Nouhaila Benzina dan Sejarah Baru Muslimah di Piala Dunia Perempuan

Nouhaila Benzina dan Sejarah Baru Muslimah di Piala Dunia Perempuan

Nouhaila Benzina mengajarkan kepada semua orang bahwa hijab bukan penghalang bagi perempuan untuk bisa berprestasi.

Nouhaila Benzina dan Sejarah Baru Muslimah di Piala Dunia Perempuan
Nouhaila Benzina, perempuan berhijab pertama di Piala Dunia. Foto: Twitter @AttackingThird

Sejarah baru tercatat di dunia sepak bola. Nouhaila Benzina, pemain timnas perempuan Maroko, berhasil mencatatkan diri sebagai pemain berhijab pertama yang bermain di Piala Dunia. Ia menorehkan catatat bersejarah itu saat tampil di perhelatan Piala Dunia Perempuan (FIFA Women’s World Cup 2023) yang berlangsung di Australia-Selandia Baru.

Profil Nouhaila Benzina

Nouhaila Benzina lahir di Kenitra, pada 11 Mei 1998. Perempuan bertinggi 1,73 meter bermain untuk klub milik tentara kerajaan Maroko, ASFAR sejak 2016. Ia menjadi salah satu kunci sukses tim plat merah ini meraih gelar juara pada Liga Maroko musim lalu.

Sebelum memperkuat Timnas senior, Ia mencatatkan empat penampilan untuk Timnas Maroko U-20. Di timnas senior, pemain yang berposisi sebagai bek tengah ini telah mencatatkan 17 penampilan.  Ia berhasil membantu pasukan Singa Atlas menjadi juara pada UNAF Women’s Tournament 2020 (turnamen setingkat Piala AFF di Asia Tenggara) dan runner-up pada ajang Women’s Africa Cup of Nations 2022.

Perempuan berusia 25 tahun ini resmi menjadi pemain berhijab pertama di Piala Dunia saat tampil dalam pertandingan kedua Grup H antara Maroko Vs. Korea Selatan, Minggu (30/7) lalu. Dalam pertandingan yang dimenangkan oleh Maroko dengan skor tipis 1-0 itu, ia tampil sejak menit pertama. Sebelumnya, saat Maroko takluk 0-6 dari Jerman dalam pertandingan pertama grup H, Benzina hanya duduk di bangku cadangan.

Usai catatan bersejarah yang ditorehkan oleh Benzina itu, Electronics Art (EA), salah satu perusahaan game elektronik, akhirnya menambahkan hijab sebagai salah satu aksesoris pemain dalam game yang dikembangkan oleh mereka, yaitu FIFA 23.

Dukungan Kerajaan Maroko

Tidak hanya Nouhaila Benzina, Timnas perempuan Maroko juga mencetak sejarah baru dengan mencatatkan penampilan pertama mereka di Piala Dunia Perempuan. Meski perjalanan mereka diawali dengan kekalahan telak dari Jerman, mereka mampu bangkit dan menyapu bersih sisa pertandingan babak fase grup.

Kemenangan atas Korea Selatan dalam pertandingan kedua babak fase grup merupakan kemenangan pertama di Piala Dunia bagi Timnas perempuan Maroko. Dalam pertandingan terakhir babak fase grup, mereka juga berhasil mengalahkan Kolombia dengan skor yang sama sekaligus memastikan diri melaju ke babak 16 besar. Tim asuhan Reynald Pedros ini akhirnya terpaksa harus angkat koper setelah ditekuk oleh Prancis dengan skor telak 0-4.

Catatan emas Benzina secara khusus, dan debut Maroko di Piala Dunia Perempuan juga berkat andil pihak Kerajaan Maroko yang menyokong secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik, pihak kerajaan tidak tanggung-tanggung dalam memfasilitasi pengembangan pemain muda dengan diadakannya pusat pelatihan serta kompetisi sepak bola perempuan.

Dikutip dari BBC, pada 2009, Raja Mohammed VI membangun akademi sepak bola nasional yang baru baik untuk pemain laki-laki maupun perempuan di sekitar Kota Sale. Akademi tersebut diharapkan bisa memperbaiki imej sepak bola sebagai olahraga yang ramah bagi semua gender. Proyek ini disusul dengan proyek yang tak kalah ambisius, yakni pembangunan Kompleks Pelatihan Raja Mohammed VI di Rabat yang menelan dana 65 juta Dollar AS. Kebijakan yang berafiliasi ke akar rumput juga diluncurkan. Ratusan lapangan berkualitas tinggi dibangun di seantero wilayah Kerajaan.

Federasi sepak bola Maroko, FRMF memprofesionalisasi liga perempuannya pada Agustus 2020. Mereka juga mengumumkan rencana pengadaan kompetisi U-17 dan kompetisi regional. Yang terbaru, dana yang digelontorkan FRMF untuk sepak bola perempuan mencapai 65 juta Dollar AS. Langkah-langkah strategis ini diambil dalam rangka untuk menambah jumlah pemain perempuan di negeri yang dihuni bangsa Barber itu.

Secara keagamaan, kebijakan mengenai pakaian di ruang publik juga lunak. Perempuan dewasa Maroko dibebaskan memilih untuk memakai atau tidak memakai hijab. Pihak Kerajaan tidak membuat kebijakan khusus tentang kewajiban maupun pelarangan memakai hijab di ruang publik.

