Islam: Teroris, Aksesoris, dan Turis

Islam: Teroris, Aksesoris, dan Turis

Ada banyak varian umat islam, lengkap dengan segala kekhasannya. Tapi, jika mengajarkan kekerasan, maka itu bukanlah islam.

Islam: Teroris, Aksesoris, dan Turis

Gambar meme saat ini menjadi media alternatif dalam mengampanyekan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sifatnya serius. Parodi itu berbentuk visual, misalnya, belum lama ini, sempat ramai di media sosial dengan ilustrasi gambar meme yang membicarakan ihwal ‘ciri’ keislaman seseorang. Bagi penulis, ada dua tokoh yang cukup menarik.

Pertama adalah meme yang memberikan ilustrasi perihal Rizieq Shihab, sang komandan Front Pembela Islam (FPI), yang dalam setiap orasi selalu berteriak-teriak “Allahhu Akbar”. Gambar itu seolah ingin berkata wajah orang Islam yang identik dengan kekerasan. Mungkin karena kelompok dari Rizieq Shihab itu seringkali memaksa dan membubarkan kegiatan yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam.

Kedua adalah meme perihal Abu Bakar Ba’asyir. Setahu penulis, sampai saat ini,  ia masih ditahan oleh pihak kepolisian karena diduga pernah mendalangi beberapa aksi teror, walaupun banyak kontroversi atas kasusnya di persidangan. Pada gambar  itu, Ba’asyir disebut sebagai orang Islam teroris. Mungkin karena ia dan kelompoknya kerap melakukan terror dan menebar ideologi kekerasan.  Di samping itu, ada juga jenis ketiga. Yakni orang Islam yang suka dengan aksesoris, simbol-simbol agama.

Segala sesuatu yang berkaitan dengan agama diukur dari cara seseorang memakai sebuah pakaian atau busana. Jadi, menurut mereka yang tunduk pada identitas ini—simbol agama atau aksesoris itu—kesalehan seseorang diukur dari seberapa panjang jenggotmu, seberapa longgar jilbab atau baju kurungmu, seberapa cingkrang celanamu, dan betapa muslimahnya kamu jika wajahmu tertutup cadar.

“Orang Islam itu ya harus seperti apa yang di Arab, karena kan Islam datang dari Arab,” kira-kira begitu anggapannya.

Ada sebuah cerita menarik yang dilontarkan oleh Prof. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ketika beliau sedang berada di salah satu masjid di Kairo, Mesir. Waktu itu beliau hendak melaksanakan shalat berjamaah. Pakaian yang beliau kenakan kebetulan pada saat itu adalah sarung batik bermotif bunga. Ketika hendak memasuki masjid, beliau dilarang oleh salah seorang penduduk di sana, karena pakaian yang yang beliau kenakan dikatakan sebagai tasyabbuh binnisa’ (menyerupai perempuan), dan haram bagi laki-laki mengenakan sarung tersebut.

Beliau pun lalu menimpali pakaian jubah (baju kurung) yang dipakai oleh orang Mesir itu, bahwa di Indonesia, pakaian yang dikenakan (jubah/baju kurung) itu juga dipakai oleh perempuan, karena bentuknya yang mirip dengan daster, yang awam dipakai ibu-ibu. Akhirnya pun beliau diperbolehkan masuk masjid, karena keduanya sama-sama saling memahami. Apa yang menarik di sini?

Ya, perbedaan budaya dan cara pandang, beda substansi dan konteks. Maka dari itu, tidak perlu kiranya orang buru-buru menghakimi, mengharam-haramkan, apalagi menyesatkan seseorang. Terlebih dalam beragama (terutama dalam berpakaian atau berbahasa) dan seolah harus meniru budaya Arab. Misalnya,  ngaji harus pakai lagu Arab, seperti Bayati, Shoba, Hijaz, Jeharka, sementara jika ada yang melantunkan al-Qur’an dengan langgam Jawa, Dandanggulo, Maskumambang, Sinom, Megatruh, itu tidak ngarobi (kurang arab-ed) dan bila tidak ngarobi itu tidak islami,  dan tentunya tidak boleh. Inilah letak kegagalan berpikir seseorang.

