Terompet Haram? Ada Loh yang Lebih Penting dari Debat Ini di Malam Tahun Baru

Terompet Haram? Ada Loh yang Lebih Penting dari Debat Ini di Malam Tahun Baru

Apa sih yang lebih penting dari terompet tahun baru dan natal?

Terompet Haram? Ada Loh yang Lebih Penting dari Debat Ini di Malam Tahun Baru

Masih pentingkah perdebatan boleh atau tidak mengucapkan selamat natal dan merayakan tahun baru dihadirkan saat ini? Perdebatan ini sudah seperti rutinan yang mana dari kedua belah pihak sama-sama menutup telinga dan hanya berkenan membuka mulutnya belaka.

Saya usul, sebelum anda-anda yang ingin berdebat memulai adu argumen.”Apa kita berteman dengan kristiani yang merayakan natal? Baik di dunia nyata, di kontak telepon genggam atau di sosial media?” atau “Kamu punya kita cita-cita yang ingin diwujudkan?”Jangan-jangan kita hanya ribut soal boleh tidaknya mengucapkan selamat natal, tapi sejatinya kita tidak punya teman yang sedang merayakan natal? Dan kita tidak benar-benar punya harapan di tahun 2020 tetapi sudah kadung melarang orang merayakan malam pergantian tahun. Inikah kehidupan yang sangat narsistik.

Selama ini kita suka ribut soal boleh atau tidaknya mengucapkan selamat natal, tetapi pada kenyataannya kita tidak punya teman yang akan jadi target ucapan itu. Karena, kalau ternyata kita tidak punya banyak teman Kristiani tetapi sudah berbusa berdebat soal boleh atau tidaknya mengucapkan natal. Menurut saya, itu adalah sebuah tindakan melanggengkan asumsi salah yang ada di kepala kita.

 

Lalu, kita bisa bertanya lagi, seberapa sering kita salah paham pada mereka yang sebenarnya kita tidak kenal. Terhadap Papua kita tidak suka dan meneriaki mereka hitam atau monyet, berapa jumlah teman kita yang dari Papua? Ketika meneriaki Syiah dan Ahmadiyah sesat dan mencoreng Islam, berapa jumlah teman kita yang berasal dari golongan Syiah dan Ahmadiyah? Kita membenci Cina karena mereka kikir, jahat dan antek asing. Berapa jumlah teman kita yang beretnis Tionghoa?

Nah, kita kerap dikalahkan asumsi di kepala kita. Hingga perkara negatif saja yang keluar, tanpa melihat realitas. Pun demikian dengan apa yang akan kita jalani nanti malam (31/12), kita terlalu sering berdebat soal hukum ikut merayakan tahun baru sampai cocok-cocokan bahwa segala tindakan yang dilakukan dalam merayakan pergantian tahun adalah budaya kaum lain.

Kita seolah tidak memberi ruang sedikit pun di otak pada hal-hal positif yang tidak membuat otak kita pening. Toh, kalau kita benar-benar ingin suci dari campur tangan budaya lain adalah hal yang utopis dilakukan saat ini. Baju, topi, sendal, sarung, celana, lampu, gaya arsitek rumah sampai teknologi yang kita gunakan saat ini sudah kotor oleh beragam irisan budaya dari berbagai latar belakang.

***

Kalau sedari awal kita hanya disibukkan dengan perdebatan soal hukum boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal atau tahun baru, sejatinya kita sedang memasang tembok pemisah yang tinggi dengan sesama. Perdebatan kita tentang boleh tidaknya mengucapkan natal hanya menjadi pagar pembatas kita untuk bisa lebih dekat, mempelajari dan meneladani visi hidup Yesus? Meneladani visi hidup Yesus? Apa tidak salah.

Ya, tidak salah, kenapa tidak. Mari kita letakkan dulu ikatan teologis tentang ajaran kristus. Mari sejenak kita pandang Yesus sebagai seorang tokoh pembebasan yang pernah hidup di dunia ini.

Hidup Yesus adalah sebuah tragedi, ia dilahirkan di situasi sosial masyarakat yang serba tak enak. Setidaknya ada dua kondisi yang membuat hidup pada masa itu tidak baik-baik saja. Pertama ia hidup di bawah tekanan penjajahan politik imperium Romawi dan yang kedua, situasi persaingan tidak sehat antar kelompok Yahudi dalam merebut wacana publik sebagai satu-satunya solusi untuk masyarakat.

Yesus tidak ikut dalam pusaran pertentangan dan masuk kedalam satu kubu yang mengakibatkan perpecahan dan polarisasi semakin tajam. Yesus menjadi juru selamat dengan mengorbankan banyak kehidupannya untuk umat saat itu. Ia menentang kebijakan imperium yang menindas dan ia tidak ikut monopoli wacana publik yang dilakukan kelompok masyarakat. Yesus melebihi itu semua. Ada cita-cita dan visi mulia yang ingin diwujudkan.

Tentu kisah Yesus yang sangat singkat ini tidak mewakili dari seluruh hidup Yesus yang bisa diteladani, tapi setidaknya kita bisa melihat bahwa Yesus adalah orang yang tidak diam saja ketika melihat ketidakadilan.

Lalu untuk kita saat ini, resah ketika melihat ketidakadilan adalah sikap yang buruk? Tentu tidak, karena kalau melihat salah satu rujukan utama umat Islam, yakni hidup Nabi Muhammad SAW, beliau juga adalah salah satu orang yang sangat memperjuangkan keadilan dan perdamaian umatnya.

Sehingga perjuangan dalam mewujudkan kehidupan yang nyaman adalah kerja kolektif, kita beriman pada Muhammad atau beriman pada Yesus, harusnya hasrat untuk selalu memperjuangkan keadilan selalu ada di hati kita.

Sehingga spiritualitas kita tidak hanya selesai soal menyelesaikan tanggungan ibadah ilahiah saja, tetapi juga hadir dalam kehidupan sosial bermasyarakat kita.

Karena kita yang muslim percaya bahwa Islam hadir menjadi rahmat bagi semesta alam. Kalau pertikaian permukaan tidak berlarut-larut kita jalani, kita akan memiliki waktu lebih banyak untuk belajar tentang kearifan dan pelajaran hidup dari orang-orang yang kita imani.

Jadi, sekali lagi, masih perlukah kita berlarut-larut bertengkar soal hukum mengucapkan natal dan merayakan tahun baru, kalau dari perayaan ini kita bisa semakin mengenal diri sendiri dengan evaluasi kehidupan kita sudah sejalan atau tidak dengan visi Yesus/Nabi Muhammad dan menyusun ulang rencana kehidupan kedepan dengan resolusi hidup yang lebih baik di tahun 2020.

Semoga kita menjadi bagian orang yang menyayangi otak kita dengan mengisikan hal-hal positif ketimbang suara-suara tidak bermutu dan destruktif. Akhir kata, selamat tahun baru!.