Ketika Adikku Bertanya Tentang Kekerasan Berbasis Gender

Ketika Adikku Bertanya Tentang Kekerasan Berbasis Gender

Suatu malam adikku bertanya tentang kekerasan berbasis gender. Begini caraku menjawab rasa ingin tahunya.

Ketika Adikku Bertanya Tentang Kekerasan Berbasis Gender

“Kak, kekerasan berbasis gender itu apa sih? Kok aku baca di internet malah seringnya membahas tentang kekerasan seksual atau kekerasan pada perempuan ya?” Aku yang sedang duduk termenung menghadap jendela di kamarku terkejut mendengar pertanyaan dari adikku.

Aku memutar badanku menghadap adikku yang sedang berdiri di ambang pintu. “Yang kamu tahu tentang kekerasan berbasis gender emang apa saja, dek?”

I have no idea at all, kak. Makin banyak baca dari sumber yang kurang pasti malah bikin aku makin bingung.” Jawabnya sembari berjalan mendekatiku.

“Hmm… kakak coba jelasin dari yang kakak tahu ya. Awalnya ada situasi yang biasa kita sebut dengan gender inequality, nah dari situasi ini biasa timbul suatu aksi yang bisa berupa gender based violence. Kekerasan berbasis gender berarti segala bentuk kekerasan yang salah satu faktor pemicu atau penyebabnya adalah gender seseorang. Kekerasan ini terjadi karena ada relasi antar gender yang timpang, gendernya dianggap lebih rendah atau lebih mudah diserang ketimbang gender yang lainnya. Oh iya sebelumnya kamu udah tahu belum apa itu gender?” Aku bergeser sedikit untuk memberi ruang untuk adikku duduk di sebelahku, serta mempersilakannya untuk duduk.

Adikku segera duduk di sebelahku dan menjawab, “Perempuan dan laki-laki?”

Well actually the meaning of gender jauh lebih luas daripada itu. Bahasan singkatnya gender itu jenis kelamin sosial. Berbeda dengan seks yang berupa identitas biologis terkait dengan kelamin, kita bisa melihat fisiknya. Kenapa sosial? Karena gender dapat diartikan sebagai peranan yang memunculkan perbedaan perilaku yang dibangun secara sosial. Kesalahan sosial dalam memaknai suatu identitas seks akan perannya dalam masyarakat sering kali menjadi ada tindak ketidakadilan atau diskriminasi. Seperti sifat-sifat feminim hanya untuk perempuan dan maskulin hanya untuk laki-laki, padahal feminim maupun maskulin ini merupakan suatu ekspresi yang bersifat relatif bagi perempuan dan laki-laki.”

“Jadi kalau laki-laki bisa mengalami kekerasan berbasis gender ini, lalu mengapa di internet hampir semuanya membahas kekerasan pada perempuan?”

“Kekerasan berbasis gender kan memang lebih rentan terjadi kepada gender yang dianggap lebih rendah. Nah, dalam kontruksi masyarakat kita memang laki-laki dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan, atau bisa kita sebut sebagai sistem patriarki. Jadi ya perempuan lebih sering terkena kekerasan berbasis gender ini. Kekerasan pada perempuan termasuk kekerasan berbasis gender cuma lebih spesifik menyebutkan gendernya.”

“Ada contoh spesifik kekerasan gender pada laki-laki gak kak?”

“Karena laki-laki dianggap lebih kuat dalam tatanan masyarakat, sering kali hukuman yang ia dapat saat ia melanggar suatu aturan bisa dibilang lebih berat. Misalnya seorang pelajar  laki-laki hukumannya harus lari keliling lapangan, sementara untuk perempuan hanya keluar dari kelas saja selama pembelajaran berlangsung.”

“Oh iya, tadi kakak kan bilang gender itu merupakan peran sosial dan ekspresi seseorang. Kalau kekerasan kepada orang transgender gitu bisa?”

“Bisa banget! Karena kekerasan berbasis gender ini kan luas banget maknanya, selama masih berkaitan dengan gender seseorang ya tetep bisa walaupun mungkin itu bisa dianggap sebagai suatu hal yang salah di mata kepercayaan orang lain.”

“Dari yang aku baca, banyak banget bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender tapi kebanyakan berupa kekerasan seksual yang aku ngerti. Nah ada juga yang yang bentuknya kekerasan psikis, ekonomi, sosial budaya. Itu gimana ya kak maksudnya?”

“Kekerasan psikis berbasis gender itu lebih mengarah ke aspek psikologis atau mental seseorang, yang jelas mengarah ke aspek gender orang tersebut ya. Misalnya permainan emosi, pelarangan, pengendalian, eksploitasi, pemaksaan. Kalau ekonomi bisa berupa pemerasan uang terhadap gender tertentu, memberi upah yang lebih sedikit pada gender tertentu, dan lain sebagainya. Untuk sosial budaya bisa seperti sunat perempuan, perkawinan paksa atau pernikahan dini. Bahkan kekerasan berbasis gender ini bisa secara online loh. Dampaknya pun gak hanya pada fisik saja”

“Serem juga ya kak kekerasan berbasis gender ini. Ternyata bisa banyak banget dampak negatifnya yang aku gak pernah kepikiran.”

“Yup. Untuk kekerasan yang masih bisa kita hindari, kita bisa menolak dengan tegas, menjauhi lingkungan yang tidak nyaman tersebut, dan menceritakan hal-hal tersebut kepada orang yang dipercaya. Jangan lupa juga kita sebisa mungkin saling tolong-menolong ya.”

Kami pun terus berbincang-bincang mengenai topik ini hingga satu persatu dari kami mulai menguap tanda mengantuk.

“Terima kasih banyak kak, aku seneng banget sama obrolannya. Membuka pikiran banget.” Adikku tersenyum seraya memelukku dengan erat.

“Terima kasih kembali adek, aku yang seneng bisa diskusi gini sama kamu.” Aku balas memeluknya dengan senyuman pula di wajahku.

 

Tulisan ini adalah hasil karya dari peserta penerima beasiswa mentoring pada program Peaceful Digital Storytelling, pelatihan kampanye cerita baik dan positif bagi siswa SMA yang didukung oleh US Embassy dan Wahid Foundation.