حديث أبي هريرة قال: قال رسول الله ﷺ: إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبتْ فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح[1]، متفق عليه.
Hampir semua suami pernah mendengar hadist ini dengan seyum bahagia. Istri juga lebih sering mendengarnya, tapi tidak ada seyum yang sama. Hadist ini menyatakan: bahwa bila suami mengajak istri berhubungan badan, lalu istri enggan melayaninya, dan “karenanya suami marah”, maka malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Hadist ini seringkali dihubungkan dengan ayat -sakti laki laki- “ar rijalu qawwamuna ala an nisa'”, yang menghendaki ketaatan penuh seorang istri kepada suaminya, di semua konteks, termasuk konteks senggama.
Benar, hadist ini adalah hadist shahih, tapi bagaimana memahami hadist ini? Apa konteks khusus dan konteks umum nya? Mengapa hadist ini dihubungkan dangan ayat “ar rijalu….”, dan barangkali hanya ada sedikit yang menghubungkan dengn ” hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna-istri istri adalah pakean suami, dan (jangan lupa), suami adalah pakean istri”?
Pertama: di dalam teks hadist ada kata ” fa bata ghadbana” yang artinya “lalu suami tidur dalam keadaan marah”. Ini berarti, istri akan dilaknat malaikah, jika suami marah. Mafhum mukhalafahnya (arti sebaliknya), jika suami tak marah, maka malaikat tak melaknatnya.
Pertayaannya, berhakkah suami marah? Jawabannya terkait dengan konteks khusus dan umum hadist ini. Jika suami telah memenuhi semua kewajibannya, nafkah sejak pagi hari, seluruh pekerjaan rumah tangga yg menjadi kewajiban suami sudah dilakukan, seperti mencuci, memasak, menyapu, mandikan anak, mengantar anak sekolah, menyetrika, rapi rapi rumah, dan pekerjaan rumah lainya, sementara istri “duduk manis” menunggu suami kerja, kemudian setelah selesai semua kewajiban suami di atas, lalu meminta kepada istri untuk melakukan hubungan badan, dan istri menolak, maka dilaknatlah oleh malaikat.
Tetapi, jika semua pekerjaan rumah dilakukan oleh istri, bahkan nafkah juga istri yang menanggungnya, bahkan ada istri yang sejak jam 3 malem sudah ke pasar. Di sisi lain lain suami “duduk manis”, lalu setelah istri melakukan semua pekerjaan rumah termasuk nafkah, suami meminta, dan marah karena ditolak, maka… mungkin malaikat yang marah dan melaknat suami yamg seperti ini. Wallahu a’lam.
Kedua: seharusnya, hadist ini juga dihubungkan dengan ayat “bahwa istri adalah pakean suami dan suami adalah pakean istri”. Indah sekali al Qur’an mengambarkan dengan pakaian. Pakaian adalah kehangatan dan perlindungan, pakaian adalah identitas, pakaian adalah kebanggaan. Ayat ini dengan tegas meyatakan bahwa istri dan suami “saling menjadi pakean” dari yang lain. Istri adalah kehangatan suami sebagaimana suami kehangatan istri”.
Jika suami tidak menjadi pakean istri dan sebalinya, maka berarti berarti ia melepaskan pakaiannya, membiarkan tubuhnya membuka aurat (dalam makna luas)
Jadi semangat ayat ini adalah “menjaga kesalingan itu”. Hubungan seks adalah hak dan sekaligus kewajiban suami istri. Itulah semangat ayat. Ini substansi ketahanan keluarga, bukan ketahanan keluarga yang semu.
Maka hadist di atas, harus diletakkan dalam konteksnya yang tepat, dan bandingkan dengan hadis lain, terlebih dengan ruh ayat al Qur’an. Jangan hanya menggunakan satu hadis, lalu merasa paling benar. Wallahu a’lam.