Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah keempat setelah Utsman bin Affan. Keponakan sekaligus menantu Rasulullah ini merupakan salah satu sahabat yang dikenal karena kecerdasan serta kedalaman ilmunya. Kecerdasan dan kedalaman ilmu itulah yang membuat Rasulullah menjulukinya sebagai ‘gerbangnya ilmu’.
Kecerdasan serta kedalaman ilmu yang dimiliki Ali bin Abi Thalib ini juga tampak ketika menjabat sebagai khalifah. Sebagai pemimpin, tentu tidak semua rakyat yang dipimpinnya puas dan senang akan kinerjanya. Ada kalanya ia mendapat kritik pedas dari rakyatnya. Akan tetapi, berbekal kecerdasan dan ilmu, ia dapat dengan mudah menepis kritikan-kritikan pedas yang diarahkan kepada dirinya.
Dalam Siraj al-Mulk, Abu Bakr at-Thurthusyi menceritakan bahwa pernah suatu waktu ada seseorang bernama ‘Ubaidah al-Sulaimani, bertanya kepada Ali yang kala itu tengah menjabat sebagai khalifah:
“Wahai amirul mu’minin, mengapa Abu Bakar dan Umar ditaati rakyatnya, padahal wilayah kekuasaan mereka tak lebih dari sejengkal yang kemudian terus meluas? Lalu saat Utsman dan engkau meneruskan kekhalifahan, rakyat tak lagi taat, sehingga wilayah kekuasaan yang sudah terbentang luas ini terasa lebih sempit dari sejengkal bagi kalian? ”
Mendengar pertanyaan Ubaidah yang terkesan mengejek itu Ali tidak lantas marah, justru ia menjawabnya dengan satire cerdas yang sangat menohok:
“Rakyat Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang yang seperti diriku dan Utsman, sedangkan hari ini, rakyatku ya orang-orang sepertimu ini”
Kisah di atas, selain menunjukkan kecerdasan Ali bin Abi Thalib sebagai seorang pemimpin dalam hal menjawab kritikan, juga dapat menjadi pengingat sekaligus nasihat bagi kita sebagai rakyat untuk tidak melulu menyalahkan waktu dan keadaan. Suatu zaman menjadi buruk bukan karena dirinya sendiri atau karena pemimpin yang tengah berkuasa saja, kerusakan suatu zaman disebabkan karena rusaknya tingkah laku dan perbuatan kita sendiri.
‘Abdul Malik bin Marwan, kalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 685 sampai 705 pernah berkata:
مَا أَنْصَفْتُمُونَا ياَ مَعْشَرَ الرَّعِيَّةِ، تُرِيْدُوْنَ مِنَّا سِيْرَةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَلَا تَسِيْرُونَ فِيْنَا وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ بِسِيْرَتِهِمَا، نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يُعِيْنَ كُلٌّ عَلَى كُلٍّ
“Betapa tidak adilnya kalian kepada kami wahai rakyat sekalian. Kalian menginginkan agar kami bisa berlaku seperti Abu Bakar dan ‘Umar sedangkan kalian sendiri tidak berlaku seperti mereka berdua dalam menyikapi kami, termasuk terhadap diri kalian sendiri. Semoga Allah menolong kita semua atas segala hal.”
Kita sering sekali menjadikan pemimpin atau pemerintahan kita sebagai sebab dari rusaknya moral masyarakat, padahal tidak ada sesuatu yang lebih bisa merusak sebuah individu atau masyarakat, kecuali individu atau masyarakat itu sendiri. Kendati pun betul bahwa pemimpin atau pemerintahan kita buruk, kita harus selalu ingat, sebagaimana petuah yang dikutip at-Thurthusyi:
أَعْمَالُكُمْ عُمَّالُكُم، كَمَا تَكُوْنُوا يُوَلِّى عَلَيْكُمْ
“Amalan kalian menentukan penguasa kalian. Sebagaimana kondisi kalian maka begitu pula kondisi penguasa kalian”
Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. Jika rakyatnya baik, dari sana akan lahir pemimpin-pemimpin yang baik pula, dan begitu pun sebaliknya. Maka, pertama-tama yang harus kita perbaiki, adalah diri kita sendiri.
(AN)