‘Tradisi’ Banjir Tahun Baru dan Pentingnya Kesadaran Melestarikan Lingkungan

‘Tradisi’ Banjir Tahun Baru dan Pentingnya Kesadaran Melestarikan Lingkungan

Banjir yang sering melanda saat momen tahun baru seharusnya mampu membangkitkan kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

‘Tradisi’ Banjir Tahun Baru dan Pentingnya Kesadaran Melestarikan Lingkungan
Kawasan Kota Lama Semarang terendam banjir. Foto: ANTARA/ Aji Setyawan

Momen tahun baru selalu disambut dengan penuh suka cita di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Uniknya, di Indonesia, tahun baru tidak hanya dirayakan dengan pesta kembang api, melainkan juga ‘tradisi’ banjir tahun baru yang hampir pasti selalu terjadi.

Awal tahun baru 2023, misalnya, saat banyak orang di pusat kota hingga pelosok desa asik menyalakan kembang api, mereka yang bertempat tinggal di sekitar pantai utara (Pantura) Jawa Tengah harus sibuk menyelamatkan diri dan barang berharga lantaran rumah mereka terendam banjir. Sejumlah kota di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dilaporkan terendam air.

Terdapat total sembilan kabupaten dan kota yang terendam, antara lain: Kab. Tegal, Kab. Pekalongan dan Kota Pekalongan, Kab. Kendal, Kota Semarang, Kab. Demak, Kab. Kudus, hingga Kab. Pati. Satu kabupaten lainnya yang letaknya agak jauh dari pantura juga terendam, yakni Kab. Grobogan.

Banjir Tahun Baru Akibat Hujan Deras?

Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah merilis prediksi terjadi cuaca ekstrem di beberapa wilayah di Indonesia. Jawa Tengah termasuk wilayah yang terkena cuaca ekstrem tersebut dan diprediksi berlangsung hingga awal Januari. Wilayah lainnya adalah Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Barat.

Prediksi dari BMKG itu cukup tepat. Selama dua hari, yakni Jumat (30/12) dan Sabtu (31/12), wilayah-wilayah di Jawa Tengah, termasuk yang telah disebutkan di atas, diguyur hujan dengan intensitas tinggi. Meski tidak terkena cuaca ekstrem sendirian, wilayah Jawa Tengah merasakan dampak yang paling parah dibandingkan wilayah lainnya.

Misalnya, yang terjadi di Semarang, jadwal perjalanan kereta api yang melintasi Semarang menjadi terganggu akibat rel yang terendam air. Beberapa perjalanan kereta api terpaksa dialihkan ke jalur selatan. Jalur utama pantura, tepatnya jalan Kaligawe, juga terdampak. Genangan air yang cukup tinggi membuat jalur itu hanya bisa dilintasi oleh truk dan bus besar. Padahal, di sepanjang jalan itu terdapat RS Sultan Agung. Pasien dan pegawai di sana terpaksa harus diangkut menggunakan perahu.

Menurut penjelasan Agita Vivi, Prakirawan Cuaca BMKG, ia menjelaskan kepada wartawan bahwa hal itu dipengaruhi oleh kerentanan dan keterpaparan suatu daerah terhadap bencana hidrometeorologis, yakni bencana yang berkaitan dengan iklim dan cuaca. Karena itu, lanjut Vivi, semua pihak yang berada di wilayah rentan bencana hidrometeorologis harus memerhatikan kondisi topografi, tata guna lahan, dan faktor lingkungan di wilayahnya.

Artinya, hujan deras tidak selamanya menyebabkan banjir selama hal-hal yang disebutkan itu diperhatikan. Sehingga, potensi bencana yang akan terjadi dapat diantisipasi. Karena itu, menilai bahwa hujan deras yang menjadi satu-satunya penyebab bukanlah respon yang bijak.

Banjir Awal Tahun Bukan Kali Pertama

Banjir di awal tahun 2023 bukanlah banjir pertama yang terjadi di awal tahun. Di awal tahun 2022, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) edisi Januari 2022, total 156 kejadian banjir terjadi selama satu bulan pertama. Di awal tahun 2021, banjir yang memakan korban jiwa terjadi di wilayah Kalimantan Selatan. Tepatnya di Kab. Hulu Sungai tengah, banjir menelan lima korban jiwa dan merendam puluhan ribu rumah warga.

