Ahmad bin Hanbal kedatangan seorang tamu seorang lelaki baik (shalih). Karenanya, ia sangat ingin anaknya, Shalih, juga bisa bertemu dengan tamu tersebut. Sayang, saat itu, Shalih sedang tidak di rumah.
Keesokan harinya, Ahmad bin Hanbal menyuruh seseorang untuk mengabari anaknya dan menyuruhnya pulang. Mendapat panggilan dari sang ayah, Shalih pun pulang ke rumah.
Di hadapan ayahnya, ia bertanya, “Ayah, mengapa engkau menyuruh orang untuk mencariku?”.
Ahmad bin Hanbal menceritakan ihwal tamu yang kemarin mendatanginya. Ia juga menyatakan keinginannya agar Shalih juga bertemu dengannya.
Hari itu juga, di siang bolong yang sangat panas, Shalih duduk-duduk di rumah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang datang bertamu. Tubuhnya hitam, tanda terpapar terik matahari. Ia hanya memakai pakaian berbahan bulu tanpa baju dalam. Ada sepotong kain di atas kepalanya.
Anehnya, tamu ini tidak seperti umumnya orang yang sedang bepergian. Ia sama sekali tidak membawa tas, wadah air, dan peralatan khas para musafir.
“Assalamua’alaikum,” ucap lelaki itu.
Entah karena apa, meski belum bertemu dengan tamu ini, Shalih sudah merasa begitu nyaman dengan kehadirannya. Sejurus kemudian, ia menjawab salam dan membukakan pintu serta mempersilakannya masuk.
“Dari mana Anda?,” tanya Shalih kepada si tamu.
Si tamu menjawab bahwa ia berasal dari arah timur dan akan pergi menuju pesisir. Ia juga menjelaskan bahwa ia berkenan mampir ke daerah tempat Shalih itu karena memang ada Shalih di sana.
“Dengan hanya seperti ini, kamu benar-benar akan menempuh perjalanan sejauh itu?,” tanya Shalih agak tidak percaya.
Si tamu mengiyakan.
Shalih bingung. Di satu sisi ia sangat ingin memberi tamunya itu uang. Dan di sisi yang berbeda, apalah daya, dompet sedang tidak bersahabat. Akhirnya, ia masuk ke dalam kamar untuk mengambil empat potong roti yang ia miliki dan memberikannya kepada si tamu.
“Maaf, saya tidak punya uang sama sekali. Hanya ini yang saya miliki,” kata Shalih mengabarkan.
Si tamu itu bertanya apakah roti itu akan diberikan kepadanya. Shalih mengiyakan. Si tamu lantas menegaskan bahwa roti itu akan bisa menemani perjalanannya ke Raqqah, suatu daerah yang berada di Suriah sekarang.
Tak lupa, sebelum undur diri dan melanjutkan perjalanan, si tamu mendoakan Shalih. Setelah kejadian itu, ayah Shalih, Ahmad bin Hanbal sangat sering menyebut-nyebut si tamu itu, tanda bahwa si tamu benar-benar orang yang baik.
Kisah di atas tertulis dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Terbaca di atas, betapa Ahmad bin Hanbal ingin mempertemukan anaknya dengan si tamu.
Tidak jelas apa motif yang melatarbelakangi keinginan Ahmad bin Hanbal untuk mempertemukan itu. Analisis penulis, itu karena memang si tamu adalah orang baik. Ahmad bin Hanbal ingin anaknya bisa ngalap berkah kepada si tamu. Juga, ia ingin tamu terrsebut bersedia mendoakan anaknya.
Tidak ada manusia yang mengetahui doa siapa yang akan dikabulkan. Oleh karenanya, meminta doa kepada para ulama/orang shalih adalah sebuah kebaikan yang layak untuk dilakukan.
Dalam konteks kekinian, para orangtua hendaknya sering mengajak anaknya untuk sowan kepada para ulama yang masih hidup dan berziarah kepada ulama yang telah meninggal dunia. Harapannya, semoga dengan itu, Allah berkenan menjadikan anak kita orang yang shalih. Amin. Wallahu a’lam.
Sumber Kisah:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.