Ternyata, di tengah-tengah umat beragama ternyata masih banyak yang belum memahami perbedaaan antara agama dan budaya. Dan ngerinya lagi jika banyak kalangan umat Islam yang berusaha ‘mengagamakan’ budaya,  sehingga segala sesuatu yang berbau Arab, itu adalah agama, dan wajib untuk ditiru. Begitu ya akhi, ya ukhti.\

Islam Turis

Selanjutnya adalah Islam turis. Islam turis ini dipakai oleh Gus Dur dalam tulisannya yang berjudul Tradisionalisme yang Diinginkan dalam buku Gus Dur Bertutur. Beliau mengatakan, kalau orang yang suka berziarah kubur (nyarkub), disebu sebagai ‘turisme agama’.  Yaitu seorang yang berjalan ke makam-makam para wali, melakukan ritual dari satu kuburan ke kuburan yang lain.

Padahal, apabila dilihat oleh kacamata Islam yang kearab-araban, tradisi seperti itu adalah bid’ah.  Pelakunya adalah musyrik (menyekutukan Tuhan) karena dianggapnya berziarah itu menyembah atau meminta kepada kuburan.  Tetapi, bagi pelaku ziarah atau min ahli sarkubin (orang yang suka nyarkub atau sarjana kuburan), itu bagian dari pelestarian tradisi. Contoh itu bisa kita lihat,  bagaimana masyarakat Islam Jawa ketika mempunyai hajat, dia berziarah ke makam-makam para wali yang dianggapnya mempunyai kedekatan dengan Sang Pencipta.

Ketika menjelang hari raya atau bulan Ramadhan, ada tradisi yang namanya nyadran. Hal ihwal itu adalah suatu warisan yang tidak bisa ditinggalkan oleh muslim Nusantara. Dalam bahasa Gus Dur—Pribumisasi Islam—itu hadir di sini. Bagaimana masyarakat tidak tercerabut dari akar budayanya dengan proses arabisasi dengan meniru Timur Tengah. Sebagaimana diketahui bersama bahwa di wilayah Arab, terutama di Saudi Arabia, banyak peninggalan, situs sejarah, yang dibumihanguskan oleh pemerintah Saudi atas nama menghindari kemusyrikan, pengkultusan, sehingga warisan sejarah pada masa Rasulullah Saw. yang seharusnya bisa dinikmati saat ini, malah dilenyapkan.

Apabila pribumisasi Islam ini dipahami oleh orang Islam dengan baik, maka tidak perlu risau juga ketika muncul istilah ‘Islam Nusantara’ dewasa ini. Di mana hal itu bukan bermaksud untuk memecah adanya Islam yang bermacam-macam, akan tetapi, agama Islam yang menghargai lokalitas yang ada di wilayahnya masing-masing. Lagi-lagi dalam istilah Gus Dur, terkait Pribumisasi Islam—yang bukan berarti ‘jawanisasi’ ataupun ‘sinkretisme’—Islam harus tetap berada pada Islamnya, al-Qur’an juga tetap harus menggunakan bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal itu telah menjadi norma. Karena pribumisasi Islam adalah memadukan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.

Pada akhirnya, cita rasa keislaman yang dilakukan oleh seseorang mempunyai nilai spiritual yang berbeda-beda tingkatannya. Ada yang merasa belum sempurna (kaffah) keislamannya kalau belum melakukan sweeping dan kekerasan. Ada juga yang merasa belum berislam kalau tidak memakai jubah, berjenggot, dan isbal. Ada juga yang belum merasa puas keislamannya ketika tidak berziarah dalam satu minggu, seperti yang dilakoni para ahli sarkub (sarjana kuburan).

Jenis keislaman orang yang gemar melakukan teror, kekerasan, mengumbar kebencian, serta jenis keislaman seseorang yang tunduk pada identitas dan simbol budaya Arab; seperti pakaian dan penggunaan istilah yang kearab-araban, adalah bagian dari bentuk keislaman yang lebih cocok hidup di negara bagian Timur Tengah. Sementara orang Islam Indonesia, tentu mempunyai corak keislaman tersendiri yang tidak harus meniru Arab, tetapi nilai Islam itu bisa melebur ke dalam kultur dan nilai lokalitasnya masing-masing, yakni dengan menghargai keanekaragaman budaya, toleransi, yang nirkekerasan. Bukan begitu, bukan? Wallahhua’lam.[]

Muhammad Autad An Nasher adalah Aktivis di Jaringan Gusdurian Indonesia. Bisa ditemui di @autad