Hari ini, muslim Indonesia mana yang tidak mengenal sosok karismatik nan rendah hati, K.H. Mustofa Bisri atau yang kerap disapa dengan Gus Mus. Keluwesan dan kedalaman ilmunya seakan tak terbatas. Tidak saja mampu mengayomi santri-santri yang berada disekelilingnya, akan tetapi juga seluruh muslim di Indonesia, terutama Jawa. Namanya yang santer dibicarakan orang, seolah telah sejajar dengan ketenaran Sang Ayahanda K.H. Bisri Mustafa. Salah seorang ulama kenamaan asal Rembang yang sekaligus juga merupakan ahli tafsir di tanah Nusantara.
Nama Bisri Mustafa sendiri pada awalnya bukanlah nama asli dari penulis Tafsir Al-Ibriz itu. Memiliki nama asli Mashadi, pasca kepulangannya menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 namanya berganti Bisri Mustafa. Lahir pada tahun 1915 M di Kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah, beliau dikenal sebagai intelektual muslim yang demokratis, moderat, berperan dalam dunia politik dan organisasi, serta produktif dalam menulis karya. Ayahnya adalah KH. Zainal Mustofa, sedangkan ibunya Siti Khodijah.
Tanah Rembang adalah tempat pertama Bisri Mustofa bergulat dengan ilmu. Mendapat pendidikan dasar dari sekolah jawa “Ongko Loro” (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk bumi putera), beliau kemudian meneruskan tradisi menekuni ilmu-ilmu keislaman di Pondok Pesantren Kasingan asuhan KH. Cholil. Selain itu, beliau juga pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Tremas, asuhan KH. Dimyati, meski hanya sedekar tabarukkan (minta berkah) dari Sang Kyai.
Tidak hanya di tanah Jawa, perjalanannya dalam menapaki ilmu-ilmu keislaman juga sampai di tanah suci Makkah. Di tanah kelahiran Nabi itu, beliau belajar kitab Lubbil Ushul, ‘Umdatul Abrar, Tafsir al-Kasysyaf pada Syaikh Baqir, kitab hadis Shahih Bukhori dan Shahih Muslim pada Syaikh Umar Hamdan al-Maghriby, kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir, al-Aqwaal al-Sunnan al-Sittah pada Syaikh Ali Maliki, kitab Ibnu Aqil pada Sayid Amin, kitab Minhaj Dzawin Nadhar pada Syaikh Hassan Massath, kitab Tafsir Jalalain pada Sayid Alwi, dan kitab Jam’ul Jawami’ pada KH. Abdullah Muhaimin.
Bisri Mustofa wafat pada hari Rabu, I7 Februari 1977 M di Rembang. Beliau meninggalkan banyak karya dalam bentuk tulisan. Pada bidang tafsir, beliau menulis Tafsir al-Ibriz, dan Tafsir Surat Yasin. Pada bidang hadits, al-Azwad al-Musthofawiyah dan Syarh al-Mandhomatul Baiquny. Pada bidang aqidah, Rawihatul Aqwam dan Durarul Bayan. Pada bidang akhlak, Washaya al-Abaa’ lil Abna dan Qashidah al-Ta’liqatul Mufidah. Pada bidang sejarah, an-Nibrasy, Tarikhul Anbiya, dan Tarikhul Awliya.
Bisri Mustofa dikenal sebagai salah satu ahli tafsir berpengaruh di Nusantara melalui karya monumentalnya yang berjudul al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz yang berjumlah 30 juz. Beliau menulis tafsir tersebut selama kurang lebih 4 tahun (1957 M-1960 M) di Rembang. Setelah dirasa telah usai, beliau pun kemudian menyerahkan tafsirnya untuk ditashih oleh KH. Arwani Amin, KH. Abu Amar, KH. Hisyam, dan KH. Sya’roni Ahmadi.
Penulisan tafsir tersebut konon dilatarbelakangi oleh Al-Qur’an yang telah banyak diterjemahkan oleh beberapa ahli terjemah dengan bahasa yang beragam. Seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Indonesia. Bahkan juga diterjemahkan menggunkan bahasa daerah, seperti bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Tujuannya tidak lain adalah agar umat Islam dari berbagai penjuru menjadi paham tentang makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Berangkat dari hal tersebut, kemudian lahirlah sebuah kitab bernama Tafsir al-Ibriz yang ditulis menggunakan bahasa Jawa aksara Arab pegon.
