Oleh kebanyakan ahli, Fikih didefinisikan sebagai pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat partikular dengan metode ijtihad. Secara teknis, pengetahuan fikih bermula dari sebuah permasalahan yang baru dalam kehidupan ummat yang membutuhkan jawaban hukum, yang jawaban tersebut tidak ditemukan secara jelas dalam sumber hukum islam, kemudian membuat para peneliti (baca: mujtahid) melakukan serangkaian proses olah fikir (baca: ijtihad) untuk merumuskan jawabannya.
Sebagai sebuah contoh, seorang wanita bertanya kepada para Sahabat Nabi apakah dia harus melepaskan gulungan rambutnya saat mandi besar. Jawaban persoalan ini tidak ditemukan dalam referensi sumber hukum Islam, sehingga para Sahabat kemudian melakukan ijtihad menggunakan sumber hukum yang ada, kemudian merumuskan sebuah jawaban bahwa wanita tersebut wajib melepaskan gulungan rambutnya. Jawaban mayoritas sahabat ini nyatanya berbeda dengan pendapat salah satu istri Nabi, yaitu Aisyah yang menyatakan bahwa dirinya pernah mandi besar tanpa melepaskan gulungan rambut, dan Nabi membiarkannya.
Tentu saja, secara praktis, pengetahuan fikih, karena ia merupakan sebuah hasil ijtihad, secara praktik baru terjadi sesudah zaman kehidupan Nabi. Pada saat Nabi masih hidup, nyaris semua persoalan hukum yang ada menemukan jawabannya lewat pernyataan Nabi yang merupakan representasi wahyu ilahiyyah. Di sinilah mesti kita pisahkan antara syariah dengan fikih.tak semua syariah merupakan produk fikih, sementara semua produk fikih, nyatanya adalah merupakan bagian dari syariah.
Ada beberapa tools (alat) yang mesti disiapkan untuk bisa merumuskan sebuah jawaban hukum yang membutuhkan proses ijtihad. Beberapa kemampuan mesti dimiliki. Sebut saja, kemampuan berbahasa Arab yang baik, menguasai semua perbendaharaan sumber hukum Islam utama, yakni Al-Quran, hadits, dan kesepakatan para Sahabat (Ijma’), serta metodologi yang digunakan seperti istiqro’ (penelitian empiris), istibra’ (teori bahwa tak ada hukum hingga kehadirannya), dan lain sebagainya.
Dalam penerapannya, secara umum ada dua model yang biasa dipakai oleh para ulama mujtahid dalam merumuskan sebuah hukum, yakni metode tekstualis dan metode rasional atau kontekstualis. Disinilah menariknya fikih. Dari sebuah permasalahan yang sama, ia bisa menghasilkan produk jawaban yang berbeda. Tidak perlu merasa cemas, apapun jawabannya, asalkan memiliki sumber dan argumentasi yang jelas, jauh-jauh hari Nabi sudah menjamin akan keselamatan keduanya.
Ambil sebuah contoh –dan ini kontroversial-, ketika hadir sebuah masalah bolehkah perempuan menjadi seorang pemimpin. Ulama tekstualis akan menjadikan ayat “Kaum pria menjadi pemimpin bagi kaum wanita” (QS An-Nisa: 34) sebagai referensi mereka dalam mengharamkan pemimpin perempuan. Argumen tersebut kemudian dibantah oleh kelompok kontekstualis bahwa ayat tersebut terkait pada persoalan kepemimpinan domestik antara suami dan istri karena penyebab turunnya ayat tersebut adalah terkait sengketa seorang suami dan istri. Berangkat dari bantahan tersebut, kelompok tekstualis akan berargumen menggunakan kaidah bahwa: “Pertimbangannya adalah dari keumuman makna kata, bukan kekhususan penyebab”.
Argumentasi akan terus berlangsung, perbedaan pendapat akan selalu ada dalam hal ini karena tentu saja hasil pemikiran sesorang pasti akan berbeda dengan pemikiran orang lainnya.
Persoalan justru hadir ketika seseorang terlalu menganggap absolut dengan sebuah pendapat fikih sehingga menisbikan pendapat fikih lain dan menganggapnya sebagai sebuah kesesatan. Ini kerap terjadi di lingkungan kita. Bangsa kita yang cukup sensitif dengan persoalan keagamaan, sering mengalami pergesekan hanya karena perbedaan pandangan terkait persoalan tertentu yang sebetulnya itu adalah persoalan partrikular cabangan, bukan pokok asasi. Runyamnya lagi, terkadang kepentingan politik ikut memperkeruh suasana.
Persoalan selanjutnya adalah terkait kapabilitas. Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa butuh banyak peralatan bagi seseorang yang ingin melakukan ijtihad untuk merumuskan sebuah jawaban persoalan. Ia harus menguasai bahasa Arab, ia harus menguasai sumber hukum utama dan paham bagaimana cara membacanya. Ia juga harus hafal pada persoalan mana beberapa Sahabat Nabi berbeda pendapat dan apa yang melandasinya. Sebegitupun, meski telah memiliki semua kemampuan, secara personal, Imam Malik memilih diam tak menjawab ketika berbagai macam persoalan disodorkan pada diri beliau karena merasa belum menguasai besar persoalannya.
Lihat di sekeliling kita sekarang. Bertebaran sekali ustadz-ustadz dadakan yang dikarbit oleh media yang tak jelas pengetahuan keislamannya didapat darimana, tetiba muncul dan menjawabi persoalan umat semuanya secara serampangan.
Izinkan saya menutup tulisan ini dengan ajakan agar kita menyudahi perselisihan akibat perbedaan pandangan pada persoalan furuiyyah, dan berhentilah meminta pendapat pada yang bukan ahlinya.