Suatu siang di republik Twitter, tiga besarnya dihuni tagar tentang sedu-sedan seorang aktivis badas, Ratna Sarumpaet (03/10/2018). Sebelumnya, beredar di media sosial foto Ratna dalam keadaan mengenaskan. Konon, penyebab luka lebam wajah Ratna itu lantaran kena bogem saat berada di sebuah Bandara daerah Bandung. Ringkas kata, ia telah dizalimi secara fisik oleh sekawanan orang tak dikenal.
Sampai artikel ini ditulis, trending tagar itu masih menduduki tiga besar dengan segala variannya. Malahan saking out of the box-nya, warganet kita tak segan menyeret sang menantu ke altar pergunjingan lewat tagar #SaveRioDewanto.
Belakangan, ditengarai simpang siur penganiayaan terhadap Ratna adalah kabar bohong. Hal ini dipertegas dari pengakuan yang bersangkutan sendiri, bahwa dia memang berbohong. Kendati sebelumnya juga telah banyak pihak yang mensinyalir jika hal itu tidak benar-benar terjadi.
Di lain pihak, ini menarik. Pasalnya, ‘teori’ seorang intelektual badas, Rocky Gerung dalam satu kesempatan yang bilang “naikan IQ anda maka Hoax akan turun” rasa-rasanya menampar kita. Wabil Khusus Capres Prabowo Subianto yang kadung menggelar konferensi pers untuk mengecam sang pelaku atas penzaliman kepada salah satu jurkamnya itu. Dan demi menindaklanjuti kabar bohong ini, Prabowo menggelar konferensi pers jadid untuk mengklarifikasi dan meminta maaf atas Konpers qadim-nya.
Awalnya, saya menduga jika Ratna Sarumpaet sebatas guyonan. Dalam bahasa kekinian semacam Prank gitu. Namun ternyata leluconnya itu kebabalasan. Dengan kata lain efek yang dihasilkan justru tidak biasa. Melebihi dari sekadar canda. Sama seperti seorang yang berkelakar ada bom di kabin pesawat. Alih-alih mencandai orang, yang ada justru bakal kena semprot pihak berwajib.
Atau, seperti selentingan Kiai Hairus Salim saat Islami Institute Jogja silaturahim ke kediamannya di Yogyakarta. Ceritanya, medio 90-an ada seorang mualaf mantan Pastur kuliah di IAN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di samping menjadi mahasiswa, ia juga membina keluarga. Bahkan tak hanya itu, di kediamannya, dia memikul amanah sebagai Kepala Desa. Menginjak semester senja, tibalah masa dimana seorang Mahasiswa musti menunaikan kewajiban Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Alhasil, yang bersangkutan melakukan negosiasi agar bisa memilih tempat tinggalnya itu sebagai ladang ber-KKN. Tentu saja kini dia akan merangkap satu beban lagi. Ya, selaku yang paling senior, dia pun akhirnya ditahbiskan sebagai ketua kelompok KKN oleh rekan-rekannya. Dari situ kemudian muncul kelakar internal: “ketua kelompok KKN IAIN meniduri Ibu kepala desa”. Atau mungkin jika dikemas dalam tajuk sinetron barangkali akan menjadi “Ketua kelompokku adalah suami Ibu Kepala Desa KKN-ku”.
Tentu saja itu adalah kelakar. Namun siapa yang bakal menyangka jika yang demikian itu akan menjadi pemicu suatu aksi massa. Pasalnya, humor itu bermutasi menjadi rumor. Dari mulut ke mulut. Dan tidak menutup kemungkinan jika terdapat bumbu-bumbu penyedap untuk menambah citarasa isu. Sampai akhirnya pecahlah demonstrasi yang menyoal rumor itu. Setelah diklarifikasi jika ternyata ketua kelompok KKN yang bersangkutan itu notabenenya adalah Mahasiswa sekaligus Kepala Desa KKN setempat, ya wajar saja jika meniduri Ibu Kepala Desa. Hla wong sama istrinya kok.
Namun, rupanya dugaan saya itu jauh dari kata tepat. Ratna Sarumpaet tidak sedang berkelakar. Tapi berbohong. Dan di atas itu semua, kebohongan itu dirayakan dengan kalkulasi politik. Apapun yang sekiranya menguntungkan tentu bisa dibicarakan. Sewaktu kabar penganiayaannya berhembus, gegap gempita dilambungkan apa-apa yang sekiranya bisa menyudutkan pemerintah. Sementara, ketika ternyata itu adalah hoaks, ramai-ramai menyalahkan yang bersangkutan.
Masalahnya, apakah akan berhenti begitu saja? Tentu, kita tidak tahu. Yang jelas, insiden kabar bohong ini mengajarkan kita banyak hal: bagaimana dosa media sosial bisa menghukum para pelakunya jauh lebih kejam daripada dosa vertikal (baca: agama)—kecuali syirik kalau dalam terminologi Islam. Belum lagi adanya serumpun kata-kata aneh setamsil “mereka yang menusuk dari belakang” yang seolah ingin lepas begitu saja padahal sebelumnya ikut-ikutan termehek-mehek.
Lepas dari itu semua, bolehjadi kebohongan Ratna Sarumpaet kini menjadi nyata. Bukankah ia justru sedang benar-benar dalam kondisi ‘dianiaya’ orang tak dikenal? Mungkin tidak secara fisik. Tapi secara psikis atau sosial oleh sekawanan netizen yang maha tangkas dan juga pemberani.
Tentu sebagai warganet yang budiman, tidak ada salahnya jika kita memaafkan Ratna Sarumpaet. Toh, dia juga sudah minta maaf. Yah, meskipun kalau untuk melupakan, saya kira itu soal lain. Jejak digital itu kejam sob. Dan, untuk sebuah skenario sedahsyat ini, penghargaan Oscar sudah pasti akan ia raih. Ada yang mau bantah?