini karena nabi sendiri dalam kehidupannya senantiasa menunjukkan teladan yang baik terhadap istri dan wanita disekitarnya.
Teks-teks hadis yang menyudutkan perempuan serta hasil pemahamannya selama ini memiliki dampak yang besar sehingga wanita dianggap oleh masyarakat sebagai makhluk yang memiliki kekurangan dan harus berada di bawah laki-laki.