Pernikahan Anak Terjadi Akibat Stigma Peran Domestik Perempuan

Pernikahan Anak Terjadi Akibat Stigma Peran Domestik Perempuan

Seandainya Nayla adalah laki-laki, pernikahan anak mungkin urung terjadi. Kenapa pernikahan anak seolah jadi jawaban dari masalah ekonomi?

Pernikahan Anak Terjadi Akibat Stigma Peran Domestik Perempuan
(Photo credit: GABRIEL BOUYS/AFP/Getty Images)

Pernikahan anak atas alasan ekonomi masih terjadi di Indonesia. Padahal anak juga memiliki mimpinya sendiri. Mengapa pernikahan anak selalu dianggap menjadi solusi atas persoalan ekonomi? Fenomena ini terjadi akibat stigma peran domestik perempuan.

Nayla, 17 tahun, baru saja pulang sekolah menggunakan turun dari angkutan kota. Ia menyusuri gang yang padat dan sempit di tengah kota metropolitan. Rambutnya tampak acak-acakan setelah seharian sekolah. Wajahnya pun terlihat lelah setelah belajar semalaman untuk try out UTBK hari itu. Seragam putih abu-abu yang dikenakannya mulai tampak kusut.

Di balik kekusutan itu, Nayla bangga dengan dirinya yang mampu mengerjakan soal try out hari itu dengan mudah. Kelulusan sebentar lagi dan tes masuk perguruan tinggi semakin dekat. Dengan nilai try out-nya yang selalu baik, ia percaya diri untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi sesuai bidang yang diminatinya.

Meski tidak datang dari keluarga berada, ia yakin dengan semangatnya, ia dapat menggapai mimpi.

Impian yang sudah tampak di depan mata kandas begitu ia masuk ke rumah. “Nak, karena kondisi perekonomian keluarga kita, kamu akan menikah setelah lulus,” kata ibunya. Ucapan yang lirih tersebut membuatnya terguncang. Tangisnya pun pecah. Berulang kali ia bertanya-tanya alasannya. “Mengapa, Bu? Aku mau kuliah, bukan menikah!” kata Nayla.

Akan tetapi, pendirian sang ibu tak sedikitpun goyah. “Ada orang kaya yang mau melamarmu. Lagipula, perempuan tidak perlu kuliah. Yang penting kamu tahu cara mengurus rumah,” kata ibunya.

Dilansir dari unicef.org, Indonesia adalah negara dengan angka perkawinan anak tertinggi kedelapan di dunia. Satu dari sembilan perempuan menikah di bawah 18 tahun. Hal ini salah satunya disebabkan oleh stigma masyarakat terhadap perempuan yang hanya berperan mengurus rumah tangga.

Cerita Nayla ini masih jamak dijumpai. Di Indonesia, pandangan perempuan tak perlu berpendidikan tinggi masih dipegang erat oleh sekelompok masyarakat. Tidak hanya di pedesaan, di kota besar pun pandangan tersebut masih ada yang biasanya didorong oleh faktor ekonomi. Stigma bahwa perempuan hanya bertanggung jawab mengurus rumah akhirnya membuat pandangan tersebut makin diyakini.

Stigma peran perempuan yang identik dengan urusan rumah menampilkan seolah-olah jika perempuan melakukan hal lain, contohnya mencapai pendidikan setinggi-tingginya, dianggap melanggar kodrat. Peran perempuan yang “hanya” mengurus rumah tangga kemudian dipergunakan sebagai alasan berbagai pihak untuk mengonstruksi perempuan sebagai makhluk yang lemah. Akibatnya, tugas domestic rumah tangga pun kerap diasosiasikan sebagai tugas perempuan saja.

Coba seandainya Nayla adalah laki-laki, pernikahan anak mungkin urung terjadi. Ia tidak mungkin dipaksa menikah setelah lulus SMA untuk membantu perekonomian keluarga. Mungkin saja solusinya ia diminta ikut bekerja. Pertanyaannya, mengapa Nayla tidak disuruh bekerja? Mengapa pernikahan anak dianggap sebagai solusi?

Hal itu tidak lain disebabkan oleh konstruksi masyarakat terhadap citra perempuan yang dianggap bergantung laki-laki sebagai pencari nafkah, sementara perempuan mengurus rumah tangga. Mengurus rumah tangga dianggap lebih mudah dibanding mencari nafkah. Kondisi ini membuat perempuan ditempatkan sebagai second sex yang tidak mandiri, harus patuh, dan taat perintah.

Peran dalam rumah tangga sejatinya tidak perlu dikotak-kotakkan hanya sebagai kewajiban perempuan. Normalisasi pembagian peran domestik antara laki-laki dan perempuan dapat menjadi titik perubahan untuk menghilangkan stigma bahwa perempuan hanya patut mengurus rumah tangga. Dengan begitu, alasan pernikahan anak akibat perekonomian keluarga yang rendah seperti kasus Nayla sebelumnya dapat diatasi dengan pikiran yang lebih terbuka.

Nayla bukanlah satu-satunya perempuan yang gagal meraih mimpi karena stigma peran domestik perempuan. Masih banyak anak-anak perempuan seperti Nayla yang dipergunakan sebagai “alat penyelamat” perekonomian keluarga dengan embel-embel tanggung jawab kodrati. Padahal, kodrat seorang perempuan tidak perlu dicari atau ditentukan oleh lingkungannya. Kodrat perempuan sesungguhnya telah ia genggam sejak lahir.

 

Tulisan ini adalah hasil karya dari peserta penerima beasiswa mentoring pada program Peaceful Digital Storytelling, pelatihan kampanye cerita baik dan positif bagi siswa SMA yang didukung oleh US Embassy dan Wahid Foundation.