Dinamika pertarungan politik kita telah membelah siapa pendukung Prabowo dan koalisi politiknya dengan Jokowi dan pendukungnya. Babak yang dimulai dari Pilpres di masa lalu belum usai. Sampai saat ini aromanya masih hangat-hangat. Pendukung Prabowo tampak sekali, muncul dari aksi 212 dengan Anis-Sandiaga Uno sebagi pionnya. Meski begitu daya tahan pendukung Prabowo di parlemen, termasuk PAN dan Golkar, kemudian mreteli. Ikut koalisi Jokowi di dalam pemerintahan. Soal loyalitas masih bisa berubah.
Sementara di luar parlemen, dari kasus Jakarta dan aksi 212, tampak nyata pendukung politik Prabowo, di kalangan sipil adalah para Islamis, seperti orang-orang PKS, FPI, dan para Islamis lain, juga sebagian orang-orang Kristen yang banyak juga tergabung dalam Gerindra; dan karenanya juga para Thionghoa juga. Meski Prabowo sendiri adalah Gerindra, partai sekular dan orang sekuler, dan tidak faham banyak soal ilmu-ilmu agama Islam, tapi dijadikan cantelan penting.
Bersatunya kubu Islamis dengan orang sekuler seperti yang bergabung di Gerindra, tidaklah mengherankan, karena presedennya dulu juga pernah ada, yaitu Masyumi dan PSI. Bahkan saat itu pentolan-pentolan kedua kubu berani melampaui kepatutan perbedaan politik, yaitu melakukan langkah pemberontakan PRRI Permesta, dengan dukungan kekuatan kapitalis Amerika, sebagaimana dikatakan oleh beberapa buku. Oleh karena itu, dalam praktiknya, Islamis itu juga bisa saja bergabung dengan orang-orang yang notabene sekular, seperti Prabowo, dan dulu dicontohkan Natsir dengan Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo. Mereka bisa dan mungkin bergabung sebagai kekuatan politik, sudah banyak contohnya.
Hari-hari ini, hal itu juga terjadi, dan para Islamis diletakkan sebagai palu godam, menghantam dengan bahasa sarkasme agama. Jangan membayangkan ini pertarungan untuk memperjuangkan agama an sich. Sementara para ahli politik, yang notabene juga anak cucu Masyumi yang belum berubah, menggunakan analisis dan meminjam argumen demokrasi untuk membantu rekan-rekan mereka dari kubu Islamis. Yusril Ihza Mahendra merupakan contoh konkrit dari hal ini, meskipun demokrasi dianggap kufur sama para Islamis radikal. Itulah politik. Sementara partai politik yang awalnya mendukung Prabowo, kini ikut koalisi Jokowi, seperti PAN, tokohnya memainkan politik babat kanan kiri OK, seperti dilakukan Amien Rais.
Ini adalah politik. Perang Badar tak akan pernah terjadi beneran, seperti diancamkan Amien Rais. Karena perang Badar sesungguhnya telah dituntaskan Kanjeng Nabi, dan Amien Rais terlalu berlebihan untuk mensejajarkan dirinya sebagai pangliman tertinggi perang Badar, Kanjeng Nabi Muhammad. Amien Rais sangat sadar bahwa ini adalah pertarungan politik. Dan kekuatan politik yang dimiliknya kecil, dan rekan-rekan dekat kulturalnya ada di kalangan anak cucu Masyumi. Maka cara politik dengan bahasa ilmu politik yang dikhotbahkannya ketika ia menjadi dosen politik, menjadi tidak menarik lagi. Dia akhirnya menempuh jalan politik dengan bahasa agama, misalnya dengan mengakuisisi istilah perang badar. Dan sangat sadar, bahwa hanya bersama kubu Islamis, dia bisa tampil kembali, dengan berbagai pertimbangan keuntungan. Karena sejak awal startnya, sudah ada di kubu Prabowo.
Maka tidak akan menjadi soal lagi, dan bukan fatsoen lagi pertimbangan pentingnya, dalam komunikasi politik yang digunakan. Kalau Anda orang Kristen atau Katholik ada di pihak Jokowi, anda akan menjadi alasan, Jokowi dikelilingi kelompok non-muslim, antek-antek kafir. Tapi kalau Anda orang-orang Kristen di pihak Prabowo, tidak jadi masalah. Kalau Anda orang Thionghoa, mendukung Jokowi, Anda akan kena hantaman China Komunis di sekitar Jokowi. Kalau Hary Tanoe ke pihak Prabowo, tidak masalah. Malah kalau perlu, kalau terjadi kasus, akan dibantu. Kalau Jokowi berinteraksi dengan pemerintah China, dan Anda mendukungnya Anda akan dihantam sebagai pendukung komunis: PKI telah bangkit. Tapi ketika Raja Salman ke China, tidak masalah. Biasa aja. Ini adalah politik pertarungan, jangan termakan isunya.
Perppu No. 2 tahun 2017 adalah medan tempur lanjutan, setelah Pilkada Jakarta. Medan tempur yang menggunakan wahana yang lebih rumit. Pada satu sisi, ada kekhawatiran yang kuat, terhadap kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah dan kubu Islamis lain; dan kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan dengan baju agama, untuk mengeksekusi kelompok lain: sipil by sipil. Dirasakan jumlah mereka kian hari kian besar, di kampus-kampus, dan dalam diskusi-diskusi sudah ada kekhawatiran di kalangan birokrasi. Kalau tidak cepat diambil langkah yang tepat untuk mengerem mereka, akan membahayakan kondisi bangsa kita di masa depan.
Pada sisi lain, hampir tidak pernah ada ketegasan dalam merespon mereka ini, dengan alasan tidak ada payung hukum yang memadai, seperti 2 periode pemerintahan SBY yang seperti poco-poco itu. Bahkan, ketika misalnya kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah menjadi besar sekalipun, dibiarkan saja. Perpu No. 2 adalah medan tempur politik yang merepresentasikan pertarungan demikian ini.
Pengkritiknya, kalau para Islamis dan kubu sekuler pro Islamis, sudah bisa difahami alurnya dan maklum. Seperti Fachri Hamzah, Fadhli Zon dan Amien Rais. Maklum, dan tidak perlu analisis canggih-canggih dan ndakik-ndakik.
Tapi ada juga dua kelompok yang juga mengkritik:
Sebagian pegiat HAM. Mereka ini memperjuangkan hak-hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Rujukan greatnya adalah konvensi internasional. Perppu itu dianggap menghambat hak-hak dasar warga negara. Tidak peduli, yang berpendapat itu kelompok yang ingin mengganti Pancasila sekalipun, bahkan mengubah dasar negara. Kelompok ini, sejatinya adalah menginginkan negara yang liberal dengan nilai-nilai HAM penuh. Sehingga bagi mereka, mau terbentuk negara khilafah, negara komunis, atau negara apa saja, syah, sejauh itu dilakukan kelompok warga negara dan memperoleh dukungan.
Kelompok seperti ini sebagai sebuah masyarakat, cocok di negara-negara liberal seperti Amerika dan Eropa, yang nilai-nilai HAM, telah mengakar membentuk negara sekular, sehingga tawaran seperti negara khilafah atau negara komunis, seperti di Amerika, tidak akan laku, dan layu dengan sendirinya. Tapi kalau Anda membiarkan hal seperti itu di Indonesia dan menjadi dominan, yang susunan masyarakatnya berbeda dengan di Amerika, Anda akan menemukan gagasan mereka ini, bila diemplementasikan: apakah bangsa Indonesia akan bisa utuh dan tetap berdiri, ataukah akan tercabik-cabik, dalam kehancuran, sangat musykil. Dan itu bagi kelompok ini, tidak penting untuk ditelaah ke detilnya, bagaimana konsekuensinya bagi Indonesia. Jumlah mereka ini, selalu tidak pernah besar, kalau sudah dihadapkan pada pilihan mempertahankan eksistensi negara di pertaruhan tertakhir.
Mereka adalah kelompok bunga-bunga dari sudut kekuatan politik. Dan sikap mereka menguntungkan kaum intoleran dan kelompok yang suka melakukan kekerasan, yang dimungkinkan menjadi objek Perppu itu. Dalam pertarungan politik, yang paling terakhir, bila terjadi pertarungan yang sebenarnya, mereka yang bertendens HAM sepenuhnya akan berpihak pada narasi pemberontak, seperti ditunjukkan dalam kasus Suriah.
Kelompok bunga-bunga yang lain, adalah kaum yang mengidentifikasi, berangkat dari tendensi kiri, juga mengkritik Perppu itu. Mereka khawatir akan bisa digunakan untuk membabat kelompok sipil lain. An sich analisisnya hanya soal hak berserikat, dan berpendapat yang harus dilindungi, sama seperti kelompok yang mendambakan negara liberal, dan sejatinya mereka juga kelompok pendamba negara liberal dalam bentuk lain. Cara mereka dalam berargumen saja yang berbeda, yaitu menganalisis Negara sebagai alat kelompok kelas. Yang penting bagi mereka Perppu dikritik, tapi bagaimana menghadapi kelompok Islamis, mereka tidak penting menarasikannya.
Dalam pertarungan yang terakhir, seperti dicontohkan di Suriah, kelompok-kelompok yang punya kecenderungan seperti ini, bergabung dengan pemberontak dalam garis kelompok sekuler; dan menjadi anak emas Amerika; bersekutu dengan para Islamis. Gayanya saja ndakik-ndakik dalam berargumen dengan tendensi analisis kelas dan kiri. Sementara posisi mereka, akan menguntungkan kelompok intoleran dan suka kekerasan dalam menghakimi kelompok lain.
Mereka ini, sudah jumlahnya kecil, hadirnya juga hanya di ruang-ruang diskusi. Sebagai kelompok bungan-bunga, semakin keras bersuara, mereka semakin mendapat kepuasan, dan memperoleh eksistensinya, dan seperti melambung dihargai orang: seperti tampak di luarnya sebagai kelompok idealis. Padahal, mereka adalah kelompok yang mudah digalang untuk memukul, tanpa sadar mereka menguntungkan posisi politik tertentu, dan dalam kasus Perppu adalah lawan politik Jokowi.
Sama seperti Islamis, mereka bukan kelompok penentu, tetapi kelompok bunga-bunga: yang akan puas setelah menumpahkan segala teori-teori, dan analisis, tetapi analisis mereka ini menguntungkan kekuatan politik apa, berhadapan dengan kaum Islamis, mereka tutup mata. Tepatnya mereka adalah pendukung Islamis di jalur yang lain. Mereka ini, bersama pegiat HAM yang tidak mengawinkan dengan kontekstualisasi dan hanya merujuk pada dalil-dalil HAM, bertarung di kelompok sipil, sebagai kelompok bunga-bunga, adalah para pengkritik Perppu. []