Kalender, Budaya, dan Agama

Kalender, Budaya, dan Agama

Bagaimana sistem kalender dan perbintangan mempengaruhi peribadatan agama-agama, termasuk juga Islam dengan sistem Qomarih sebagai penanggalan.

Kalender, Budaya, dan Agama

Kalender adalah produk ilmu Astronomi. Setiap bangsa yang berperadaban pasti memiliki penanggalan sendiri. China, Romawi, Arab, India dan bahkan Jawa dan Sunda memiliki cara menentukan almanak sendiri. Semuanya digunakan untuk menentukan waktu-waktu penting dalam kehidupan selama kurun waktu setahun.

Semakin modern, pemanfaatan kalender pun beragam. Dulu, orang memanfaatkannya untuk musim sebab hal ini untuk kelangsungan hidup. Dengan mengetahui musim orang bisa tahu kapan waktu untuk bertanam dan kapan waktu panen, berburu, berdagang bahkan berperang. Pada perkembangan berikutnya, kalender digunakan untuk kebudayaan dan menandai waku-waktu peribadatan.

Penanggalan bangsa Romawi dan Pranoto Mongso Jawa menggunakan solar system (Syamsiyah), di mana pergerakan bumi mengelilingi matahari menjadi patokan. Sedang penanggalan yang lain menggunakan Lunar System (Qomariyah) berdasarkan pergerakan bulan mengelilingi bumi. Ada yang menggunakan keduanya seperti kalender Imlek China dan kalender Islam Jawa. Sistem penanggalan ini disebut dengan Luni-Solar System.

Peribadatan dalam suatu agama pun tak bisa terlepas dari sistem penanggalan, sebab dimensi ibadah adalah ruang dan waktu. Dalam tradisi Kristen, penanggalan Syamsiah disepakati menjadi penentu waktu ibadah. Karena Kristen berkembang di Eropa dan kalender yang digunakan adalah berdasarkan pada pergerakan matahari, maka kalender Syamsiah menjadi rujukan utama.

Tidak menutup kemungkinan juga karena ada perintah yang bersifat dogmatis dalam menentukan hari peribadatan seperti halnya perintah puasa dan haji dalam Islam. Itu wajar saja. Penggunaan solar sistem sebab di Eropa berbeda dengan di wilayah padang pasir yang bisa mengamati pergerakan bulan setiap hari.

Islam datang di tanah Arab. Tradisi penggunaan kalender sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Begitu pula dengan nama-nama bulan mulai dari Syawwal hingga Dzulqo’dah sudah ada sebelum Nabi Muhammad lahir. Sama halnya dengan kalender lainnya, tahun Qomariyah ini juga hasil produk ijtihad astronom yang menyatu dengan masyarakat sesuai dengan kebutuhan.

Tidak mungkin jika Islam menggunakan kalender Masehi, sebab jelas akan bertolak dengan tradisi yang sudah mapan pada saat itu. Pada masa nabi, penanda waktu masih menggunakan nama-nama bulan. Tidak ada nama tahun. Penggunaan kalender Hijriah baru ada sejak Khalifah Umar merasa membutuhkan tahun untuk urusan administrasi pemerintahan. Tidak mungkin hanya menggunakan hari dan bulan tanpa tahun. Sementara kerajaan lain sudah memiliki sistem penanggalan sendiri. Lalu diputuskanlah kalender Hijriah yang ditandai sejak masa perpindahan Rasulullah dari Makkah ke Madinah.

Sebelum itu ada perbedaan pendapat kapan dimulai tahun pertama penanggalan Qomariah. Ada yang berpendapat dimulai sejak awal Rasulullah lahir, ada yang berpendapat awal kenabian Muhammad dan pendapat lainnya.

Akhirnya keputusan yang disepakati adalah ide dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa hijrah Rasululllah yang paling tepat sebab kebangkitan Islam dimulai pada saat itu. Nama tahunnya kemudian disebut dengan kalender Hijriah. Sampai saat ini yang digunakan dalam penentuan ibadah umat Islam bukan pada tahun tapi berbasis bulan seperti haji, puasa, hari raya, masa iddah perempuan, kurun waktu setahun untuk zakat dan lainnya.

Penggunaan tanggal dan bulan ini kemudian semakin variatif sesuai kebutuhan baik kebutuhan yang sifatnya kultural atau struktural. Yang bersifat kultural seperti peringatan Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi tahun baru Muharram dan lain sebagainya. Sementara untuk yang wilayahnya struktural, hanya negara tertentu yang menggunakan.

Di Indonesia secara resmi menggunakan penanggalan masehi mulai dari tanggal lahir, hari libur, hari kerja, cuti dan hal-hal yang bersifat administratif lainnya. Sedangkan yang lain, misal, kalender Jawa, Masehi, Hijriah, China, Tahun Saka, Pranoto Mongso dan lainnya masih digunakan karena masyarakat Indonesia membutuhkan sistem kalender tersebut.

Sama halnya dengan penggunaan aksara dimana saat ini adalah aksara latin yang mendominasi digunakan dalam banyak bidang mulai dari pendidikan, administrasi dan lain sebagainya. Aksara Arab hanya digunakan untuk kalangan pesantren. Sedangkan aksara Jawa justru perlahan punah.

Penyebabnya tidak lain adalah karena faktor sejarah dan pengaruh budaya asing yang menguasai peradaban. Karena Indonesia kalah dari segi keilmuan dan lainnya, maka Indonesia harus mengikuti aksara latin yang dipakai negara maju. Seandainya Indonesia yang menguasai peradaban dunia maka boleh jadi sebaliknya. Aksara Jawa beserta kebudayaan lain seperti musik, pakaian dan lainnya akan menjadi trendsetter dunia.

Untuk itulah, penggunaan kalender dengan sistem apapun bukanlah soal akidah. Orang Islam mau menggunakan masehi atau kalender yang lain jika dibutuhkan maka tidak membuat orang keluar dari ajaran Islam. Sebab yang terpenting dalam penggunaan kalender adalah asas kemaslahatan. []