Selamat Hari Demokrasi Internasional
Di awal bulan September ini adalah awal masuk kampus bagi mahasiswa, biasanya diawali dengan orientasi-orientasi bertingkat-tingkat dari universitas hingga jurusan. Mahasiswa baru seakan-akan harus menjalani proses inisiasi dulu agar mereka menyandang status baru yaitu MAHASISWA.
Sebuah status yang dalam teori-teori ospek bisa berarti macam-macam, mulai Agent Of Change sampai Kupu-Kupu (kuliah-pulang-kuliah-pulang). Yang jelas seorang yang beberapa bulan lalu melepaskan status siswanya sekarang sudah menambahkan MAHA di depan status siswanya. Apakah perubahan status ini akan berdampak positif pada diri masing-masing?
Hidup di masa yang populisme menjadi trend sekarang ini, menjadi tantangan bagi dunia intelektual khususnya kampus. Tempat yang bagi banyak orang adalah tempat yang menjadi benteng akan keilmuan-keilmuan yang terhindar dari kejumudan apalagi sikap menang sendiri. Kampus seharusnya bisa menjadi tempat mendidik anak-anak muda kita sebagai pejuang terdepan melawan ketidak adilan apalagi penindasan kepada mereka yang bisa digolongkan sebagai mustadhafin.
Kampus seharusnya menjadi lokomotif perubahan dalam pribadi mahasiswa masing-masing hingga masyarakat. Bukan malah menjadi alat pemerintah yang ingin melakukan penindasan kepada kalangan mustadhafin, atau juga menjadi stempel perilaku penggilasan pemerintah kepada masyarakat lemah.
Sedangkan jika kita berkaca pada kalangan Islam progresif, Alih-alih menjadi pembela umat yang tersingkir (mustadhafin), sebagaimana spirit Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, Islam Politik saat ini masih lebih banyak mengangkat isu-isu identitas dan sentimen sektarian. Ini menjadi problem serius bagi Islam Politik di Indonesia yang indikatornya dapat dilhat pada menguatnya berbagai organisasi Islamis pasca reformasi. Artinya, konsepsi Islam sebagai agama pembebasan kaum tertindas pun belum menjadi wajah dari berbagai organisasi Islam maupun Islam Politik secara keseluruhan.(Iqra Anugerah dan Fathimah Fildzah Izzati, 2017: 52)
Farid Esack dari Afrika Selatan yang dikenal sebagai pejuang kesetaraan dan demokrasi di Afrika Selatan. Pernah menuliskan “Saya ingin sedikit merenung soal sifat alamiah dari politik dan juga ‘berada di atas’nya kaum agamawan dalam rangka memahami hubungan antara politik dan keimanan. Saya juga tidak ingin terjebak bertele-tele soal manipulasi terhadap agama untuk kepentingan politik sesaat-sesuatu yang nyata-nyata ada den bertentangan dengan semangat sosial: saya ingin sedikit beranjak melampaui masalah penyalahgunaan terhadap agama kita yang kasat mata ini dan beralih ke masalah lebih menyentuh kita, kepercayaan kitam pemahaman teologi kita, kompleksitas permasalahan kita hingga tanggung jawab kita.”
Farid Esack menegaskan setiap keberagamaan yang gagal melihat melihat adanya keterkaitan antara kemiskinan dan struktur sosial yang melahirkan dan mempertahankan kemiskinan serta ketidakadilan, lalu bergerak untuk membantu para korban itu, maka keberagamaan itu tak lebih baik dengan struktur sosial tadi. Karena ia terlibat dalam kejahatan tersebut
Terkait dengan itu, mobilisasi massa pada aksi mahasiswa saat ini perlu kita pertanyakan apakah lebih banyak menyuarakan tuntutan yang tidak berkaitan langsung dengan persoalan pembebasan umat dari belenggu permasalahan aktual keseharian yang mencekiknya atau tidak? Namun sekarang kitalah yang mana mau berpihak ke mana? Apakah kita berdiam dengan berbagai alasan yang kebanyakan dibuat-buat, dan itu sama saja kita memberi angin terhadap ketidak adilan tersebut?
Aksi perlawanan para petani pegunungan Kendeng yang sampai sekarang belum berhenti, melawan penindasan negara atas hak tanah dari masyarakat adat yang sudah lama hidup di sana. Meninggalnya bu Patmi seakan-akan tenggelam akan janji-janji pemerintah selama ini.
Para petani pegunungan Kendeng tidak sendiri, baru-baru ini kita disuguhi betapa beratnya perlawanan masyarakat adat Sunda Wiwitan atas gugatan mempertahankan wilayah adatnya memasuki babak baru setelah eksekusi aset situs Cagar Budaya Nasional Masyarakat Adat Masyarakat Karuhun Urang pada 24 Agustus 2017 lalu gagal dilaksanakan oleh Juru Sita PN Kuningan.
Salim Kancil dan Tosan adalah salah satu perjuang agraria yang harus merasakan kerasnya pemberontakan kepada korporasi yang memiliki dana besar untuk melakukan apa saja demi merebut lahan yang selama ini didiami atau dimiliki secara turun menurun dari nenek moyang mereka.
Mereka-mereka ini hanyalah sebagian kecil perjuangan yang sebenarnya bisa mendapatkan dukungan lebih besar lagi dari para mahasiswa saat ini. Isu-isu seperti agraria, penindasan umat beragama minoritas, dan isu HAM lainnya masih belum mendapat porsi perhatian yang cukup dari perjuangan mahasiswa.
Semoga perjuangan mahasiswa dalam mewujudkan demokrasi yang lebih bersih dan berpihak pada mereka yang terpinggirkan bisa terbebas dari virus-virus yang tidak baik seperti politik uang apalagi politik sara. Selamat datang kepada mahasiswa ke kampus, tuntutlah ilmu sedalam dan sebaik mungkin. Sebab banyak orang yang tidak bisa merasakan kesempatan yang saat ini kalian rasakan.
Saya akan menutup tulisan ini dengan bait soundtrack film “Kartini” yang beberapa bulan lalu tayang di layar lebar. Bait ini mengisahkan bahwa pendidikan itu tidak akan membedakan ras, suku, penghasilan apalagi agama.
Aksara yang menari di atas awan
Cukup jelas menuliskan harapan
Memang kenapa bila aku perempuan
Aku tak mau jadi budak kebodohan