Tidak ada seorang pun yang hidup dalam kebahagiaan setiap harinya. Pasti akan terselip duka pada masa-masa tertentu. Terlebih sebagai manusia biasa, kita pasti pernah mengalami kesedihan dan penderitaan. Kondisi di mana hati kita merasa ciut dan ragu, bahkan kita kehilangan orientasi hidup, entah karena pekerjaan, anak, istri, tetangga, hubungan dengan orang tua atau mertua, atau bahkan karena kehilangan pacar tercinta.
Sayangnya, kita sudah terlanjur biasa untuk menghindari kesedihan. Setiap perasaan sedih datang, kita menganggapnya sebagai sesuatu yang jelek. Lalu kita mencari cara untuk menutupinya. Kita menekan atau justru lari dari kesedihan yang kita alami. Hal ini terjadi seringkali kita menganggap bahwa hidup hanya soal kenikmatan dan kebahagiaan. Ironisnya, untuk mewujudkan ekspektasi-ekspektasi tersebut, ada beberapa orang yang bersedia mencuri dan membunuh, guna mencapai kenikmatan dirinya. Seluruh pikiran dan hidup kita terpusat pada pencarian kenikmatan, tanpa henti.
Padahal, jika kita berfikir lebih dalam, kesedihan dan penderitaan adalah bagian dari kenikmatan. Ada sebuah kutipan bahwa, “Jangan lihat hujan dari apa yang jatuh, tapi lihatlah hujan dari apa yang akan tumbuh setelahnya”. Artinya, kita tidak akan tahu, apa arti dari kenikmatan dan kebahagiaan, ketika kita tidak pernah merasakan kesedihan dan penderitaan. Keduanya adalah satu paket. Meskipun berbeda, tapi keduanya saling berkelindan. Orang tidak bisa memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan, tanpa kesedihan dan penderitaan.
Dalam hal ini, kita bisa belajar dari dari peristiwa Isra’-Mi’raj. Sebuah skenario yang dibuat Gusti Allah untuk menunjukkan bahwa kesedihan dan kebahagiaan bukanlah musuh yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Seperti yang kita ketahui, bahwa sekaliber Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga pernah mengalami ‘amul huzni atau tahun kesedihan.
Pada tahun itu, kaum kafir Quraisy dan sekutunya melakukan embargo kepada umat Islam. Aksi ini masih dijalankan meskipun telah memasuki bulan haram. Artinya, Nabi beserta para sahabatnya tetap merasakan pengaiayaan dan kezhaliman dari kaum kafir quraisy dan sekutunya, meskipun pada bulan haram. Bulan dimana biasanya mereka menghentikan segala aktivitas permusuhan terhadap lawan-lawanya.
Selain itu, Kanjeng Nabi juga berduka, karena di tahun yang sama, beliau juga ditinggalkan oleh paman yang beliau sayangi. Paman yang selalu mencintai, melindungi serta membela beliau mati-matian, Abu Thalib. Tidak berhenti sampai disitu, Kanjeng Nabi juga ditinggalkan oleh istri yang begitu mencintanya, Siti Khadijah: manusia pertama yang begitu mempercayainya, manusia pertama yang menjadi makmum atas dirinya, juga mendukung apapun yang beliau lakukan, terlebih dalam mendakwahkan agama Islam.
Tebak apa yang terjadi setelahnya? Atas cobaan yang amat berat itu, kemudian Allah SWT memberikan beliau semacam “spiritual and healing tour” yang kemudian disebut sebagai Isra’ Mi’raj. Perjalanan suci ini merupakan hadiah dari Gusti Allah untuk Kanjeng Nabi Muhammad atas keduakaanya. Hal ini juga dimaksudkan Allah untuk menyegarkan kembali semangat perjuangan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan misi tahuid di bumi.
Kisah ini bisa kita jadikan renungan, untuk terus percaya dan yakin, bahwa setelah datangnya kesulitan dan kesedihan, pasti akan segera datang kemudahan dan kebahagiaan. Sebagaimana Allah sendiri yang membisikkan dan meyakinkan kepada kita dengan mengulang-ulang inna ma’al ‘usri yusra, fa inna ma’al ‘usri yusra.
Sehingga, kita bisa menarik kesimpulan, jika sekarang Allah SWT. memberi ujian yang seolah tak bertepi, yakinlah, bahwa Allah SWT sudah menyipakan “spiritual and healing tour” untuk kita. Ketika cobaan sudah dibentangkan, bersiaplah untuk di isra-mi’raj-kan.