Mengaku dikeroyok dan dianiaya hingga menimbulkan kehebohan nasional, Ratna Sarumpaet kemudian mengadakan konferensi pers dan menyatakan bahwa dirinya sudah berbohong terkait penakuan dirinya dipukuli. Muncul pertanyaan, mengapa bisa muncul sikap sekonyol itu?
Manusia sebenarnya memiliki sifat dasar tidak sempurna di balik kesempurnaan potensinya dan strukturnya. Dan, sangat mungkin berbuat salah, baik disengaja maupun tidak disengaja. Dalam konteks fenomena Ratna Sarumpaet, kebohongan tersebut cenderung sengaja dilakukan. Kira-kira ada empat titik kunci untuk mengulik fenomena ini.
Pertama, kebohongan tersebut kemungkinan mengandung unsur politik. Saat ini, ketika sedang mendekati masa Pilpres 2019, kedua pihak capres – cawapres dan tim suksesnya giat menggiring opini masyarakat untuk membangun citra diri. Di sisi lain, cara yang kurang tepat juga terkadang digunakan untuk menjatuhkan lawan oleh beberapa oknum tim sukses.
Contohnya, tema persekusi sampai saat ini masih digemari untuk menjatuhkan lawan politik. Saat ini sedang ada upaya mengkonstruksi bahwa pendukung Ir. Joko Widodo gemar melakukan penolakan yang kemudian dipersepsikan sebagai persekusi terhadap pendukung Prabowo Subianto. Upaya ini dilakukan sebagai sikap yang menunjukkan bahwa pihak petahana merasa ketakutan dengan potensi kemenangan Prabowo Subianto sehingga mengakibatkan adanya persepsi buruk terhadap pihak lawannya. Selain itu, juga sebagai upaya mengkonstruksi lawan politiknya ini gemar melakukan tindakan yang mengandung unsur kekerasan dan tidak fair.
Upaya semacam ini bisa menjadi salah satu dorongan (motif) dari Ratna Sarumpaet untuk melakukan kebohongan. Ratna Sarumpaet menemukan momentum ketika dirinya menjalani operasi sedot lemak di Rumah Sakit Bina Estetika. Dampak operasi yang berupa wajah lebam digunakannya untuk mempengaruhi orang lain dalam menjatuhkan Joko Widodo dan pendukungnya. Akhirnya, keluar ide untuk mengaku dianiaya karena berbeda pilihan.
Melalui pengakuan tersebut, diharapkan dapat membuat citra Joko Widodo dan pendukungnya menjadi buruk. Maka dari itu, motif ini bisa dianggap sebagai motif politik. Di sisi lain, ada kemungkinan juga bahwa Ratna Sarumpaet menginginkan simpati dari masyarakat. Hal ini diakibatkan karena dirinya sering menjadi bahan kritikan ketika dirinya gemar mengkritik Joko Widodo dan pendukungnya. Dengan demikian, motif ini menjadi semacam motif politik yang telah bercampur dengan kondisi pribadi.
Kedua, muncul pertanyaan mengapa sebegitu mudah menciptakan kebohongan tersebut? Apakah Ratna Sarumpaet tidak memikirkannya lebih panjang mengenai jejak-jejak yang bisa ditelusuri?
Ketika seseorang berkecimpung di dunia politik dan memiliki kompetitor yang harus dikalahkan, maka keinginan untuk mengalahkannya seringkali menutupi logika orang tersebut. Tujuan utama yang hendak dicapai telah mengaburkan berbagai kemungkinan terbongkarnya keburukan cara mencapai tujuan tersebut.
Dalam perspektif psikologi, dorongan menguasai (dominance) yang terlalu besar ini mampu mengalahkan pengetahuan bahwa setiap orang memiliki skema tempat (kemampuan menelusuri suatu kronologi peristiwa). Tingkat fokus yang tinggi untuk menjatuhkan lawan politik dengan berbagai cara menyebabkan orang tersebut kurang memikirkan kemungkinan terbongkarnya cara yang buruk tersebut.
Ketiga, kebohongan Ratna Sarumpaet ini memperlihatkan bahwa orang akan cenderung melakukan defence mechanism terhadap sesuatu hal yang salah sebagai upaya mempertahankan diri. Selain itu, tercipta fenomena ingroup-outgroup dalam suatu polarisasi bisa menyebabkan bias heuristics. Dalam perspektif psikologi sosial, pada beberapa kelompok yang tingkat kohesivitas masing-masing kelompok tinggi akan berakibat pada terjadinya perilaku ingroup-outgroup yang semakin memperbesar batas perbedaan.
Apapun yang terjadi pada anggota kelompoknya sendiri maka akan menimbulkan kecenderungan untuk segera memihak, terlepas benar atau salah. Sebaliknya, apapun yang terjadi pada anggota kelompok lain yang berbeda, maka muncul kecenderungan untuk menganggapnya kurang benar.
Pada akhirnya, akan menyebabkan sikap menyimpulkan tanpa mencari data yang memadai atau disebut dengan bias heuristics. Dalam konteks kebohongan yang dilakukan Ratna Sarumpaet, perilaku ini diperlihatkan ketika banyak pihak yang langsung mempercayai tanpa meminta klarifikasi atau mencari kronologi sebenarnya.
Ketika Ratna Sarumpaet mengakui kebohongannya tersebut, maka sebagian orang yang berada di lingkarannya bersikap diam dan sebagian lagi melakukan rasionalisasi sebagai mekanisme pertahanan. Rasionalisasi ini untuk membuat kesan bahwa Ratna Sarumpaet tidak berbohong atau kebohongan Ratna Sarumpaet “dapat ditolerir”. Misalnya,“kebohongan yang dilakukan Ratna Sarumpaet tidak seberapa, coba bandingkan dengan kebohongan Presiden karena tidak melaksanakan janji-janji kampanye”.
Rasionalisasi ini pun kemudian memperlihatkan abnormalitas pola pikir dan sikap. Selain itu, rasionalisasi semacam ini secara tidak langsung melegalkan kebohongan untuk digunakan sebebasnya.
Keempat, peristiwa kebohongan Ratna Sarumpaet menunjukkan bahwa tidak ada gunanya menjatuhkan lawan politik dengan berbagai konstruksi opini. Hal ini dikarenakan pihak yang menjatuhkan sangat mungkin melakukan kesalahan yang sama dengan kesalahan yang sedang dikonstruksikan pada lawan politik. Ketika banyak yang mengecam seseorang menista agama, justru pengecamnya juga menista agama dengan cara lain (korupsi, menggelapkan uang, dan sebagainya). Ketika banyak yang menganggap pemerintah gemar menyebarkan hoaks, maka salah satu pihak yang melontarkan kritikan tersebut justru berbuat kebohongan.
Berdasarkan peristiwa tersebut, maka hendaknya menjadikan kita untuk semakin berdewasa dan bijak dalam bersikap, khususnya dalam konteks politik. Bagi siapapun, upaya mencitrakan diri itu memang diperlukan, namun yang lebih penting adalah bagaimana seseorang membangun citra diri dengan tetap mengendalikan orang-orang yang berada di lingkarannya dan tanpa harus menjatuhkan orang lain.
Di sisi lain, peristiwa tersebut mengajarkan bahwa fenomena narsistik dalam politik seringkali justru membuat dirinya sendiri jatuh.