Kita seringkali mendengar, atau mendapati kata wallahu a’lam pada akhir karangan atau ucapan para ulama. Setelah menjelaskan persoalan-persoalan keagamaan, mulai dari menyitir ayat Al-Quran lalu menafsirkannya; hadis lalu memberikan penjelasan maknanya; atau menjawab hukum dari sebuah pernyataan tertentu, mereka mengakhirinya dengan pertanyaan Wallahu A’lam, yang secara bahasa berarti “dan Allah yang lebih mengetahuinya.”
Mengucapkan Wallahu A’lam setelah menjelaskan suatu hal dengan pengetahuan yang dimiliki atau tidak mengetahuinya, adalah bagian dari adab orang yang beriman. Dalam ayat Al-Quran surah Yusuf [12] : 76, ada ayat yang menjadi dasar disyariatkannya mengucapkan wallahu a’lam sebagai bentuk dari etika hamba terhadap Allah yang Maha Mengetahui,
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“… wa fawqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliim.”
…dan di atas setiap orang yang berpengatahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.”
Baca juga: Arti Wallahu A’lam Bisshowab yang Tidak Kita Pahami
Ayat tersebut secara lengkap sebenarnya berbicara tentang kisah Nabi Yusuf As (baca penafsiran terhadap surah Yusuf [12]: 76 tersebut) ketika berhadapan dengan saudara-saudaranya yang dahulu sempat mencelakakannya dengan memasukkannya ke dalam sumur. Singkat cerita, seperti sudah diisyaratkan dalam awal surah Nabi Yusuf AS bahwa Allah SWT menakdirkan akan dihormati, beliau diangkat menjadi Nabi sekaligus menjadi seorang pimpinan negara di Mesir waktu itu.
Namun, ayat wa fawqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliim tersebut ditafsirkan lebih luas pesannya tentang penegasan Allah SWT sendiri bahwa semua ilmu itu pada prinsipnya tetap di bawah naungan ilmu Allah SWT. Ibn ‘Abbas misalnya, seperti dikutip oleh al-Imam Ibn Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jaami’ al-Bayaan fi Ta’wiil Aayi al-Qur’aan ketika memberikan penafsiran potongan ayat tersebut dengan menyatakan,
يكون هذا أعلم مِن هذا، وهذا أعلم من هذا، والله فوقَ كلِّ عالم
“dia lebih lebih berilmu dari dia. Dan dia lebih berilmu (lagi) dari dia. Tapi (hakikatnya) Allah lah di atas semua orang yang berilmu (di alam semesta ini).”
Seorang tabi’in yang juga dikenal dengan kehidupan asketisnyanya (az-zuhd) juga ketika menjelaskan potongan ayat tersebut dengan menyatakan,
ليس عالمٌ إلا فوقه عالم. حتى ينتهي العلم إلى الله
“Semua orang yang berilmu itu pasti ada orang lain yang lebih tinggi ilmunya. Begitu demikian sampai ilmu itu berakhir di sisi Allah SWT”
Seorang sahabat Nabi SAW bernama Abdullah bin Mas’ud pernah berkata terkait dengan keutamaan mengucapkan Wallahu A’lam ini,
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ! مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ؛ فَلْيَقُلِ: اللّٰهُ أَعْلَمُ؛ فَإِنَّ مِنَ الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ: لَا أَعْلَمُ
“Wahai manusia! Siapa yang mengetahui sesuatu maka hendaklah ia mengatakannya. Dan siapa yang tidak mengetahuinya, maka hendaklah mengatakan: “Wallahu A’lam” (Dan Allah yang lebih mengetahui). Karena sesungguhnya termasuk dikategorikan sebagai ilmu adalah adalah mengatakan “saya tidak tahu.”
Baca juga: Wawancara dengan Prof. Nadirsyah Hosen: Tidak Semua Hadis Bisa Langsung Diterapkan
Penjelasan-penjelasan di atas sebenarnya sesuai dengan sebuah jargon yang dikenal orang yang belajar, laa adrii nishfu al-‘ilm (menyatakan “saya tidak tahu” adalah setengah dari ilmu). Al-Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari,
“وَقَوْله: (إِنَّ مِنَ الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُ: لَا أَعْلَمُ) أَيْ أَنَّ تَمْيِيزَ الْمَعْلُومِ مِنَ الْمَجْهُولِ نَوْعٌ مِنَ الْعِلْمِ، وَهَٰذَا مُنَاسِبٌ لِمَا اشْتُهِرَ مِنْ أَنَّ (لَا أَدْرِي) نِصْفُ الْعِلْمِ، وَلِأَنَّ الْقَوْلَ فِيمَا لَا يَعْلَمُ قِسْمٌ مِنَ التَّكَلُّفِ”
“Dan pernyataan (Abdullah bin Mas’ud): “Sesungguhnya bagian dari ilmu adalah menyatakan setiap hal yang tidak diketahui dengan: “Saya tidak tahu”. Maknanya adalah memisahkan antara yang sudah diketahui dengan yang tidak diketahui adalah bagian dari ilmu. Ilmu itu sesuai dengan ungkapan populer bahwa “laa adrii” (saya tidak tahu) adalah separuh ilmu. Karena sesungguhnya mengatakan sesuatu yang tidak diketahui adalah memaksakan diri (at-takalluf).” (AN)