Sebagaimana tertuang dalam muqaddimahnya beliau menulis bahwa “Al-Qur’an al-Karim sampun katah ingkang dipun terjemah daning para ahli terjemah, wonten ingkang mawi boso Walandi, Inggris, Jerman, Indonesia lan sanes-sanesipun. Malah ingkang mawi tembung daerah, jawi, sunda, lan sakpanunggalanipun ugi sampun katah. Kanti terjemah-terjemah wau, umat Islam saking sedoyo bongso lan suku-suku lajeng katah ingkang saged mangertosi makna lan tegesipun.” (Al-Qur’an sudah banyak diterjemahkan oleh para ahli terjemah, ada yang menggunakan bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Indonesia dan bahasa yang lain. Malah ada yang menggunakan bahasa daerah Jawa, Sunda dan bahasa lain yang sudah banyak. Berdasarkan terjemah-terjemah tersebut, umat Islam dari seluruh bangsa dan suku mampu memahami makna dan maksud dari Al-Quran tersebut).
Selain itu, tujuan lainnya adalah sebagai bentuk ta’dzim terhadap kaum muslimin, khususnya kaum muslim Jawa. Al-Quran dengan begitu akan lebih mudah dipahami oleh kaum muslim yang menggunakan bahasa Jawa. Beliau menuturkan dalam muqaddimahnya bahwa “Kangge nambah khidmah lan usaha ingkang sae lan mulyo puniko, dumateng ngersanipun para mitra muslim ingkang mangertos tembung daerah jawi, kawulo segahaken terjemah tafsir al-Qur’an al-Aziz mawi cara ingkang persaja, enteng, serto gampil pahamanipun”
Sumber penafsiran yang digunakan dalam tafsir al-Ibriz sendiri adalah lebih cenderung bi al-Ra’yi karena dalam mejelaskan makna suatu ayat al-Qur’an, beliau, KH. Bisri Mustafa kerap menggunakan banyak ijtihad. Walaupun pada beberapa tempat beliau menafsirkan ayat dengan menggunakan bi al-ma’tsur atau riwayat-riwayat. Sedangkan dalam bentuk aplikasi penafsirannya lebih condong ringkas (ijmali).
Kenyataan tersebut setidaknya dapat dilihat dari penjelasannya yang sangat umum dan tidak bertele-tele sehingga mudah untuk dipahami oleh para pembacanya. Akan tetapi, pada beberapa tempat terkadang beliau juga menjelaskan makna suatu ayat dengan uraian-uraian penafsiran yang cukup panjang dan penjelasan deskriptif. Lain halnya, jika dilihat dari penyusunannya yang mengikuti mushaf utsmani yaitu dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas serta menafsirkan Al-Qur’an secara lengkap 30 juz, maka tafsir al-Ibriz bisa dikatakan mengikuti metode tahlili.
Rujukan yang digunakannya dalam menulis tafsir al-Ibriz adalah kitab-kitab tafsir mu’tabarah. Seperti, Tafsir Jalalain, Tafsir Baidhowi, Tafsir Khozin, dan lain sebagainya. Sebagaimana dikatakan dalam muqaddimahnya: “Dene bahan-bahanipun terjemah tafsir ingkang kawulo suguhaken puniko, amboten sanes inggih namung metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah kados Tafsir Jalalain, Tafsir Baidhowi, Tafsir Khozin, lan sakpanunggalinipun”
Setiap kitab tafsir umumnya memeiliki karakteristik tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan kitab yang lainnya. Begitu juga dengan Tafsir al-Ibriz yaitu Al-Qur’an ditulis di tengah dengan makna gandul, terjemah tafsirnya ditulis di samping dengan menggunakan tanda nomor ayat yang terletak di akhir, sedangkan nomor terjemah terletak di awal, keterangan-keterangan lain menggunakan tanda: tanbih, faidah, muhimmah.
Selain itu, beberapa karakteristik lain yang tidak disebutkan dalam kitabnya, yaitu: menyebutkan jumlah ayat dan tempat surat diturunkan serta pengecualian pada ayat yang tidak diturunkan di tempat yang sama, terkadang menyebutkan arti dan nama lain surat, ditulis dengan urutan mushaf ustmani, menjelaskan nasikh mansukh dengan istilah tanbih, walaupun terkadang tanbih digunakan untuk peringatan. Menjelaskan asbab nuzul dengan istilah faidah, walaupun terkadang istilah faidah digunakan untuk nasihat. Menjelaskan kisah-kisah para nabi, umat terdahulu, atau peristiwa hari akhir dengan istilah Qishosh dan Hikayat.
Tafsir al-Ibriz mendapatkan pujian dari beberapa ulama seperti Hasby Ash-Shiddiqi, Khadijah Nasution dan sarjana belanda Martin Van Bruinessen. Ada juga seorang profesor muda ahli tafsir dan hadis keturunan India kelahiran singapura yang bernama Muhammad Shahab Ahmed yang menyatakan ketertarikannya mempelajari Tafsir al-Ibriz. Bahkan, beliau merekomendasikan Tafsir al-Ibriz ini sebagai salah satu koleksi di perpustakaan Universitas Harvard.
Wallahu A’lam.