Orang tua terkadang memberikan ekspektasi-ekspektasi tertentu kepada anak mereka. Sebagai contoh, terkadang orang tua berharap anak mereka menjadi seperti yang mereka inginkan misalkan ada orang tua yang ingin anaknya menjadi polisi, tentara, dokter, atlet, ataupun lainnya. Selain itu, ada juga orang tua yang memaksakan kehendak terhadap anak mereka. Misalnya memaksakan anak mereka untuk menjadi anak yang sangat rajin beribadah, menjadi juara kelas, jago berbahasa asing, dan sebagainya.
Sebenarnya hal tersebut sah-sah saja dan masih tergolong wajar. Sebab setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak mereka. Namun para orang tua hendaknya wajib lebih berhati-hati dengan kehendak mereka dan jangan sampai berlebihan. Pasalnya, dalam Islam sesungguhnya orang tua dilarang membebani anak mereka secara berlebihan.
Allah sendiri tidak pernah membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu saat orang tua ingin anaknya melakukan ketaatan atau ingin anaknya menjadi seperti yang mereka inginkan, hendaknya para orang tua mempertimbangkan kemampuan sang anak. Sehingga orang tua tak boleh memberikan beban yang belum sanggup dipikul oleh sang anak.
Sebagaimana Allah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Jangankan kepada anak, bahkan Rasulullah SAW pun menganjurkan umatnya untuk tidak membebani budak-budak yang mereka miliki di luar batas kemampuan mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Dan janganlah kalian membebani mereka atas beban yang mereka tidak sanggup. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seorang budak saja dilarang untuk dibebani, maka seorang anak pun juga tidak diperbolehkan untuk terlalu dibebani di luar kesanggupan mereka. Misalnya saja, seorang ibu ingin anaknya menjadi anak yang cerdas dan menjadi juara kelas. Lalu sang ibu setiap hari memberikan anaknya fasilitas pelajaran tambahan melalui bimbingan belajar. Maka hendaknya sang ibu menyesuaikan jumlah jam tambahan pelajaran tersebut dengan kemampuan fisik sang anak.
Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW saat Ibnu ‘Umar RA ingin ikut berjihad dalam peperangan bersama dengan Rasulullah SAW. Namun saat itu Rasulullah SAW menolak permintaan Ibnu ‘Umar RA, sebab Ibnu ‘Umar RA dianggap masih belum layak untuk berjihad dan berperang. Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari mengecek barisan pasukan pada perang Uhud. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Ketika itu aku berusia 14 tahun.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkanku (untuk ikut perang). Kemudian beliau mengecek barisan pasukan pada perang Khondaq, ketika itu aku berusia 15 tahun dan beliau pun mengizinkanku (untuk ikut perang).” (HR. Bukhari)
Dalam hadis tersebut terlihat bahwa Rasulullah SAW tidak membebani Umar RA di luar batas kemampuan yang ia miliki. Sebab saat perang Uhud terjadi, usia umar masih 14 tahun sehingga masih belum sanggup untuk ikut berperang. Sedangkan saat perang Khondaq akan dilaksanakan, usia Umar RA telah baligh yaitu berusia 15 tahun dan dianggap telah mampu untuk ikut berjihad. Oleh karena itulah Rasulullah SAW memperbolehkan Umar RA untuk mengikuti perang Khondaq.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya memperhatikan kemampuan anak. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menjadi imam shalat suatu kaum, maka hendaklah dia ringankan. Sebab di antara mereka ada anak-anak kecil, orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang sakit. Namun jika dia shalat sendirian, maka silahkan dia shalat sepanjang yang dia inginkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, para orang tua hendaknya lebih memperhatikan kemampuan anak. Hendaknya para orang tua tidak terlalu memaksakan kehendak dan tidak membebani anak di luar batas kesanggupan mereka. Seperti halnya yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada Ibnu Umar RA.