Membuat Gerah Dua Kubu Ekstrem Sekaligus

Dalam cuitannya di Twitter, Mustafa Akyol, peneliti asal Turki, mengapresiasi kesuksesan Benzina yang berhasil menjadi perempuan berhijab pertama yang tampil di gelaran Piala Dunia. Ia juga menulis, jejak langkah Benzina akan membuat jengkel dua kelompok ekstrem berbeda: kubu sekularis Prancis dan kubu Islamis.

Cuitan ini berkaitan erat dengan fakta bahwa menjadi pesepak bola perempuan muslimah berhijab tidaklah mudah. Pesepak bola berhijab mendapat tentangan dari dua kubu sekaligus: kubu sekularis dan kubu islamis. Kubu sekularis akan mengatakan bahwa penggunaan hijab berlawanan dengan netralitas yang harus dijunjung di ruang publik. Sementara, kubu Islamis akan  mengkritik pesepak bola perempuan kendati telah menutup auratnya. Karena, bagi mereka, perempuan harus membatasi aktivitas di ruang publik.

Baca Juga: Ketika Gerak Perempuan Dibatasi: Belajar dari Pengalaman Perempuan di Timur Tengah

FIFA pernah mengeluarkan larangan memakai hijab bagi pemain sepak bola pada 2007 lalu. Aturan ini dirilis dengan dalih keamanan pemain sendiri. Setelah mendapat tekanan dari pelbagai pihak, FIFA resmi mencabut larangan ini pada 2014. Meski induk persepakbolaan dunia telah resmi mencabut larangan ini, peraturan kontroversial tak lantas hilang dari dunia sepak bola.

Pengadilan Administrasi Prancis dan Federasi Sepak bola Prancis (FFF) melarang pemain sepak bola menggunakan hijab saat bermain. Melansir France 24, larangan ini didasari asas sekularisme yang dianut warga Prancis sebagai buah dari Revolusi Prancis 1798-1799. Aturan ini mendapat dukungan yang luas dari anggota dan simpatisan Partai Republik serta Perhimpunan Nasional Sayap Kanan.

Aturan ini bukan tanpa penentang. Pada tahun 2020, organisasi ‘Les Hijabeuses’ didirikan sebagai upaya kolektif dalam mengadvokasi tuntunan akan hak menggunakan hijab bagi pemain sepak bola perempuan Prancis ketika mereka bermain.

Kubu Islamis lebih beringas dalam menentang sepak bola perempuan. Bahkan, mereka melarang perempuan bermain sepak bola sama sekali. Kendati telah diperkenalkan seragam ‘syar’i,’ namun sepak bola untuk perempuan masih saja dilarang dengan alasan gerak berlebihan perempuan bisa menimbulkan fitnah, serta pakaian mereka terlalu ketat.

Perempuan bermain sepak bola masih menjadi sesuatu yang tabu di banyak negara-negara muslim. Sudan, misalnya, di bawah rezim Jenderal Umar al-Basyir yang konservatif, melarang perempuan bermain sepak bola sejak 1993. Dilansir oleh merip.org, kendati larangan bermain sepak bola bagi perempuan sudah dicabut seiring dengan Revolusi Sudan pada 2019, dan bahkan liga sepak bola perempuan telah dibentuk, kebolehan perempuan bermain sepak bola masih menjadi perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat Sudan hingga kini.

Arab Saudi baru memperbolehkan perempuan bermain sepak bola pada 2018. Di Indonesia, fatwa serupa pernah muncul di Aceh pada 2019 berkenaan dengan adanya kejuaraan sepak bola perempuan yang diselenggarakan oleh Menpora.

Sebenarnya, Nouhaila Benzina dan kawan-kawan bukan datang dari negara yang bebas dari stigma negatif mengenai perempuan yang bermain sepak bola. Kepada BBC, Yasmin Mrabet, rekan setim Benzina di Timnas, mengatakan bahwa belum semua masyarakat negaranya menganggap sepak bola adalah permainan untuk semua orang. Banyak orang masih menganggap bahwa perempuan seharusnya hanya diam di rumah untuk mengurus keluarga.

Yasmin juga berharap bahwa keikutsertaan Maroko di Piala Dunia kali ini membuka mata banyak orang Utamanya mereka yang masih beranggapan bahwa sepak bola hanya boleh dimainkan oleh laki-laki.

Baca Juga: World Hijab Day: Sebuah Perjuangan Kebebasan Berekspresi Perempuan Muslim Sedunia

Menjadi Simbol Inklusivitas

“Anak-anak perempuan (berhijab) lain akan melihat Benzina (dan berpikir) ‘Akupun bisa menjadi seperti dia’,” ujar Assmaah Helal, pendiri Muslim Women in Sport Network seperti apa yang dikutip situs web resmi Olimpiade.

“Ini luar biasa. Ini akan menginspirasi banyak gadis kecil di dunia, bukan hanya di Maroko, bahwa mereka bisa menjadi apapun yang mereka ingin. Aku ikut berbahagia bersamanya. Dia bermain dengan baik di kejuaraan ini dan dia pantas untuk itu,” ujar rekan setim Benzina, Rosella Ayane kepada DW.

Itulah beberapa contoh apresiasi yang dilontarkan kepada Nouhaila Benzina. Debutnya yang bersejarah di ajang paling bergengsi dalam sepak bola menyampaikan pesan yang mendalam. Sepak bola adalah olahraga yang bisa dimainkan oleh semua orang dengan latar belakang apapun, termasuk mereka yang berhijab. Benzina ‘mengajari’ FIFA tentang arti inklusivitas dalam sepak bola. [NH]