Abdul Muthalib, Sang Datuk Rasulullah SAW, gunda hati. Abrahah dan tentara bergajahnya sudah mendekati Mekkah. Mereka datang untuk menghancurkan Ka’bah, Baitullah.
Bukan hanya itu, tentara Abrahah juga menjarah harta milik penduduk Mekkah. 200 ekor unta milik Abdul Muthalib uga dijarah.
Sebagai pemimpin Mekkah, Abdul Muthalib berusaha menyelematkan rakyatnya. Dia menyuruh penduduk Mekkah mengungsi, menjauh dari Kota Suci, berdiam diri ke gunung-gunung dan dataran tinggi yang aman.
Seorang diri Abdul Muthalib mendekati Ka’bah, mendaraskan doa-doa, lalu menuju Mughammas, tempat Abarah dan tentaranya berkemah.
Abrahah, Sang Durjana tertawa sombong, mengejek Pemimpin Mekkah dengan senyuman penuh kemenangan. Dia merasa pemimpin Mekkah itu akan memohon agar dirinya mengurungkan niatnya menghancurkan Ka’bah.
“Apa keperluanmu datang ke mari?” tanya Abrahah kepada Abdul Muthalib, penuh dengan kecongkakan.
“Tuan… ” Abdul Muthalib memulai perkataan.
“Tentara tuan merampas hartaku, 200 ekor untaku dirampas oleh tentaramu, tuan. Aku datang untuk meminta engkau mengembalikan 200 ekor untaku itu.”
Abrahah terperanjat, pemimpin Mekkah tidak mengkhawatirkan Ka’bah yang diagungkannya, justru lebih memikirkan unta-untanya.
“Mengapa kau lebih mengkhawatirkan untamu, padahal kami datang ke sini untuk menghancurkan Ka’bah?”
Abdul Muthalib menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sebisa mungkin.
“Tuan, unta-unta yang dirampas tentaramu adalah milikku. Maka aku minta dikembalikan. Sementara Ka’bah adalah milik Allah. Maka Allahlah, Sang Pemilik Ka’bah yang akan melindunginya.”
Abarahah heran. Gemeletuk giginya menahan geram. Dia pun mengembalikan 200 ekor unta milik Abdul Muthalib. Abdul Muthalib membawa unta-untanya dan kembali ke Mekkah.
Sebagai pemimpin Mekkah, Abdul Muthalib berusaha menyelematkan rakyatnya. Dia menyuruh penduduk Mekkah mengungsi, menjauh dari Kota Suci, berdiam diri ke gunung-gunung dan dataran tinggi yang aman.
“Wahai kaumku, tinggalkanlah Mekkah, berlindunglah ke bukit. Sungguh aku melihat pasukan Abrahah yang besar dan mustahil kita lawan,”
Penduduk Mekkah bergegas keluar kota, menuju tempat yang aman. Mekkah menjadi kota mati, sepi. Ka’bah tegak berdiri, sendiri, tak ada satu pun warga yang melindungi. Abdul Muthalib menghadap Ka’bah sebelum melangkah menjauh ke luar Mekkah. Perasaannya mengharu, Ia mengangkat tangan dengan air mata yang tak kuasa ditahan.
“Ya Allah, kami pergi menjauh dari rumah-Mu untuk menyelamatkan diri kami, maka lindungilah rumah-Mu ini,”
Di tempat lain, tentara Abrahah bergerak menuju Ka’bah. Gajah-gajah besar yang menjadi tunggangannya melangkah, mendetak bumi dengan keras, tanah seolah bergetar.
Tapi, Pemilik Ka’bah mengabulkan doa orang beriman. Langit seolah gelap, bukan karena awan. Kawanan burung beribu jumlahnya melesat cepat menuju tentara Abrahah, menjatuhkan kerikil-kerikil panas, setiap yang terkena batu kerikil itu langsung binasa.Tentara Abrahah panik, tunggang langgang, bubar, ambyar. Tidak ada yang selamat. Dan Ka’bah tetap berdiri, gagah sampai hari ini.
Tapi, hari ini Ka’bah kembali sendiri, berdiri sendirian. Tapi kita meyakini, bahwa Ka’bah tidak pernah sendiri. Kita meyakini, Pemilik Ka’bah akan selalu menjaga dan melindungi.
Kita merindu Ka’bah. Kita memang terharu menyaksikan kesendirian Ka’bah. Tapi kita masih bisa mengarahkan kiblat kita ke arah Ka’bah. Kita masih bisa menghadapkan sujud kita ke sana. Dan kita meyakini, Ka’bah tidak pernah sendiri. Karena Ka’bah ada di hati kita. Di kedalaman hati kita.