Di awal tahun 2020, banjir besar melanda wilayah Jabodetabek dan menelan 24 korban jiwa. PLN sampai terpaksa memadamkan listrik di beberapa wilayah Jabodetabek karena tidak sedikit korban yang meninggal akibat tersengat arus listrik yang merembet melalui genangan air. Beberapa wilayah itupun menjadi gelap gulita akibat pemadaman listrik. Saya akan mencukupkan contoh banjir awal tahun di sini.

Berbagai contoh yang disebutkan seharusnya sudah mampu menggugah kesadaran kita untuk melakukan upaya mitigasi bersama agar kejadian banjir di awal tahun tidak terjadi terus-menerus. Mungkin ada yang dengan mudah akan mengatakan, “Wajar saja, bulan Januari kan memang puncak musim hujan dan curah hujan sedang tinggi-tingginya.” Kalau hal itu memang ‘wajar’, seharusnya kita sudah bisa mengantisipasinya bukan? Kalau tidak bisa mengantisipasi secara total, minimal tidak membuatnya menjadi lebih parah.

Seperti yang telah disebutkan, perhatian terhadap kondisi topografi, tata guna lahan, dan faktor lingkungan di wilayah rawan banjir perlu dilakukan. Di wilayah Semarang, misalnya, Jalan Kaligawe sangat mudah tergenang banjir ketika curah hujan tinggi. Saya sendiri pernah mendengar pengakuan seorang sopir bus yang melayani trayek Jakarta-Malang PP via Pantura. Ia mengaku bahwa wilayah itu memang sering terendam banjir saat diguyur hujan lebat.

Pekalongan memiliki kondisi yang lebih parah. Tanpa diguyur hujan lebat pun, wilayah itu sering terendam banjir akibat luapan rob dari laut pantai utara. Bahkan, kota yang berjuluk “Kota Batik” itu diprediksi akan tenggelam pada tahun 2035 akibat penurunan permukaan tanah yang begitu signifikan.

Resolusi Awal Tahun: Sadar Pelestarian Lingkungan

Banjir terjadi bukan hanya akibat faktor alam, melainkan juga faktor manusia yang hidup di alam. Masih banyak kebiasaan buruk manusia yang itu dapat memicu terjadinya banjir. Yang paling sederhana tentu perilaku membuang sampah sembarangan.

Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya misalnya, mereka menyebut jumlah sampah yang diangkat dari sungai dapat mencapai 25-30 ton/hari. Di Jogja, Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPK) Bantul menyebut jumlah sampah yang diangkat dari sungai-sungai di Bantul dapat mencapai 10 ton/hari. Jumlah lebih fantastis dihimpun oleh DLH Jawa Barat. Mereka menyebut jumlah sampah di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang seluas 11.323 KM2 mencapai angka 15 ribu lebih ton/hari.

Padahal, sebagaimana diketahui, sampah yang mengendap di dasar sungai menyebabkan pendangkalan sungai. Air yang mengalir pun menjadi kotor dan berbahaya bagi kesehatan. Makhluk hidup yang ada di dalamnya pun terancam mati karena habitatnya tercemar. Sampah yang terbawa arus hingga ke laut juga dapat menyebabkan rusaknya ekosistem laut.

Selain masalah sampah, lahan hijau yang beralih fungsi menjadi bangunan juga membuat daerah resapan air berkurang. Sehingga, ketika hujan lebat, air hujan otomatis hanya dialirkan menuju ke sungai tanpa ada yang diserap ke dalam tanah. Sungai yang dangkal tak dapat lagi menampung seluruh air, akhirnya terjadilah banjir.

Tidak hanya itu, di saat air yang meresap ke dalam tanah sedikit dan air tanah disedot secara besar-besaran, akan menyebabkan turunnya permukaan tanah. Ketika permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut, maka air laut dengan mudah akan membanjiri daratan yang permukaan tanahnya rendah tersebut.

Kita sebenarnya sangat bisa ikut andil dalam upaya mitigasi bencana banjir, yakni dengan menumbuhkan kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan. Apalagi, sebagai seorang muslim, secara teologis kita memang diperintahkan untuk melakukannya.

Hal-hal sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, hemat dalam menggunakan air, dan melakukan penanaman pohon dapat mencegah terjadinya banjir. Jika hal-hal sederhana itu mampu dilakukan banyak orang secara sadar, maka bukan tidak mungkin bencana banjir bisa diatasi di kemudian hari.  [NH]