Benarkah ada upaya menghilangkan jejak korupsi dari Presiden RI Soeharto imbas MPR resmi mencabut dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 kemarin?
Isi TAP itu tentang perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan ekplisit nama Soeharto tertulis dan kini dicabut. Apa artinya, Paman Doblang?
Begini, biarkan ada yang mendebat dan bagaimana Jika Indonesia hidup tanpa ada Soeharto. Bayangkan sejenak dunia di mana Soeharto tidak pernah menjadi presiden Indonesia. Tidak ada Orde Baru, tidak ada korupsi, dan tentu saja, Indonesia langsung berubah menjadi utopia.
Bagaikan sekali tepuk, masalah ekonomi, politik, dan sosial semua selesai. Ajaib, bukan?
Dengan Soeharto yang memilih menjadi petani anggrek di Yogya dan bukannya presiden, Indonesia berjalan mulus seperti autobahn di Jerman. Tidak ada macet, tidak ada polusi, dan yang paling penting—tidak ada korupsi. Bayangkan, APBN kita tidak pernah bocor, setiap rupiah yang keluar benar-benar masuk ke pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Jalan tol sudah dibangun sejak era 1970-an, dan saking mulusnya, kita bahkan tidak memerlukan mobil, karena semua orang sudah punya hoverboard.
Ya, teknologi seperti di film Back to the Future itu mungkin lahir dari tangan para insinyur lokal yang dulu tidak terhambat oleh kekurangan dana riset akibat korupsi.
Birokrasi? Oh, kita tidak perlu bicara soal itu. Tanpa korupsi, surat-surat penting seperti KTP atau SIM bisa selesai dalam hitungan menit. Di era Soeharto yang “bersih”, seluruh sistem pemerintahan kita berjalan efisien, seperti jam tangan Swiss. Bahkan mungkin para pejabat kita lebih sibuk membuat inovasi teknologi ketimbang duduk di kursi empuk sambil memikirkan proyek pengadaan palsu.
Dan tentu saja, kita tidak perlu menunggu Indonesia Emas 2045, karena Indonesia sudah “emas” sejak 1985. Negeri ini menjadi pusat teknologi dunia, Silicon Valley pindah ke Bandung, dan unicorn Indonesia seperti Gojek sudah mencapai Mars duluan sebelum SpaceX. Lalu, Singapura? Mereka minta tolong sama kita untuk masalah air. Rupiah? Sudah pasti lebih kuat dari Dolar AS.
Kita semua punya tabungan triliunan Rupiah di bank, hasil dari investasi saham dan kripto yang sudah diramalkan oleh anak-anak SMA jenius yang lulus di umur 14 tahun.
Sektor pertanian pun tidak tertinggal. Kita punya pabrik-pabrik robot yang dikelola oleh mantan petani yang sekarang lebih mirip insinyur. Mereka mengawasi mesin-mesin yang memanen padi, menanam cabai, dan menghasilkan kopi yang kualitasnya lebih unggul dari kopi-kopi Italia
. Dan tentu saja, semua orang bisa makan rendang setiap hari, karena harga daging sapi sudah seperti harga mie instan di masa sekarang. Surplus pangan? Bukan masalah.
Bahkan Amerika impor cabai rawit dari kita, karena mereka tidak bisa menanamnya dengan baik.
Tentu saja, tanpa korupsi, anggaran kesehatan melimpah. Setiap orang punya asuransi kesehatan yang cakupannya lebih lengkap daripada apa pun yang bisa dibayangkan sekarang. Rumah sakit? Ada di setiap sudut jalan. Penyakit-penyakit seperti demam berdarah dan malaria sudah menjadi sejarah, karena ilmuwan Indonesia sudah menemukan vaksin sejak tahun 1980-an.
Lalu, di dunia ini, apa yang kita khawatirkan?
Mungkin hanya soal memilih destinasi liburan luar angkasa yang paling seru.
Soalnya, setelah semua masalah dalam negeri terselesaikan, kita mulai berpikir ke luar angkasa. Stasiun ruang angkasa Indonesia sudah berdiri tegak, dan warganya sedang sibuk menanam anggrek di Bulan, terinspirasi oleh Soeharto yang memilih karier di dunia anggrek ketimbang politik.
Ah, tapi sayang sekali, kita hidup di realitas yang berbeda.
Indonesia Emas 2045 masih sebatas janji politik, dan mimpi soal Indonesia yang bebas korupsi masih seperti film sci-fi. Tapi hei, tidak ada salahnya membayangkan dunia ideal ini, kan?
Siapa tahu, dalam 20 tahun lagi, kita akhirnya bisa makan steak sambil menikmati pemandangan Bumi dari stasiun ruang angkasa.
Dan… tulisan di atas saya dibantu imajinasi dari kecerdasan buatan. Mesin saja memahami Indonesia bisa seasyik jika dulu tanpa KKN–tanpa Soeharto. Menurut kamu?