Apa Benar Kejumudan dan Ketakutan Melanda KeIslaman Kita Sekarang Ini?

Apa Benar Kejumudan dan Ketakutan Melanda KeIslaman Kita Sekarang Ini?

Dalam pelbagai hal tampak bahwa islam sedang mengalami kejumudan berpikir dan ketakutan, benarkah?

Apa Benar Kejumudan dan Ketakutan Melanda KeIslaman Kita Sekarang Ini?

 “Dunia ini penuh dengan kebencian// meski begitu, masih ada cinta sejati di hati// maju dan katakan pada seluruh alam semesta” (dialog Raj Aryan di film Mohabbatien)

“Kebencian mudah dijual// tapi cinta???” (dialog Chand Nawab di Film Bajrangi Bhaijaan)

 

Dua dialog di atas berasal dari dua film produksi Bollywood yang cukup terkenal. Pernyataan yang muncul dalam dialog tersebut menyiratkan kepada kita, bahwa dunia yang kita tempati ini penuh akan kebencian yang mendorong kita untuk menyingkirkan atau memandang rendah orang lain.

Persoalan kebencian ini sebenarnya sudah terjadi di sekitar kita dalam bentuk rasa ketakutan akan kehadiran pada mereka yang berbeda. Kehadiran orang yang berbeda seakan mengancam keberagamaan kita. Maka, dengan mudahnya kita bisa mengambil bukti seperti penyerangan kepada jemaah Ahmadiyah baru-baru saja terjadi, atau mempersekusi orang yang berbeda pilihan politik atau panutan beragama.

Perasaan keterancaman ini dipelihara dengan apa yang disebut dalam judul yaitu memframing atau membentuk ketakutan dan memproduksi kejumudan. Ketakutan akan kehadiran yang liyan (orang lain) hanya bagian kecil dari ketakutan yang diframing di berbagai media. Ketakutan terus disuarakan dalam berbagai media, menimbulkan rasa tidak saling percaya dan politik belah bambu pun mudah ditanamkan pada masyarakat. Dengan modal besar ini oligarki politik memanfaatkan untuk memainkan emosi rakyat agar tidak lagi berpikir apa yang sebenarnya musuh kemanusiaan.

Di antaranya kesenjangan sosial, lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin, kesehatan masyarakat yang tidak lagi diurus dan semakin mahal, kebebasan beribadah yang direnggut dan kerusakan alam.

Melawan musuh-musuh kemanusiaan tersebut sering kali dibelokkan dengan alasan agama, suku, dan ras. Sehingga berdampak pada kesalahan dalam melihat persoalan kemanusiaan ini dengan jernih, dan oknum pelaku kejahatan kemanusiaan ini menjadi tidak terlihat jelas dan cenderung dimanfaatkan oleh oligarki politik untuk mengambil kesempatan ini demi meluluskan kepentingan mereka.

Mengapa ketakutan dan kejumudan terus diframing dan diproduksi? Padahal dua hal ini membuat dampak yang destruktif terlihat jelas dihadapan kita. Ini yang akan menjadi fokus tulisan ini.

Menurut Martha Nussbaum dalam buku The New Religious Intolerance: Overcoming the Politics of Fear in an Anxious Age, ada tiga hal mendasari mengapa ketakutan bisa bekerja di masyarakat dan cenderung dijadikan komoditas politik. Yaitu, pertama ketakutan ini biasanya dibangun melalui persoalan-persoalan riil. Seperti kesenjangan sosial, ketersingkiran secara politik dan hidup dalam keadaan yang tidak aman.

Kedua, ketakutan juga bisa digunakan untuk memindahkan isu atau sesuatu yang pada awalnya tidak ada hubungannya dengan masalah mendasar tetapi difungsikan untuk mentarget mereka yang tidak disukai. Misalnya mudah sekali bagi kita menyalahkan salah satu etnis dalam persoalan kesenjangan ekonomi karena mereka dianggap penguasa ekonomi.

Ketiga, ketakutan biasanya dipelihara untuk menjaga kebencian pada musuh yang disembunyikan. Memframing atau membentuk ketakutan biasanya digunakan oleh para oligarki untuk memelihara rasa benci pada orang lain atau musuh yang disamarkan agar bisa dimanfaatkan sebagai komoditas politik.

Oleh sebab itu, ketakutan itu biasanya dibangun atau diframing melalui cerita-cerita yang dibuat, disebarkan dan diceritakan ulang untuk menyudutkan mereka yang biasanya diidentifikasikan sebagai sebuah kelompok yang berbeda agama, suku atau ras yang tidak populer, dan menempatkan kelompok tersebut selalu bekerja dalam kerja konspirasi.

Mari kita meneroka dalam keberislaman kita dengan mempertanyakan, apakah kita sering melakukan tiga hal yang dirumuskan oleh Martha Nussbaum. Sebab, jika dalam keberislaman kita melakukan tiga hal tersebut dengan maka Islam yang kita anut dan peluk biasanya akan sangat kaku atau jumud.

Di saat islam kita menjadi jumud maka sulit membayangkan bagaimana membangun Islam yang ramah pada perbedaan. Yang ada malah sedikit-sedikit tersinggung, marah dan menyerang mereka yang berbeda. Inilah ciri awal perilaku teror berawal.

Makanya Martha Nussbaum menuliskan tiga hal yang harus dilakukan untuk melawan politik ketakutan ini yaitu, mengembangkan rasa hormat pada kesetaraan seluruh umat manusia, berhenti menyalahkan mereka yang minoritas pada kesalahan yang sebenarnya tidak mereka lakukan, dan menanamkan imajinasi yang simpati pada setiap orang.

Terakhir, kita perlu menyadari satu hal bahwa ketakutan itu selalu bersifat rasional atau masuk akal. Dalam bingkai ketakutan inilah hoax akan merajalela dan membentuk persepsi masyarakat. Saat persepsi sudah terbentuk, hoax pun terlihat rasional.

Ada empat hal yang biasa dilakukan penyebar untuk membuat hoax menjadi rasional. Pertama, menyesuaikan dengan fakta kejadian yang mirip secara ilmiah. Kedua, bahaya yang diungkap untuk menimbulkan ketakutan sesuai dengan karakter standarnya dan dalam waktu yang sama didistorsi. Ketiga, hoax biasanya dibangun dalam bingkai melindungi kebaikan “bersama” sehingga tidak bisa dibantah. Keempat, pembiasaan dalam menerima hoax maka dengan serta ketakutan pun akan dengan sendirinya diterima tanpa ada pertanyaan menyertainya.

Inilah keadaan yang akrab dengan Islam kita saat ini, yaitu memframing ketakutan karena itu lahirlah generasi yang kaku dan jumud diperparah dengan pemakan hoax tanpa tabayyun. Kalau ini masih saja terjadi, maka janganlah harap Islam akan berjaya dan memimpin peradaban dunia.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebait kata-kata dari seorang perempuan bernama Kartini “Agama memang menjauhkan kita dari dosa tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atasnama agama”

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin