Suatu sore sepulang kerja, waktu menunjukkan sudah memasuki maghrib. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari kampung sebelah. Karena tidak ingin ketinggalan jamaah maghrib di masjid kompleks, bergegas saya menyambar sepeda dan langsul pancal ke masjid.
Saya bersyukur ternyata sholat belum dimulai. Justru masjid relatif masih sepi. Hanya ada dua jamaah yang sedang duduk di dalam. Tak selang berapa lama saya ikut duduk, salah seorang bapak yang sudah ada sejak tadi menyodorkan mikrofon kepada orang yang masuk bareng dengan saya. Oh, masih belum adzan, pikir saya. Tetapi tiba-tiba, mikrofon ditaruh kembali, si orang itu berdiri diam. Ada apa? Selang beberapa saat, terdengar suara alarm “TIIIIII…….TTTTT!!!!”. Dengan sigap mikrofon disambar dan lantas terdengar kumandang adzan dari orang tadi. (Bagi yang belum familiar, alarm waktu sholat sedang nge-trend di masjid-masjid perkotaan belakangan ini).
Dengan takjub saya berkata dalam hati, “Allahu Akbar, Pekok e…..!!!!”
Kenapa harus menunggu alarm berbunyi dulu sih untuk adzan? Padahal jelas-jelas waktu sudah memasuki maghrib. Adzan sudah menggaung dari beberapa masjid sekitar. Ada dalam benak saya untuk membisiki Muadzin itu “Ini waktu sholat Akh, bukan absensi kantor” tapi urung saya lakukan.
Sepulang sholat, jadi teringat dengan kebodohan saya yang sama beberapa tahun sebelumnya. Waktu itu pulang dari dinas, semobil dengan teman-teman kantor di Denpasar. Tiba-tiba mbak Putu nyeletuk, “Loh, lu nggak batalin puasa? Kan dah waktunya”. Sambil liat HP, saya jawab “Ntar, masih kurang dua menit.” Doski langsung bales lagi “Halah, dua menit sih nggak material”.
Mendengar celotehan Mbak Putu yang notabene beragama Hindu itu, saya merasa tertonjok. Seolah-olah Doski bilang, ini orang Islam ribet banget cara beribadahnya. Saya langsung menyadari ketololan saya bahwa matahari sudah terbenam, dan saya lebih percaya kepada aplikasi HP. Jahilun Murokkab!
Qur’an mengatur waktu sholat berdasarkan posisi matahari, bukan jam. Dan waktu sholat adalah interval, bukan berhenti pada satu waktu. Jadi sudah memasuki waktu dzuhur adalah ketika matahari sudah mulai condong ke barat sampai dengan bayangan sudah sama panjang dengan objeknya. Baru kemudian masuk waktu ashar sampai matahari tenggelam, dsb.
Sekarang kita semua dipendekkan nalarnya dengan maghrib adalah jam 18 lebih sekian menit pas (tidak kurang, tidak lebih), di mana sebuah stasiun TV menayangkan perjalanan ke Raja Ampat hanya untuk mengumandangkan adzan. Ternyata ada ya madzhab yang untuk adzan pun, harus jauh-jauh terbang ke Papua.
Belum habis kaget saya dengan terciptanya alarm adzan di masjid, muncul tambahan tips dalam ber-sholat yang ditempel di masjid kantor. Point pertama yang menjadi kurikulum adalah, kesalahan dalam sholat, dengan pasal pertama – tidak menyegerakan sholat setelah mendengar adzan adalah suatu kesalahan.
Loh, berarti sholat yang tidak segera setelah masuk waktunya itu salah. Kalau salah berarti tidak sah. Tidak diterima Tuhan. Saya yang sering terlambat dalam sholat langsung “gemetar”. Jadi, sholat yang selama ini saya lakukan, sia-sia!
Bandingkan dengan di kampung, adzan ashar berkumandang sekitar setengah lima sore adalah hal yang biasa. Bukannya tidak mau tepat waktu, jam segitu adalah waktu normal petani selesai nyawah. Bayangkan kalau waktu manjing ashar, harus sholat di masjid, maka minimal jam 2-an siang para petani harus sudah berada di rumah. Butuh waktu juga untuk membersihkan lumpur-lumpur dan keringat. Jika setelah sholat ashar mereka harus ke sawah lagi, tentu tidak efektif. Dan perlu digarisbawahi lagi, jangan mengecap orang-orang di kampung malas adzan, muadzinnya sendiri jam segitu masih ada di sawah.
Jadi kangen dengan komentar bijak seorang Kyai, “Ealah, cah kui sregep banget. Wes mlebu wayah maghrib wae ijek gelem sholat Ashar.”
Gelombang islam yang sekarang populer justru islam yang formal dan kaku. Islam yang harus dapat diukur, accountable, kasat mata dan bisa dibandingkan-bandingkan. Entah antar sesama orang islam, atau dengan pemeluk agama lain. Di mana untuk sholat harus ada orang lain yang tahu agar bisa menjadi saksi atas kealiman kita. Jika tidak ada yang pernah menyaksikan engkau sholat, maka engkau adalah kafir! No matter what!
Padahal sejatinya agama adalah jalan untuk menemukan keromantisan pribadi dengan Tuhan, melebihi keromantisan hubungan suami istri. Bagaimana mungkin engkau mengeloni istrimu di depan umum?